Dalam bidang politik, para penguasa penjajahan Barat terutama Belanda melaksanakan kebijakan yang sangat ketat dan cenderung menindas.
Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et impera.
Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu tipu daya yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma kemanusiaan.
Misalnya akal-akalan mengajak negosiasi hening tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), purapura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/ Hairun).
Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat.
Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga sesudah kelompok orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu tipu daya itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya.
Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi.
Penguasa-penguasa pribumi/ lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini sanggup menjadikan perilaku rendah diri di kalangan rakyat.
Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya. Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri di banyak sekali daerah.
Tetapi ibarat telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan manajemen pemerintahan.
Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten).
Setiap prefektur diangkat seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa.
Kemudian setiap regentschap/ kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum pribumi.
Namun, status bupati hingga dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) gres terwujud sesudah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji.
Dengan demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012).
Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi.
Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha diciptakannyapun menjadi semu
Pemerintah kolonial menjalankan politik memecah belah atau devide et impera.
Tidak hanya politik memecah belah, tetapi juga disertai dengan tipu tipu daya yang cenderung menghalalkan segala cara sehingga melanggar norma-norma kemanusiaan.
Misalnya akal-akalan mengajak negosiasi hening tetapi malah ditangkap (penangkapan Pangeran Diponegoro), purapura diajak berunding tetapi malah dibunuh (pembunuhan Sultan Khaerun/ Hairun).
Secara politik martabat rakyat Indonesia jatuh dan menjadi tidak berdaulat.
Rakyat Indonesia juga menjadi kelompok masyarakat kelas tiga sesudah kelompok orang-orang Barat (penjajah) dan kelompok orang-orang timur asing.
Berangkat dari politik memecah belah dan praktik-praktik tipu tipu daya itu, kekuatan kolonial Belanda terus memperluas wilayah kekuasaannya.
Penguasa kolonial juga selalu campur tangan dalam pergantian kekuasaan di lingkungan kerajaan/pemerintahan pribumi.
Penguasa-penguasa pribumi/ lokal dan rakyatnya kemudian menjadi bawahan penjajajah. Hal ini sanggup menjadikan perilaku rendah diri di kalangan rakyat.
Beberapa penguasa pribumi mulai tidak memperhatikan rakyatnya. Perlu disadari bahwa masa sebelum penjajahan dan sebelum terjadi intervensi politik para penguasa kolonial, berkembang sistem kerajaan. Kerajaan ini berkembang sendiri-sendiri di banyak sekali daerah.
Tetapi ibarat telah disinggung di depan bahwa pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, telah dilakukan pembaruan bidang politik dan manajemen pemerintahan.
Daendels telah membagi wilayah kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia/Hindia Belanda di Jawa dibagi menjadi sembilan prefektur dan terbagi dalam 30 regentschap (kabupaten).
Setiap prefektur diangkat seorang pejabat kepala pemerintahan yang disebut dengan prefek. Seorang pejabat prefek ini diangkat dari orang Eropa.
Kemudian setiap regentschap/ kabupaten dikepalai oleh seorang regent atau bupati yang berasal dari kaum pribumi.
Namun, status bupati hingga dengan camat (yang disebut priayi) sepenuhnya menjadi pegawai negeri (binnenland bestuur) gres terwujud sesudah diterapkannya sistem Tanam Paksa pada pertengahan 1850-an).
Setiap bupati ini merupakan pegawai pemerintah yang digaji.
Dengan demikian, para bupati ini telah kehilangan hak jabatan yang diwariskan secara turun temurun (lihat uraian dalam buku Taufik Abdullah dan A.B. Lapian, 2012).
Setiap prefek diberikan kekuasaan yang besar dan ditugasi untuk memperketat pengawasan administratif dan keuangan terhadap para penguasa pribumi.
Ruang gerak para penguasa pribumi semakin sempit. Kewibawaan yang berusaha diciptakannyapun menjadi semu
Dalam struktur pemerintahan dikenal adanya pemerintahan tertinggi, semacam pemerintahan pusat. Sebagai penguasa tertinggi yaitu gubernur jenderal.
