Sejarah Indonesia Xii Kepingan 4 Sistem Dan Struktur Politik Dan Ekonomi Indonesia Abad Orde Baru


1. Aksi-Aksi Tritura 
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke bangku kepresidenan tidak sanggup dilepaskan dari kejadian Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S/PKI.

Ini merupakan kejadian yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan rakyat.

Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melaksanakan devaluasi rupiah dan kenaikan mengakibatkan timbulnya keresahan masyarakat.

Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/ PKI semakin meningkat.

Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan agresi pemudapemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain.

Kesatuan-kesatuan agresi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G 30 S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.

Setelah lahir barisan Front Pancasila, gelombang demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI makin bertambah meluas.

Situasi yang menjurus ke arah konflik politik makin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang semakin memburuk.

Perasaan tidak puas terhadap keadaan ketika itu mendorong para perjaka dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan agresi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu:
(1) Pembubaran PKI,
(2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/ PKI, dan
(3) Penurunan harga/perbaikan ekonomi.

 Tuntutan rakyat banyak semoga Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi presiden. Untuk menenangkan rakyat, Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat lantaran di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam kejadian G 30 S/PKI.

Pada ketika peresmian Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan perjaka memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.

Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga mengakibatkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang mengakibatkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia berjulukan Arief Rachman Hakim.

Sebagai akhir dari agresi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam), yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan Insiden berdarah yang terjadi ternyata mengakibatkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional.

Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan.

Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya massa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Aksi-aksi tersebut, krisis nasional makin tidak terkendalikan

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah semoga meninjau kembali pembubaran KAMI.

Dalam suasana yang demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melaksanakan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri.

Selain itu, mereka juga aben kantor info Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua.

Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.

Pada hari itu juga presiden mengeluarkan perintah harian supaya semoga seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang eksklusif maupun tidak eksklusif bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.

2. Surat Perintah Sebelas Maret 
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet.

Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno semoga membubarkan PKI, dengan melaksanakan pengempesan ban-ban kendaraan beroda empat pada jalan-jalan yang menuju ke Istana.

Belum usang Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen. Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.

Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr. Chaerul Saleh yang bahu-membahu dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter.

Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.

Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki Rahmat, Brigjen. M Jusuf, dan Brigjen. Amir Machmud, yang juga mengikuti sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke Bogor.

Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib.

Pada waktu itu Letnan Jenderal Soeharto sedang sakit sehingga diharuskan beristirahat di rumah. Niat ketiga perwira itu disetujuinya.

Mayjen. Basuki Rachmat menanyakan apakah ada pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk Presiden Soekarno, Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”

Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa semenjak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI.

Antara Presiden Soekarno dengan Letjen. Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik ketika itu.

Menurut Letjen. Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah melaksanakan pemberontakan.

Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia mustahil membubarkan PKI lantaran hal itu bertentangan dengan kepercayaan Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia.

Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu tetap muncul.

Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal menerima kebebasan bertindak dari presiden.

Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr. Chaerul Saleh.

Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen.

Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen. Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.

Setelah dibahas bersama, alhasil Presiden Soekarno menandatangani surat perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar.

Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.

Dalam menjalankan tugas, akseptor mandat diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah mendapatkan Surat Perintah tersebut ialah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung semenjak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu menerima dukungan dari rakyat, lantaran dengan demikian salah satu di antara Tritura telah dilaksanakan.

Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah.

Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar ialah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 perihal penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G 30 S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan dogma tidak baik dalam penyelesaian perkara itu.

Demi lancarnya kiprah pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet.

Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik. Dr. Roeslan Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.

3. Dualisme Kepemimpinan Nasional 
Memasuki tahun 1966 terlihat tanda-tanda krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan.

Di satu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya telah kian merosot.

Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak semoga PKI dibubarkan.

Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS.

Sementara itu Soeharto setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer.

Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan kiprah harian dipegang oleh Soeharto.

Kondisi menyerupai ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Presiden Soekarno sudah tidak banyak melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen.

Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.

Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini alhasil menimbulkan kontradiksi politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto.

Hal ini terang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar semenjak simpulan bulan Juni hingga awal Juli 1966 memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS.

Dengan dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara aturan Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.

Bahkan, secara aturan Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.

Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku presiden.

Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum.

Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang diberi judul “Nawaksara”.

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno memberikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS.

“Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah.

