Sejarah Indonesia Xii Kepingan 5 Sistem Dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Kala Reformasi


1. Krisis Moneter, Politik, Hukum, dan Kepercayaan 
Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997, merupakan permulaan kejadian yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia, mirip Malaysia, Filipina, Korea, dan Indonesia.

Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar Rp2.500,00/US$ terus mengalami kemerosotan. Situasi ini mendorong Presiden Soeharto meminta pinjaman dari International Monetary Fund (IMF).

Persetujuan pinjaman IMF dilakukan pada Oktober 1997 dengan syarat pemerintah Indonesia harus melaksanakan pembaruan kebijakan-kebijakan, terutama kebijakan ekonomi.

Di antara syarat-syarat tersebut ialah penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta. Namun perjuangan ini tidak menuntaskan masalah yang dihadapi.

Upaya pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah, melalui Bank Indonesia dengan melaksanakan intervensi pasar tidak bisa membendung nilai tukar rupiah yang terus merosot.

Nilai tukar rupiah yang berada di posisi Rp4.000,00/US$ pada Oktober 1997 terus melemah menjadi sekitar Rp17.000,00/US$ pada bulan Januari 1998.

Kondisi ini berdampak pada jatuhnya bursa saham Jakarta, bangkrutnya perusahaan-perusahaan besar di Indonesia yang menimbulkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.

Kondisi ini membuat Presiden Soeharto mendapatkan tawaran reformasi IMF pada tanggal 15 Januari 1998 dengan ditandatanganinya Letter of Intent (Nota Kesepakatan) antara Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michele Camdesius.

Namun, kemudian Presiden Soeharto menyatakan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya membawa Indonesia pada sistem ekonomi liberal.

Hal ini menyiratkan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut.

Situasi tarik menarik antara pemerintah dan IMF itu menimbulkan krisis ekonomi semakin memburuk.

Pada dikala krisis semakin dalam, muncul ketegangan-ketegangan sosial dalam masyarakat. Pada bulan-bulan awal 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan anti–Cina.

Kelompok ini menjadi target kemarahan masyarakat lantaran mereka mendominasi perekonomian di Indonesia.

Krisis ini pun semakin menjalar dalam bentuk gejolak-gejolak non ekonomi lainnya yang membawa imbas terhadap proses perubahan selanjutnya.

Sementara itu, sesuai dengan hasil Pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997, Golkar memperoleh bunyi 74,5 persen, PPP 22,4 persen, dan PDI 3 persen.

Setelah pelaksanaan pemilu tersebut perhatian tercurah pada Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada Maret 1998. Sidang Umum MPR ini akan menentukan presiden dan wakil presiden.

Sidang umum tersebut kemudian memutuskan kembali Soeharto sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dengan B.J. Habibie sebagai wakil presiden.

Dalam beberapa ahad sehabis terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang semenjak usang dibatasi mulai muncul ke permukaan.

Meningkatnya kecaman terhadap Presiden Soeharto terus meningkat yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa semenjak awal 1998.

Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, mirip ITB, UI dan lain-lain semakin meningkat intensitasnya semenjak terpilihnya Soeharto.

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademis maupun pimpinan universitas.

Garis besar tuntutan mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di banyak sekali kota, yaitu tuntutan penurunan harga sembako (sembilan materi pokok), abolisi monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) serta suksesi kepemimpinan nasional.

Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menimbulkan para mahasiswa di banyak sekali kota mulai mengadakan agresi hingga keluar kampus.

Maraknya aksi-aksi mahasiswa yang sering berlanjut menjadi bentrokan dengan pegawanegeri kemanan membuat Menhankam/Pangab, Jenderal Wiranto, mencoba meredamnya dengan memperlihatkan dialog.

Dari obrolan tersebut diperlukan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat kembali terbuka.

Namun mahasiswa menganggap bahwa obrolan dengan pemerintah tidak efektif lantaran tuntutan pokok mereka ialah reformasi politik dan ekonomi pengunduran diri Presiden Soeharto.