Di tingkat sentra ini juga ada forum yang disebut dengan Raad van Indie, tetapi kiprahnya cenderung sebagai dewan penasihat.
Dalam pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk mengatur pemerintahan secara umum.
Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibuat Departemen Kehakiman (1870);
Departemen Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan (1911)
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat terang adanya dualisme pemerintahan.
Ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands bestuur).
Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang paling tinggi yakni residen. Ia memimpin wilayah karesidenan. Di seluruh JawaMadura terbagi menjadi 20 karesidenan
Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau serpihan timur juga dibagi dalam wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil.
Di bawah residen ada pejabat ajudan residen. Asisten residen ini mengepalai suatu wilayah serpihan dari karesidenan yang dinamakan afdeling.
Di bawah ajudan residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi pribumi.
Jenjang tertinggi dalam pemerintahan pribumi yaitu seorang regent atau bupati.
Ia memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih.
Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang wedana.
Setiap distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang ajudan wedana atau kini camat.
Unit paling bawah kemudian ada desa-desa. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia mereformasi pemerintahan pada ketika itu.
Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang berpengaruh dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru.
Karena itu, dari para penguasa pribumi ibarat raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru.
Dalam hal ini pemerintah sentra sanggup pribadi bekerjasama dengan rakyat tanpa mediator penguasa lokal.
Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga Raffles tinggal melanjutkan saja.
Pembaruan yang dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan. Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri.
Seorang bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. Daendels menawarkan istilah itu dengan prefek atau landrost.
Raffles kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan.
Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa ajudan residen.
Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melaksanakan transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki kembali.
Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua.
Penyatuan seluruh wilayah Hindia Belanda ini gres berhasil sekitar tahun 1905.
Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa sesudah itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Wilayah inilah sesudah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di tingkat sentra ini juga ada forum yang disebut dengan Raad van Indie, tetapi kiprahnya cenderung sebagai dewan penasihat.
Dalam pelaksanaan pemerintahan juga dikenal adanya departemen-departemen untuk mengatur pemerintahan secara umum.
Beberapa departemen hasil reorganisasi tahun 1866, antara lain ada Departemen Dalam Negeri; Departemen Pendidikan, Agama, dan Kerajinan; Departemen Pekerjaan Umum; Departemen Keuangan; Departemen Urusan Perang; kemudian dibuat Departemen Kehakiman (1870);
Departemen Pertanian (1904), yang disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan (1911)
Sementara itu, dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, sangat terang adanya dualisme pemerintahan.
Ada pemerintahan Eropa (Europees bestuur) dan pemerintahan pribumi (Inlands bestuur).
Di lingkungan pemerintahan Eropa ini, terdapat pejabat wilayah yang paling tinggi yakni residen. Ia memimpin wilayah karesidenan. Di seluruh JawaMadura terbagi menjadi 20 karesidenan
Begitu juga di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau serpihan timur juga dibagi dalam wilayah karesidenan-karesidenan, tetapi jumlahnya relatif kecil.
Di bawah residen ada pejabat ajudan residen. Asisten residen ini mengepalai suatu wilayah serpihan dari karesidenan yang dinamakan afdeling.
Di bawah ajudan residen masih ada pejabat yang disebut kontrolir (controleur). Ia memimpin wilayah yang dinamakan controle-afdeling
Selanjutnya yang terkait dengan pemerintahan pribumi, para pejabatnya semua dijabat oleh priayi pribumi.
Jenjang tertinggi dalam pemerintahan pribumi yaitu seorang regent atau bupati.
Ia memimpin sebuah wilayah kabupaten. Seorang bupati ini dibantu oleh seorang pejabat yakni patih.
Satu wilayah kabupaten umumnya terbagi menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh seorang wedana.
Setiap distrik kemudian terbagi menjadi onderdistrik yang dikepalai seorang ajudan wedana atau kini camat.
Unit paling bawah kemudian ada desa-desa. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Raffles di Hindia Belanda, ia mereformasi pemerintahan pada ketika itu.