Pidato itu memang berisi sembilan pokok perkara yang dianggap penting oleh Presiden Soekarno selaku mandataris MPR.

Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya kejadian berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Pengabaian kejadian yang menimbulkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS.

Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden semoga melengkapi laporan pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya kejadian Gerakan 30 September beserta epilognya dan perkara kemunduran ekonomi serta akhlak.

Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden memberikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara (Pelnawaksara).

Dalam Pelnawaksara itu Presiden mengemukakan bahwa Mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.

Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela.

Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya kejadian Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

Sementara itu, sebuah kabinet gres telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966.

Kabinet ini mempunyai kiprah pokok untuk membuat stabilitas politik dan ekonomi.

Program kabinet tersebut antara lain ialah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/ MPRS/1966.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Soekarno ialah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan kiprah harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.

Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS semoga mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu, usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus.

Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno semoga ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS.

Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon semoga Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, lantaran dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti.

Mr. Hardi menyarankan semoga Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Presiden Soekarno menyetujui saran Mr. Hardi.

Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto.

Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan.

Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak sanggup diterima lantaran bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menuntaskan situasi konflik.

Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967.

Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik.

Soeharto mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966.

Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun kemudian perilaku Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan semoga Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967.

Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden.

Ia meminta semoga diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.

Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS.

Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu.

Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru

Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang spesial MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang memutuskan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden.

Kedudukannya itu semakin berpengaruh setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh.

Pengukuhan tersebut sanggup dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.

Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, menyerupai Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas Ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966).

Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Di antara penyimpangan tersebut ialah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur).

Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam).

Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut ialah semoga dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi Polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto memakai suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibuat lembaga-lembaga stabilisasi seperti;

Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).

Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik NefosOldefos dan “Poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk sanggup dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat.

Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, dia menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.

Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada ekspansi kolaborasi ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kolaborasi itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.

Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akhir kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966.

Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di lembaga Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut.

Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kolaborasi regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967.

Tujuan pembentukan ASEAN ini ialah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi Polkam dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama ialah sangat buruk.

Sektor produksi barang-barang konsumsi contohnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya.

Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu acuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti.

Hutang yang jatuh tempo pada simpulan Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2.358 Juta dollar AS.

Dengan perincian negara-negara yang memperlihatkan hutang pada masa Orde Lama ialah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.

Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya perkara perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik.

Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benarbenar membantu perbaikan ekonomi rakyat.

Bertolak dari kenyataan ekonomi menyerupai itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi ialah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang.

Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menuntaskan perkara hutang luar negeri sekaligus mencari hutang gres yang dibutuhkan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.

Untuk menanggulangi perkara hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melaksanakan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Prancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London, Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta.

Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai janji terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958.

Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu janji untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 perihal Penanaman Modal Asing (PMA) .

Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama.

Orde Baru tidak memusuhi investor absurd dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, kegiatan mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya.

Dengan pinjaman modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam banyak sekali bidang ekonomi.

Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah mempunyai uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.

Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga bisa meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya.

Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang berjulukan Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI).

Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara para negara yang mempunyai komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967, di Amsterdam.

Inisiatif itu tiba dari pemerintah Belanda.

Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga pinjaman internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.

Selain mengupayakan masuknya dana pinjaman luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri, yaitu dana masyarakat.

Salah satu taktik yang dilakukan oleh pemerintah bersama– sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya ialah berupaya semoga masyarakat mau menabung.

Upaya lain ialah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6/1968.

Satu hal dari UUPMDN ialah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya.

Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya.

Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres No.286/1968 badan itu bermetamorfosis Tim Teknis Penanaman Modal (TTPM).

Pada Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga ketika ini.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai sanggup dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969).

Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan hingga 8,88%) pada tahun 1971.

Tujuan usaha Orde Baru ialah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.

Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui jadwal Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.

Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya mempunyai misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia.

Pada masa ini pengertian pembangunan nasional ialah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang mencakup seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan kiprah mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat semenjak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 memutuskan Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN).

GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Adapun Repelita yang berisi program-program kongkret yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai semenjak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang.

Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) berdasarkan indikator ketika itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup berpengaruh bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).

Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu:

(1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat;

(2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan

(3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akhir pelaksanaan pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan pembangunan.