Menurut mahasiswa, kawan obrolan yang paling efektif ialah lembaga kepresidenan dan MPR.

Di tengah maraknya agresi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik.

Kebijakan yang diambil pemerintah bertentangan dengan tuntutan yang berkembang dikala itu.

Sehingga naiknya harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa, lantaran kebijakan tersebut berdampak pula pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya.

Dalam kondisi negara yang sedang mengalami krisis, Presiden Soeharto, Pada 9 Mei 1998, berangkat ke Kairo (Mesir) untuk menghadiri Konferensi G 15.

Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan harga BBM.

Selain itu, ia menyerukan kepada lawan–lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul.

Meskipun demikian kerusuhan tetap tidak sanggup dipadamkan dan gelombang protes dari banyak sekali kalangan komponen masyarakat terus berlangsung

2. Tuntutan dan Agenda Reformasi
Reformasi ialah gerakan untuk mengubah bentuk atau sikap suatu tatanan, lantaran tatanan tersebut tidak lagi disukai atau tidak sesuai dengan kebutuhan zaman, baik lantaran tidak efisien maupun tidak higienis dan tidak demokratis. “Reformasi atau mati”.

Demikian tuntutan yang ditorehkan oleh para penggerak mahasiswa pada spanduk-spanduk yang terpampang di kampus mereka, atau yang mereka teriakan dikala melaksanakan agresi protes melalui kegiatan unjuk rasa pada tamat April 1998.

Tuntutan tersebut menggambarkan sebuah titik kulminasi dari gerakan agresi protes yang tumbuh di lingkungan kampus secara nasional semenjak awal tahun 1998.

Gerakan ini bertujuan untuk melaksanakan tekanan semoga pemerintah mengadakan perubahan politik yang berarti, melalui pelaksanaan reformasi secara total.

Kemunculan gerakan reformasi dilatarbelakangi terjadinya krisis multidimensi yang dihadapi bangsa Indonesia.

Gerakan ini pada awalnya hanya berupa demonstrasi di kampus-kampus besar.

Namun mahasiswa alhasil harus turun ke jalan lantaran aspirasi mereka tidak mendapatkan respon dari pemerintah.

Gerakan Reformasi tahun 1998 mempunyai enam agenda, yaitu:
1) Suksesi kepemimpinan nasional
2) Amendemen Undang-Undang Dasar 1945
3) Pemberantasan KKN
4) Penghapusan dwifungsi ABRI
5) Penegakan supremasi hukum
6) Pelaksanaan otonomi daerah Agenda utama gerakan reformasi ialah turunnya Soeharto dari jabatan presiden.

Berikut ini kronologi beberapa kejadian penting selama gerakan reformasi yang memuncak pada tahun 1998.

Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 direncanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional.

Namun ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan.

Pada tanggal 12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta tewas tertembak peluru pegawanegeri keamanan dikala demonstrasi menuntut Soeharto mundur.

Mereka ialah Elang Mulya, Hery Hertanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin Royan.

Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti dan lainnya gres memasuki kampusnya sehabis melaksanakan demonstrasi di gedung DPR/MPR. Penembakan pegawanegeri di Universitas Trisakti itu menyulut demonstrasi yang lebih besar.

Pada tanggal 13 Mei 1998 terjadi kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan di Jakarta dan Solo. Kondisi ini memaksa Presiden Soeharto mempercepat kepulangannya dari Mesir.

Sementara itu, mulai tanggal 14 Mei 1998 demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Bahkan, para demonstran mulai menduduki gedung-gedung pemerintah di pusat dan daerah.

Mahasiswa Jakarta menjadikan gedung DPR/MPR sebagai pusat gerakan yang relatif aman. Ratusan ribu mahasiswa menduduki gedung rakyat.

Bahkan, mereka menduduki atap gedung tersebut. Mereka berupaya menemui pimpinan MPR/DPR semoga mengambil sikap yang tegas.

Akhirnya, tanggal 18 Mei 1998 Ketua MPR/DPR Harmoko meminta Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.