Raffles yang berpandangan liberal mulai menghapus ikatan feodal dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang sudah terbiasa hidup dalam adat-istiadat dan ikatan feodal yang berpengaruh dipaksa untuk mengikuti sistem birokrasi baru.
Karena itu, dari para penguasa pribumi ibarat raja, bupati, hingga kepala desa harus mengikuti sistem pemerintahan dan birokrasi yang baru.
Dalam hal ini pemerintah sentra sanggup pribadi bekerjasama dengan rakyat tanpa mediator penguasa lokal.
Sebenarnya pekerjaan ini sudah diawali oleh Daendels, sehingga Raffles tinggal melanjutkan saja.
Pembaruan yang dilakukan Raffles juga menyangkut struktur pemerintahan dan peradilan. Pada masa pemerintahan Raffles, bupati sebagai penguasa lokal harus dijauhkan dari otonomi yang menguntungkan diri sendiri.
Seorang bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah di bawah seorang residen. W. Daendels menawarkan istilah itu dengan prefek atau landrost.
Raffles kemudian membagi Jawa menjadi 16 keresidenan.
Tiap keresidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh beberapa ajudan residen.
Pembaruan yang dilakukan Raffles ini bertujuan untuk melaksanakan transformasi sistem pemerintahan Jawa, yaitu menggantikan sistem tradisional Jawa yang bersifat patrimonial menuju sistem pemerintahan modern yang rasional.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sistem pemerintahan Raffles diperbaiki kembali.
Di samping itu untuk menyatukan seluruh wilayah Hindia Belanda yang masih berbentuk kerajaan-kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan politik pasifikasi kewilayahan di Aceh, Sumatera Barat, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Papua.
Penyatuan seluruh wilayah Hindia Belanda ini gres berhasil sekitar tahun 1905.
Bersatunya Hindia Belanda ini dikenal dengan Pax Neerlandica masa sesudah itu, wilayah Hindia Belanda telah stabil di bawah kekuasaan Hindia Belanda.
Wilayah inilah sesudah proklamasi menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada masa pemerintahan Daendels, perubahan sistem pemerintahan telah membawa pada perubahan sistem perekonomian tradisional.
Dalam sistem modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial.
Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama.
Uang dan kekayaan mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung ketika itu.
Untuk mendapat uang pemerintah kolonial memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak.
Petani pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda.
Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk menghadapi Inggris.
Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon.
Pembangunan jalan itu terkait dengan dilema politik yang sedang menimpa pemerintah, ibarat dilema keuangan, bahaya Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels.
Tindakan Daendels ini mendapat kebanggaan dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan.
Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi.
Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu mempunyai kegunaan untuk memakmurkan pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur.
Menurut Daendels, jalan itu membawa laba bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya perdagangan.
Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan kawasan yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan alasannya yaitu pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.
Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal ke pemerintah.
Ini berarti pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah.
Perubahan dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menimbulkan pula terjadinya perubahan kekerabatan antara raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan yang bersifat komersial.
Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah mendapat pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi.
Dengan demikian pelaku ekonomi yaitu pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian aturan usaha.
Perdagangan bebas pun mulai dilakukan.
Dalam kaitannya dengan ini, jikalau perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya.
Sejak itulah sistem acara ekonomi uang di desa-desa Jawa dan kawasan lain di Hindia Belanda yang telah usang dikenal dengan sistem ekonomi swadaya menjelma sistem ekonomi komersial.
Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan acara perdagangan pun semakin luas.
Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang perbankan.
Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828.
Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya ibarat Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto Bank.
Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial yaitu munculnya kota-kota gres yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya.
Pada tahun 1840, muncul penyelidikan ihwal pembangun jalur kereta api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan.
Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera.
Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang 62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917.
Di Sumatera Barat, semenjak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan dalam bidang perekonomian.
Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa efek pada perkembangan perdagangan.
Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, alasannya yaitu didukung munculnya angkutan kapal laut.
Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transpotasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia.
Hal ini mengalami kemajuan lagi sesudah Daendels membangun jalan pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa.
Terhubungnya jaringan kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, sehingga gosip semakin berkembang cepat.