Oleh lantaran itu, semenjak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka pemerintahan Orde Baru memutuskan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:

(1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan perumahan; (2) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
(3) pemerataan pembagian pendapatan;
(4) pemerataan kesempatan kerja;
(5) pemerataan kesempatan berusaha;
(6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita;
(7) pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah tanah air; dan
(8) pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

1. Pertanian 
Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur Pembangunan Lima Tahun (Pelita), swasembada pangan merupakan fokus tersendiri dalam planning pembangunan yang dibuat oleh Soeharto.

Pada Pelita I yang dicanangkan landasan awal pembangunan Pemerintahan Orde Baru, dititikberatkan pada pembangunan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaruan sektor pertanian.

Tujuan Pelita I ialah meningkatkan taraf hidup rakyat melalui sektor pertanian yang ditopang oleh kekuatan koperasi dan sekaligus meletakkan dasar-dasar pembangunan dalam tahapan berikutnya.

Soeharto membangun dan menyebarkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program tersebut.

Pembangunan ditekankan pada penciptaan institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimbingan Massal (Bimas) yang diperuntukkan meningkatkan produksi beras dan koperasi sebagai organisasi ekonomi masyarakat pedesaan.

Sekaligus menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam menyalurkan sarana pengolahan dan pemasaran hasil produksi.

Di sisi lain pemerintah juga membuat Badan Urusan Logistik (BULOG). Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi yang bertujuan memperbaiki produksi pangan nasional.

Untuk itu kemudian pemerintah menyebarkan ekonomi pedesaan dengan menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada dengan membentuk Badan Usaha Unit Desa (BUUD).

Maka lahirlah Koperasi Unit Desa (KUD) sebagai pecahan dari pembangunan nasional. BUUD/KUD melaksanakan kegiatan pengadaan pangan untuk persediaan nasional yang diperluas dengan kiprah menyalurkan sarana produksi pertanian (pupuk, benih, dan obat-obatan).

Soeharto juga menyebarkan institusi-institusi yang mendukung pertanian lainnya menyerupai institusi penelitian menyerupai BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) yang berkembang untuk menghasilkan penemuan untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal ialah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW).

Pemerintah Orde Baru membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani.

Para petani diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.

Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti bisa meningkatkan produksi pangan, terutama beras.

Saat itu, kebijaksanaan daya padi di Indonesia ialah yang terbaik di Asia.

Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk yang dibangun antara lain ialah Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh. Jaringan irigasi teknis dibangun di banyak sekali daerah dan jadwal pembibitan ditingkatkan.

Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu pecahan tersendiri dalam rincian planning bidang-bidang.

Di dalam rincian klarifikasi dijelaskan bahwa tujuannya ialah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. Kebijakan terus mengalir guna menopang kegiatan di daerah pedesaan.

BUUD yang semula hanya dilibatkan dalam jadwal Bimbingan Massal (Bimas sektor pertanian pangan), kemudian ditingkatkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) dengan kiprah serta peranan yang terus dikembangkan.

Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 1973 perihal Unit Desa dikeluarkan 5 Mei 1973, menjadi tonggak yuridis keberadaan KUD.

Kebijakan tersebut dilanjutkan dengan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973, yang membentuk Wilayah Unit Desa (Wilud), pada alhasil menjadi Koperasi Unit Desa (KUD).

Dari sinilah lahir Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang berada di bawah Departemen Pertanian. Para PPL memperkenalkan dan menyebarluaskan teknologi pertanian kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan.

Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain jadwal penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu jadwal pembangunan pertanian Orde Baru yang khas.

Kelompencapir merupakan wadah temu wicara eksklusif antara petani, nelayan, dan peternak dengan sesama petani, penyuluh, menteri atau bahkan dengan Presiden Soeharto.

Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari banyak sekali daerah hingga tingkat pusat.

Kelompencapir merupakan jadwal Orde Baru di bidang pertanian yang dijalankan oleh Departemen Penerangan.

Kelompencapir diresmikan pada 18 Juni 1984, dengan keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia No.110/Kep/Menpen/1984.

2. Pendidikan 
Pada masa kepemimpinan Soeharto pembangunan pendidikan mengalami kemajuan yang sangat penting.

Ada tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orde Baru ialah pembangunan SD Inpres (SD Inpres), jadwal wajib berguru dan pembentukan kelompok berguru atau kejar. Semuanya itu bertujuan untuk memperluas kesempatan belajar, terutama di pedesaan dan bagi daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah.

Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No. 10/1973 perihal Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.

Pelaksanaan tahap pertama jadwal SD Inpres ialah pembangunan 6.000 gedung SD yang masing-masing mempunyai tiga ruang kelas.

Dana pembangunan SD Inpres tersebut berasal dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya naik sekitar 300 persen dari sebelumnya.

Pada tahun-tahun awal pelaksanaan jadwal pembangunan SD Inpres, hampir setiap tahun, ribuan gedung sekolah dibangun.

Sebelum jadwal Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dilaksanakan, jumlah gedung SD yang tercatat pada tahun 1968 sebanyak 60.023 unit dan gedung SMP 5.897 unit. Pada awal Pelita VI, jumlah itu telah meningkat menjadi sekitar 150.000 gedung SD dan 20.000 gedung SMP.

Pembangunan paling besar terjadi pada periode 1982/1983 ketika 22.600 gedung SD gres dibuat.

Hingga periode 1993/1994 tercatat hampir 150.000 unit SD Inpres telah dibangun. Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan jumlah guru.

Jumlah guru SD yang sebelumnya berjumlah sekitar ratusan ribu, pada awal tahun 1994 menjadi lebih dari satu juta guru.

Satu juta lebih guru ditempatkan di sekolah-sekolah inpres tersebut. Lonjakan jumlah guru dari puluhan ribu menjadi ratusan ribu juga terjadi pada guru SMP.

Total dana yang dikeluarkan untuk jadwal ini hingga simpulan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) I mencapai hampir Rp 6,5 triliun.

Program wajib berguru pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984, di simpulan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III.

Dalam sambutan peresmian wajib berguru ketika itu, Soeharto menyatakan bahwa kebijakannya bertujuan untuk memperlihatkan kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak Indonesia berusia 7-12 tahun dalam menikmati pendidikan dasar.

Program wajib berguru itu mewajibkan setiap anak usia 7-12 tahun untuk mendapatkan pendidikan dasar 6 tahun (SD).

Program ini tidak murni menyerupai kebijakan wajib berguru yang mempunyai unsur paksaan dan hukuman bagi yang tidak melaksanakannya.

Pemerintah hanya mengimbau orangtua semoga memasukkan anaknya yang berusia 7-12 tahun ke sekolah.

Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, menyerupai gedung sekolah, peralatan sekolah, di samping tenaga pengajarnya.

Meski jadwal wajib berguru tidak diikuti oleh kebijakan pembebasan biaya pendidikan bagi bawah umur dari keluarga kurang mampu, pemerintah waktu itu berupaya mengatasinya melalui jadwal beasiswa.

Untuk itu, kemudian muncul jadwal Gerakan Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA). Dalam upaya memperkuat pelaksanaan GN-OTA, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Agama Nomor 34/HUK/1996, Nomor 88 Tahun 1996, Nomor 0129/U/1996, Nomor 195 Tahun 1996 perihal Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak Cacat, dan Anak yang Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam rangka Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Keberhasilan jadwal wajib berguru 6 tahun ditandai dengan kenaikan angka partisipasi sekolah dasar (SD) sebesar 1,4 persen.

Angka partisipasi SD menjadi 89,91 persen di simpulan Pelita IV.

Kenaikan angka partisipasi itu menambah berpengaruh niat pemerintah untuk memperluas kelompok usia anak yang ikut jadwal wajib berguru selanjutnya, menjadi 7-15 tahun, atau menuntaskan tingkat SMP (SMP).

Sepuluh tahun kemudian, jadwal masuk akal berhasil ditingkatkan menjadi 9 tahun, yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP.

Upaya pelaksanaan wajib berguru 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun mulai diresmikan pada Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994.

Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1994.

Program wajib berguru telah meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia ketika itu. Fokus utama ketika itu ialah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.

Fokus pembangunan pendidikan ketika itu, yaitu peningkatan secara kuantitatif, gres kemudian memerhatikan kualitas atau mutu pendidikan.

Setelah ekspansi kesempatan berguru untuk bawah umur usia sekolah, target perbaikan bidang pendidikan selanjutnya ialah pemberantasan buta aksara.

Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf.

Dalam upaya meningkatkan angka melek huruf, pemerintahan Orde Baru mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978.

Cara yang ditempuh ialah dengan pembentukan kelompok berguru atau ”kejar”.

Kejar merupakan jadwal pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun.