Untuk mengatasi keadaan, Presiden Soeharto menjanjikan akan mempercepat pemilu. Hal ini dinyatakan sehabis Soeharto mengundang beberapa tokoh masyarakat mirip Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid ke Istana Negara pada tanggal 19 Mei 1998.

Akan tetapi, upaya ini tidak mendapat sambutan rakyat. Momentum hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 rencananya dipakai tokoh reformasi Amien Rais untuk mengadakan doa bersama di sekitar Tugu Monas.

Akan tetapi, dia membatalkan planning apel dan doa bersama lantaran 80.000 tentara bersiaga di daerah tersebut.

Di Yogyakarta, Surakarta, Medan, dan Bandung ribuan mahasiswa dan rakyat berdemonstrasi.

Ketua MPR/DPR Harmoko kembali meminta Soeharto mengundurkan diri pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1998 atau DPR/MPR akan terpaksa menentukan presiden baru.

Bersamaan dengan itu, sebelas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri.

Akhirnya, pada pukul 09.00 WIB Presiden Soeharto membacakan pernyataan pengunduran dirinya. Itulah beberapa kejadian penting menyangkut gerakan reformasi tahun 1998.

Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden yang telah dipegang selama 32 tahun. Beliau mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat Indonesia.

Soeharto kemudian digantikan B.J. Habibie.

Sejak dikala itu berakhirlah kurun Orde Baru selama 32 tahun, Indonesia memasuki sebuah kurun gres yang kemudian dikenal sebagai Masa Reformasi.

Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, pada hari itu juga Wapres B.J. Habibie dilantik menjadi Presiden RI ketiga di bawah pimpinan Mahkamah Agung di Istana Negara.

Dasar aturan pengangkatan Habibie ialah menurut TAP MPR No.VII/MPR/1973 yang berisi “jika Presiden berhalangan, maka Wapres ditetapkan menjadi Presiden”.

Ketika Habibie naik sebagai Presiden, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi terburuk dalam waktu 30 tahun terakhir, disebabkan oleh krisis mata uang yang didorong oleh hutang luar negeri yang luar biasa besar sehingga menurunkan nilai rupiah menjadi seperempat dari nilai tahun 1997.

Krisis yang telah menimbulkan kebangkrutan teknis terhadap sektor industri dan manufaktur serta sektor finansial yang hampir ambruk, diperparah oleh animo kemarau panjang yang disebabkan oleh topan El Nino, yang menjadikan turunnya produksi beras.

Ditambah kerusuhan Mei 1998 telah menghancurkan pusat-pusat bisnis perkotaan, khususnya di kalangan investor keturunan Cina yang memainkan kiprah mayoritas dalam ekonomi Indonesia.

Larinya modal, dan hancurnya produksi serta distribusi barang-barang menjadikan upaya pemulihan menjadi sangat sulit, hal tersebut menimbulkan tingkat inflasi yang tinggi.

Pengunduran diri Soeharto telah membebaskan energi sosial dan politik serta putus asa akhir tertekan selama 32 tahun terakhir, membuat perasaan bahagia secara umum akan kemungkinan politik yang kini tampak mirip terjangkau.

Kalangan mahasiswa dan kelompok-kelompok pro demokrasi menuntut adanya demokratisasi sistem politik segera terjadi, meminta pemilihan umum segera dilakukan untuk menentukan anggota DPR dan MPR, yang sanggup menentukan presiden gres dan wakil presiden.

Di samping tuntutan untuk menyelenggarakan pemilihan umum secepat mungkin, pemerintah juga berada di bawah tekanan kuat untuk menghapuskan korupsi, kongkalikong dan nepotisme yang menandai Orde Baru.

Tugas yang diemban oleh Presiden B.J. Habibie ialah memimpin pemerintahan transisi untuk menyiapkan dan melaksanakan acara reformasi yang menyeluruh dan mendasar, serta sesegera mungkin mengatasi kemelut yang sedang terjadi.

Naiknya B.J. Habibie ke singgasana kepemimpinan nasional diibaratkan menduduki puncak Gunung Merapi yang siap meletus kapan saja.