Di Sumatera pelayanan pos dilakukan dengan mobil, contohnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan telegrap dimulai semenjak 1855, sehingga gosip semakin cepat sampai.
Sistem ekonomi kapitalis mulai berdiri dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan yang menjadi materi ekspor di pasar dunia.
Hal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks politik dan ekonomi itu yaitu perjuangan ekspansi kawasan kekuasaan Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang dengan tipu muslihat, jadinya Kepulauan Indonesia ini berada di bawah kekuasaan Belanda.
Pada masa kekuasaan Belanda inilah secara kasatmata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari ujung barat (Aceh) hingga ujung timur (Papua). Batas tanah Hindia Belanda serpihan timur di Papua ini telah disepakati dengan perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895.
Dalam sistem modern, tanah-tanah milik Raja berubah statusnya menjadi tanah milik pemerintah kolonial.
Dalam masa pemerintahan kolonial, mencari uang dan mengumpulkan kekayaan menjadi tujuan utama.
Uang dan kekayaan mereka kumpulkan untuk membiayai keperluan pemerintahan yang sedang berlangsung ketika itu.
Untuk mendapat uang pemerintah kolonial memperolehnya dari penjual hasil bumi dari para petani berupa pajak.
Petani pun harus menjual hasil bumi dengan harga yang telah ditetapkan.
Grote Postweg atau jalan Raya Pos yang menghubungkan Anyer hingga Panarukan, dibuka pada masa Daendels memerintah Hindia Belanda.
Jalan itu dibangun hampir di seluruh Pulau Jawa sebagai sarana pertahanan untuk menghadapi Inggris.
Jalan yang dibangun itu menembus sebagian hutan dan gunung untuk menghindari rawa-rawa antara Jakarta dan Cirebon.
Pembangunan jalan itu terkait dengan dilema politik yang sedang menimpa pemerintah, ibarat dilema keuangan, bahaya Inggris, pemberontakan Banten dan Cirebon, serta banyak musuh-musuh Daendels.
Tindakan Daendels ini mendapat kebanggaan dari menteri penjajahan. Karena dengan pembangunan jalan itu maka akan mengurangi pengeluaran pemerintahan.
Pembangunan jalan sepanjang 1000 km itu dilakukan dengan kerja rodi.
Meskipun dibangun dengan kerja rodi, jalan itu mempunyai kegunaan untuk memakmurkan pedalaman Jawa sebagai konsekuensi yang teratur.
Menurut Daendels, jalan itu membawa laba bagi penduduk setempat dengan semakin ramainya perdagangan.
Meskipun jalan pos ini membawa perkembangan kawasan yang dilaluinya, namun kritik pedas kepada Daendels dilontarkan alasannya yaitu pembangunan jalan itu telah merenggut ribuan nyawa manusia.
Pada masa Raffles terjadi perubahan sistem kepemilikan tanah dari tanah raja dan penguasa lokal ke pemerintah.
Ini berarti pemerintah mempunyai kewenangan untuk menyewakan tanah.
Perubahan dari sistem kepemilikan tanah inilah yang menimbulkan pula terjadinya perubahan kekerabatan antara raja dan kawulanya, yaitu dari patron-client menjadi hubungan-hubungan yang bersifat komersial.
Adanya penyewaan tanah ini berarti pemerintah mendapat pajak tanah, dan kas pemerintah pun terisi.
Dengan demikian pelaku ekonomi yaitu pihak swasta. Sistem ini telah membuka kemerdekaan ekonomi yang didukung oleh kepastian aturan usaha.
Perdagangan bebas pun mulai dilakukan.
Dalam kaitannya dengan ini, jikalau perdagangan bebas dilakukan maka kemakmuran rakyat akan tumbuh dengan sendirinya.
Sejak itulah sistem acara ekonomi uang di desa-desa Jawa dan kawasan lain di Hindia Belanda yang telah usang dikenal dengan sistem ekonomi swadaya menjelma sistem ekonomi komersial.
Setelah pemerintah Raffles berakhir, diganti dengan pemerintahan Hindia Belanda ekonomi uang terus berkembang, dan acara perdagangan pun semakin luas.