Tutor atau pembimbing setiap kelompok ialah masyarakat yang telah sanggup membaca, menulis dan berhitung dengan pendidikan minimal sekolah dasar.

Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar diubahsuaikan dengan kondisi setiap tempat. Keberhasilan jadwal kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun.

Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih mempunyai 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf.

Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan sensus tahun 1980, persentase itu menurun menjadi hanya 28,8 persen. Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.

3. Keluarga Berencana (KB) 
Pada masa Orde Baru dilaksanakan jadwal untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang dikenal dengan Keluarga Berencana (KB).

Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.

Pengendalian penduduk dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia dan peningkatan kesejahteraannya.

Keberhasilan ini dicapai melalui jadwal KB yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).

Berbagai kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh pemerintah, baik melalui media massa cetak maupun elektronik.

Pada simpulan tahun 1970-an hingga simpulan tahun 1980-an di Televisi Republik Indonesia (TVRI) sering diisi oleh acara-acara mengenai pentingnya KB.

Baik itu melalui info atau jadwal hiburan menyerupai drama dan wayang orang “Ria Jenaka”. Di samping itu nyanyian mars “Keluarga Berencana” ditayangkan hampir setiap hari di TVRI.

Selain di media massa, di papan iklan di pinggir-pinggir jalan pun banyak dipasang mengenai pesan pentingnya KB.

Demikian pula dalam mata uang koin seratus rupiah dicantumkan mengenai KB. Hal itu pertanda bahwa Orde Baru sangat serius dalam melaksanakan jadwal KB.

Slogan yang muncul dalam kampanyekampanye KB ialah “dua anak cukup, laki perempuan sama saja”.

Program KB di Indonesia, diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk memilih jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar insan dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial.

Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk dipuji oleh UNICEF lantaran dinilai berhasil menekan tingkat maut bayi dan telah melaksanakan banyak sekali upaya lainnya dalam rangka mensejahterakan kehidupan bawah umur di tanah air.

UNICEF bahkan mengemukakan bahwa tindakan yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya dijadikan pola bagi negara-negara lain yang tingkat maut bayinya masih tinggi.

Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia, sehingga menarik perhatian dunia untuk mengikuti kesuksesan Indonesia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk jadwal ini.

4. Kesehatan Masyarakat, Posyandu 
Perkembangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951.

Bandung Plan merupakan suatu konsep pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif.

Tahun 1956 didirikanlah proyek Bekasi oleh dr. Y. Sulianti di Lemah Abang, yaitu model pelayanan kesehatan pedesaan dan pusat training tenaga.

Kemudian didirikan Health Centre (HC) di delapan lokasi, yaitu di Indrapura (Sumut), Bojong Loa (Jabar), Salaman (Jateng), Mojosari (Jatim), Kesiman (Bali), Metro (Lampung), DIY, dan Kalimantan Selatan.

Pada 12 November 1962 Presiden Soekarno mencanangkan jadwal pemberantasan malaria dan pada tanggal tersebut menjadi Hari Kesehatan Nasional (HKN).

Konsep Bandung Plan terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas.

Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas yaitu Tipe A, B dan C.

Kegiatan Puskesmas ketika itu dikenal dengan istilah ’Basic’. Ada Basic 7, Basic 13 Health Service yaitu : KIA, KB, Gizi Mas, Kesling, P3M, PKM, BP, PHN, UKS, UHG, UKJ, Lab, Pencatatan dan Pelaporan. Pada tahun 1969, Tipe Puskesmas menjadi A dan B.

Pada tahun 1977 Indonesia ikut menandatangi janji Visi: ”Health For All By The Year 2000”, di Alma Ata, negara bekas Federasi Uni Soviet, pengembangan dari konsep ”Primary Health Care”.

Tahun 1979 Puskesmas tidak ada pen’tipe’an dan dikembangkan piranti manajerial perencanaan dan penilaian Puskesmas, yaitu ’Micro Planning’ dan Stratifikasi Puskesmas.

Pada tahun 1984 dikembangkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi.

Posyandu dengan 5 programnya, yaitu KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Posyandu bukan saja untuk pelayanan balita tetapi juga untuk pelayanan ibu hamil.