Perkembangan ini didukung oleh perkembangan di bidang perbankan.
Sejak tahun 1828 era perbankan modern masuk ke Hindia Belanda. Pada masa itu De Javasche Bank, didirikan di Batavia pada tanggal 24 Januari 1828.
Kemudian menyusul berdiri bank-bank lainnya ibarat Nederlands Handels Maatschappij, De Nationale Handels Bank dan Escompto Bank.
Selain itu juga berkembang bank-bank lain yang berasal dari Inggris, Australia dan Cina. Bahkan juga ada juga bank milik pribumi yaitu Bank Desa, Lumbung Desa.
Dampak lain dari pemerintahan kolonial yaitu munculnya kota-kota gres yang ditandai dengan adanya jaringan transportasi berupa jalur-jalur kereta api dari Jakarta ke Bogor, dan kereta api di Pulau Jawa dan lain sebagainya.
Pada tahun 1840, muncul penyelidikan ihwal pembangun jalur kereta api yang menghubungan dari Surabaya lewat Solo ke Yogyakarta hingga ke Priyangan.
Pada September 1895, Jaringan kereta api Semarang-Cirebon terbangun. Jaringan kereta api juga dibangun di Sumatera.
Perusahaan Zuid Sumatera Staatsramwegen membangun jaringan di Lampung sepanjang 62 km dan Palembang sepanjang 152 km yang telah beroperasi 1917.
Di Sumatera Barat, semenjak 1833 telah dibangun kereta api, begitu juga di Aceh. Di samping itu, jalur transpotasi darat membawa banyak perkembangan dalam bidang perekonomian.
Munculnya pelabuhan-pelabuhan membawa efek pada perkembangan perdagangan.
Terbentuknya jaringan kereta api yang terhubung ke pelabuhan–pelabuhan sehingga pelabuhan-pelabuhan di Hindia Belanda mulai tersambung pula, alasannya yaitu didukung munculnya angkutan kapal laut.
Perkembangan ekonomi juga didukung oleh munculnya kemajuan komunikasi dan transpotasi. Pada 1746, kantor pos pertama didirikan di Batavia.
Hal ini mengalami kemajuan lagi sesudah Daendels membangun jalan pos yang menghubungkan di wilayah Pulau Jawa.
Terhubungnya jaringan kereta api dan jalan pos telah mempercepat pengiriman surat lewat pos, sehingga gosip semakin berkembang cepat.
Di Sumatera pelayanan pos dilakukan dengan mobil, contohnya di Palembang, Pantai Timur Sumatera dan Aceh. Pelayanan telegrap dimulai semenjak 1855, sehingga gosip semakin cepat sampai.
Sistem ekonomi kapitalis mulai berdiri dengan ditandai oleh masyarakat Indonesia yang mulai mengenal beberapa jenis tanaman perkebunan yang menjadi materi ekspor di pasar dunia.
Hal yang menarik dan penting untuk diketahui dalam konteks politik dan ekonomi itu yaitu perjuangan ekspansi kawasan kekuasaan Belanda. Dengan cara kekerasan dan perang, melalui kontrak dan atau perjanjian dengan penguasa-penguasa /raja lokal, bahkan kadang dengan tipu muslihat, jadinya Kepulauan Indonesia ini berada di bawah kekuasaan Belanda.
Pada masa kekuasaan Belanda inilah secara kasatmata mulai dikenal batas wilayah termasuk batas-batas wilayah Hindia Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Indonesia, dari ujung barat (Aceh) hingga ujung timur (Papua). Batas tanah Hindia Belanda serpihan timur di Papua ini telah disepakati dengan perjanjian antara Belanda dan Inggris pada tahun 1895.
Penjajahan bangsa Barat di Indonesia secara tegas telah menerapkan kehidupan yang diskriminatif. Orang-orang Barat memandang bahwa mereka yang berkulit putih sebagai kelompok yang kelas I, kaum Timur Asing sebagai kelas II, dan kaum pribumi dipandang sebagai masyarakat kelas III, kelas yang paling rendah.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya juga dipandang paling rendah.
Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan martabat bangsa Indonesia yang memang sedang terjajah. Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal.
Terbukti Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi.
Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai ningrat yang sangat dihormati oleh rakyatnya.
Mereka telah ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak mempunyai hak-hak istimewa kebangsawanannya.
Status dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati secara berlebihan kepada penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilainilai budaya bangsa Indonesia.
Bahkan perkembangan budaya Barat yang cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya keindonesiaan.
Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau akal pekerti luhur yang dikembangkan di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat mulai bergeser.
Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para penguasa Barat tidak mau tahu ihwal tradisi atau atau norma-norma, termasuk nilai halal dan haram dalam Islam, contohnya dengan budaya minumminuman keras (menjadi mabuk-mabukan), berangkat dari dance kemudian mengarah kepada pergaulan laki-laki dan wanita yang cenderung tanpa batas.
Oleh alasannya yaitu itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum kolonial yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir.
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa efek semakin intensifnya perkembangan agama Kristen.
Hal ini tentu sejenak menjadikan culture shock di kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Namun dalam perkembangannya bisa menyesuaikan diri sehingga menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapat perhatian khusus.
Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku tersebut memuat banyak sekali aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa.
Ada juga buku karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati budaya Nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd.
Ia menulis buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita oleh penduduk.
Pada simpulan era XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot.
Ia menyatakan selama satu era lebih pemerintah mengambil laba dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.
Di samping itu, Van Deventer pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang Kehormatan”.
Dalam goresan pena tersebut ia menganjurkan adanya politik balas akal (politik etis) yang berisi pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa budayanya juga dipandang paling rendah.
Pandangan ini sengaja untuk menjatuhkan martabat bangsa Indonesia yang memang sedang terjajah. Memang bangsa Barat ini ingin memberantas budaya feodal.
Terbukti Belanda berhasil menggeser hak-hak istimewa para penguasa pribumi.
Para penguasa pribumi, telah kehilangan statusnya sebagai ningrat yang sangat dihormati oleh rakyatnya.
Mereka telah ditempatkan sebagai pegawai pemerintah kolonial, sehingga tidak mempunyai hak-hak istimewa kebangsawanannya.
Status dan hak-hak istimewanya justru diambil oleh Belanda. Masyarakat Indonesia harus menghormati secara berlebihan kepada penguasa kolonial.
Harus diakui dengan adanya dominasi orang-orang Barat di Indonesia telah menanamkan nilai-nilai budaya yang umumnya kurang sesuai dengan nilainilai budaya bangsa Indonesia.
Bahkan perkembangan budaya Barat yang cenderung dipaksakan juga telah menggeser nilai-nilai budaya keindonesiaan.
Semangat persatuan, hidup dalam suasana kekerabatan, nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai kesantunan, unggah-ungguh atau akal pekerti luhur yang dikembangkan di lingkungan kraton yang juga ditiru oleh masyarakat mulai bergeser.
Bahkan yang menyedihkan dengan alasan modernisasi, para penguasa Barat tidak mau tahu ihwal tradisi atau atau norma-norma, termasuk nilai halal dan haram dalam Islam, contohnya dengan budaya minumminuman keras (menjadi mabuk-mabukan), berangkat dari dance kemudian mengarah kepada pergaulan laki-laki dan wanita yang cenderung tanpa batas.
Oleh alasannya yaitu itu, di lingkungan masyarakat beragama Islam, kaum kolonial yang menjajah Indonesia dikatakan sebagai orang-orang kafir.
Kedatangan dan dominasi bangsa-bangsa Barat juga telah membawa efek semakin intensifnya perkembangan agama Kristen.
Hal ini tentu sejenak menjadikan culture shock di kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Namun dalam perkembangannya bisa menyesuaikan diri sehingga menambah khasanah keragaman di Indonesia.
Kemudian pada zaman pemerintahan Raffles, perkembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan budaya, khususnya di Jawa, mendapat perhatian khusus.
Melalui bukunya yang berjudul History of Java, buku tersebut memuat banyak sekali aspek sosial dan budaya di Pulau Jawa.