Bahkan pada waktu-waktu tertentu untuk promosi dan distribusi Vitamin A, Fe, Garam Yodium, dan pemanis gizi lainnya. Bahkan, Posyandu ketika ini juga menjadi andalan kegiatan penggerakan masyarakat (mobilisasi sosial) menyerupai PIN, Campak, dan Vitamin A.

Perkembangan Puskesmas menampakan hasilnya pada era Orde Baru, salah satu indikatornya ialah semakin baiknya tingkat kesehatan.

Pada sensus 1971 hanya ada satu dokter untuk melayani 20,9 ribu penduduk. Sensus 1980, memperlihatkan bahwa satu tenaga dokter untuk 11,4 ribu penduduk.

Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional ketika itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik daerah Asia Tenggara ketika itu terjadi perebutan efek dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet).

Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya.

Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa mengakibatkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.

Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak eksklusif juga membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak militer).

Pada ketika yang sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara eksklusif dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik.

Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah gres Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola.

Ia telah melaksanakan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.

Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal.

Ketiga partai politik itu adalah:

(1) Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara pecahan dari Portugal:

(2) Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan

(3) Associacau Popular Democratica Timurense (ApodetiIkatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia.

Selain itu terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalhista. Ketiga partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara.

Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27.

Pertimbangan yang diajukan ialah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis dan etnis maupun geografis.

Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut.

Pernyataan tokoh Apodeti itu menerima respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang intinya memang merasa khawatir jika Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis.

Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta-merta mendapatkan begitu saja impian orang-orang Apodeti.

Keterlibatan Indonesia secara eksklusif di Timor-Timur terjadi setelah adanya ajakan dari para pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista.

Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di Kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia.

Pada tanggal 31 Mei 1976 dewan perwakilan rakyat Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia semoga secepatnya mendapatkan dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.

Atas impian bergabung rakyat Timor Timur dan ajakan pinjaman yang diajukan, pemerintah Indonesia kemudian menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975.

Operasi militer ini rahasia didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur.

Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang tengah berlangsung.

Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses legalisasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 perihal Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur.

Pengesahan ini alhasil diperkuat melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke-27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Negara-negara tetangga dan pihak Barat, termasuk Amerika Serikat dan Australia dengan alasan masing-masing umumnya mendukung tindakan Indonesia.

Kekhawatiran akan jatuhnya Timor-Timur ke tangan komunis membuat negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat dan Australia) secara rahasia mendukung tindakan Indonesia.

Mereka secara de facto dan selanjutnya de jure integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia.

Akan tetapi, penguasaan Indonesia terhadap wilayah itu ternyata menimbulkan banyak permasalahan yang berkelanjutan, terutama setelah berakhirnya “Perang Dingin” dan runtuhnya Uni Soviet.

Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil membuat suasana kondusif bagi masyarakat Indonesia.

Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi lantaran setiap jadwal pembangunan pemerintah berkala dengan baik dan hasilnya sanggup terlihat secara konkret.

Indonesia berhasil mengubah status dari negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras).

Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka maut bayi, dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.

Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik.

Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter. Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan.

Peran negara menjadi semakin berpengaruh yang mengakibatkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis.

Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat.

Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran wilayahnya sendiri.

Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.

Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memperlihatkan pelajaran berdemokrasi yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan.

Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping semoga tercipta gambaran sebagai negara demokrasi.

Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak.

Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/ dewan perwakilan rakyat yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.

Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak.

Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak jelek bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia.

Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan.

Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya terusan dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat.

Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.

Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi insan (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melaksanakan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM.

Amnesty International contohnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah,Asia Pasifik,Amerika Latin, dan Eropa Timur sebagai pelanggar HAM.

Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).

Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak sanggup dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melaksanakan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM.

Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, sanggup disebut kejadian Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus.

Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa, yaitu Peristiwa Penembakan Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984).

Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah (September 1993).

Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi Peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).

Dengan situasi politik dan ekonomi menyerupai di atas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi pujian Orde Baru yang berhasil meningkatkan Gross National Product (GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi hingga US$ 1.300 perkapita di awal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna.

Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara mendasar pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa negara menyerupai di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua.

Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia menjelang simpulan tahun 1997.

Related : Sejarah Indonesia Xii Kepingan 4 Sistem Dan Struktur Politik Dan Ekonomi Indonesia Abad Orde Baru

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xii Kepingan 4 Sistem Dan Struktur Politik Dan Ekonomi Indonesia Abad Orde Baru"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)