Ada juga buku karya William Marsden yang berjudul History of Sumatera. Pemerhati budaya Nusantara ternyata cukup banyak selain Raffles dan William Marsden terdapat pula menteri pemerintahan Batavia, yakni Crawfurd.
Ia menulis buku History of the East Indian Arcipelago dalam tiga jilid. Buku itu sangat penuh rasa kemanusiaan serta mambakar ketidakadilan yang diderita oleh penduduk.
Pada simpulan era XIX, Van Kol yang menjadi juru bicara sosialis Belanda melancarkan kritik terhadap keadaan Hindia Belanda yang semakin merosot.
Ia menyatakan selama satu era lebih pemerintah mengambil laba dari penghasilan rakyat, tetapi tidak ada satu persen pun yang dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Hindia Belanda.
Di samping itu, Van Deventer pada tahun 1899, menulis dalam judul “Hutang Kehormatan”.
Dalam goresan pena tersebut ia menganjurkan adanya politik balas akal (politik etis) yang berisi pendidikan, irigasi, dan imigrasi/transmigrasi.
Awal era ke-20, politik kolonial memasuki babak baru. Dimulailah era Politik Etis yang dipimpin oleh Menteri Jajahan Alexander W.F. Idenburg yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1909-1916).
Ada tiga jadwal Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi.
Adanya Politik Etis membawa efek besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol gres yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan banyak sekali kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura.
Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu.
Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial menawarkan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melaksanakan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan kawasan di Sumatera.
Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam era Politik Etis ini dikembangkan jadwal pendidikan.
Pendidikan ini ternyata tidak hanya untuk orang-orang Belanda tetapi juga diperuntukkan kepada kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Suasana dan simbol kemajuan melalui jadwal pendidikan ini juga didukung oleh adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan ide bagi kaum etis pada ketika itu.
Semangat era etis yaitu kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat yaitu tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu.
Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diharapkan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada penduduk pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolahsekolah.
Pada tahun 1900, tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda.
Dari sekolah ini murid-murid sanggup melanjutkan pelajaran ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).
Di samping itu juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang berjumlah enam buah
Untuk memperluas jadwal pendidikan maka keberadaan sekolah guru sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru.
Sebenarnya Sekolah Guru atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.
Berkembanglah pendidikan di Indonesia semenjak jenjang pendidikan dasar ibarat Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang disebut Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger School (HBS).
Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari bawah umur golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.
Bagi para cowok aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia.
Sekolah ini sering disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari sekolah ini lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang sanggup bersekolah sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan.
Hal ini mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum pintar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum pintar itu mendorong munculnya surat kabar, seperti, Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M Tjokroadikoesoemo.
Juga koran-koran lain, ibarat Surat kabar De Preanger Bode (1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatera Timur, Makassarsche Courant (1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai, membawa pencerahan di kalangan pribumi.
Dari banyak sekali gosip yang ada di surat kabar inilah lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan pintar di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Berkat gosip yang berkembang inilah kaum pintar terus melaksanakan obrolan dan berdebat ihwal masa depan tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya yaitu adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia pada 28 Oktober 1928.
Ada tiga jadwal Politik Etis, yaitu irigasi, edukasi, dan trasmigrasi.
Adanya Politik Etis membawa efek besar terhadap perubahan arah kebijakan politik negeri Belanda atas negeri jajahan. Pada era itu pula muncul simbol gres yaitu “kemajuan”.
Dunia mulai bergerak dan banyak sekali kehidupan pun mulai mengalami perubahan. Pembangunan infrastruktur mulai diperhatikan dengan adanya jalur kereta api Jawa-Madura.
Di Batavia lambang kemajuan ditunjukkan dengan adanya trem listrik yang mulai beroperasi pada awal masa itu.
Dalam bidang pertanian pemerintah kolonial menawarkan perhatiannya pada bidang pemenuhan kebutuhan pangan dengan membangun irigasi.
Di samping itu, pemerintah juga melaksanakan emigrasi sebagai tenaga kerja murah di perkebunan-perkebunan kawasan di Sumatera.
Hal yang sangat penting untuk mendukung simbol kemajuan itu maka dalam era Politik Etis ini dikembangkan jadwal pendidikan.
Pendidikan ini ternyata tidak hanya untuk orang-orang Belanda tetapi juga diperuntukkan kepada kaum pribumi, tetapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu.
Suasana dan simbol kemajuan melalui jadwal pendidikan ini juga didukung oleh adanya surat-surat R.A. Kartini kepada sahabatnya Ny. R.M. Abendanon di Belanda, yang merupakan ide bagi kaum etis pada ketika itu.
Semangat era etis yaitu kemajuan menuju modernitas. Perluasan pendidikan gaya Barat yaitu tanda resmi dari bentuk Politik Etis itu.
Pendidikan itu tidak saja menghasilkan tenaga kerja yang diharapkan oleh negara, tetapi juga pada sektor swasta Belanda.
Dalam bidang pendidikan meskipun dampaknya sangat kecil kepada penduduk pribumi, tetapi membawa dampak pada tumbuhnya sekolahsekolah.
Pada tahun 1900, tercatat sebanyak 169 Eurepese Lagree School (ELS) di seluruh Hindia Belanda.
Dari sekolah ini murid-murid sanggup melanjutkan pelajaran ke STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) ke Batavia atau Hoogeree Burgelijk School (HBS).
Di samping itu juga dikenal sekolah OSVIA (sekolah calon pegawai) yang berjumlah enam buah
Untuk memperluas jadwal pendidikan maka keberadaan sekolah guru sangat diperlukan. Dikembangkan sekolah guru.
Sebenarnya Sekolah Guru atau Kweekkschool sudah dibuka pada tahun 1852 di Solo.
Berkembanglah pendidikan di Indonesia semenjak jenjang pendidikan dasar ibarat Hollands Inlandse School (HIS) kemudian Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).
Untuk kelanjutan pendidikannya kemudian dibuka sekolah menengah yang disebut Algemene Middelbare School (AMS), juga ada sekolah Hogere Burger School (HBS).
Kemudian khusus untuk kaum pribumi disediakan “Sekolah Kelas Satu” yang murid-muridnya berasal dari bawah umur golongan atas yang nanti akan menjadi pegawai, dan kemudian rakyat pada umumnya disediakan “Sekolah Kelas Dua” yang di Jawa dikenal dengan “Sekolah Ongko Loro”.
Bagi para cowok aktifis banyak yang bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang berpusat di Batavia.
Sekolah ini sering disebut dengan “Sekolah Dokter Jawa” Dari sekolah ini lahir beberapa tokoh pergerakan kebangsaan.
Memang harus diakui, meskipun penduduk pribumi yang sanggup bersekolah sangat sedikit, namun keberadaan sekolah itu telah menumbuhkan kesadaran di kalangan pribumi akan pentingnya pendidikan.
Hal ini mempercepat proses modernisasi dan munculnya kaum pintar yang akan membawa pada kesadaran nasionalisme.
Munculnya kaum pintar itu mendorong munculnya surat kabar, seperti, Pewarta Priyayi yang dikelola oleh R.M Tjokroadikoesoemo.
Juga koran-koran lain, ibarat Surat kabar De Preanger Bode (1885) di Bandung, Deli Courant (1884) di Sumatera Timur, Makassarsche Courant (1902) di Sulawesi, Bromartani (1855) di Surakarta, Bintang Hindia (1902) yang dikelola oleh Abdul Rivai, membawa pencerahan di kalangan pribumi.
Dari banyak sekali gosip yang ada di surat kabar inilah lambat laun kesadaran akan pentingnya persamaan, kemerdekaan terus menyebar ke kalangan pintar di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Berkat gosip yang berkembang inilah kaum pintar terus melaksanakan obrolan dan berdebat ihwal masa depan tanah kelahirannya sehingga kesadaran pentingnya kemerdekaan terus berkembang dari waktu ke waktu yang puncaknya yaitu adanya kesadaran untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia pada 28 Oktober 1928.
0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xi Pecahan 3 Imbas Perkembangan Kolonialisme"