Gunung itu akan meletus bila banyak sekali problem politik, sosial dan psikologis, yang merupakan warisan pemerintahan usang tidak diatasi dengan segera.

Menjawab kritik-kritik atas dirinya yang dinilai sebagai orang tidak tepat menangani keadaan Indonesia yang sedang dilanda krisis yang luar biasa. B.J. Habibie berkali-kali menegaskan perihal komitmennya untuk melaksanakan reformasi di bidang politik, aturan dan ekonomi.

Secara tegas Habibie menyatakan bahwa kedudukannya sebagai presiden ialah sebuah amanat konstitusi.

Dalam menjalankan tugasnya ini ia berjanji akan menyusun pemerintahan yang bertanggung jawab sesuai dengan tuntutan perubahan yang digulirkan oleh gerakan reformasi tahun 1998.

Pemerintahnya akan menjalankan reformasi secara sedikit demi sedikit dan konstitusional serta komitmen terhadap aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan politik yang demokratis dan meningkatkan kepastian hukum.

Dalam pidato pertamanya pada tanggal 21 Mei 1998, malam harinya sehabis dilantik sebagai Presiden, pukul 19.30 WIB di Istana Merdeka yang disiarkan eksklusif melalui RRI dan TVRI, B.J. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi.

Pidato tersebut bisa dikatakan merupakan visi kepemimpinan B.J. Habibie guna menjawab tuntutan Reformasi secara cepat dan tepat.

Beberapa point penting dari pidatonya tersebut ialah kabinetnya akan menyiapkan proses reformasi dalam ketiga bidang yaitu:

1) Di bidang politik antara lain dengan memperbarui banyak sekali perundangundangan dalam rangka lebih meningkatkan kualitas kehidupan berpolitik yang bernuansa pada PEMILU sebagaimana yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

2) Di bidang aturan antara lain meninjau kembali Undang-Undang Subversi.

3) Di bidang ekonomi dengan mempercepat penyelesaian undang-undang yang menghilangkan praktik-praktik monopoli dan persaingan tidak sehat.

Di samping itu pemerintah akan tetap melaksanakan semua komitmen yang telah disepakati dengan pihak luar negeri, khususnya dengan melaksanakan acara reformasi ekonomi sesuai dengan kesepakatan dengan IMF.

Pemerintah akan tetap menjunjung tinggi kerjasama regional dan internasional, mirip yang telah dilaksanakan selama ini dan akan berusaha dalam waktu yang sesingkat-singkatnya mengembalikan dinamika pembangunan bangsa Indonesia yang dilandasi atas kepercayaan nasional dan internasional yang tinggi.

Seperti dituturkan dalam pidato pertamanya, bahwa pemerintahannya akan komitmen pada aspirasi rakyat untuk memulihkan kehidupan ekonomisosial, meningkatkan kehidupan politik demokrasi dan menegakkan kepastian hukum.

Maka fokus perhatian pemerintahan Habibie diarahkan pada tiga bidang tersebut

a) Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan 
Sehari sehabis dilantik, B.J. Habibie telah berhasil membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri atas 36 Menteri, yaitu 4 Menteri Negara dengan kiprah sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang memimpin Departemen, dan 12 Menteri Negara yang memimpin kiprah tertentu.

Dalam Kabinet Reformasi Pembangunan tersebut terdapat sebanyak 20 orang yang merupakan Menteri pada Kabinet Pembangunan kurun Soeharto.

Kabinet Reformasi Pembangunan terdiri atas banyak sekali elemen kekuatan politik dalam masyarakat, mirip dari ABRI, partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), unsur daerah, golongan intelektual dari perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.

Untuk pertama kalinya semenjak pemerintahan Orde Baru, Habibie mengikutsertakan kekuatan sosial politik non Golkar, unsur daerah, akademisi, profesional dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sehingga diperlukan terjadi sinergi dari semua unsur kekuatan bangsa tersebut.

Langkah ini semacam rainbow coalition yang terakhir kali diterapkan dalam Kabinet Ampera.

Pada sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan, 25 Mei 1998, B.J. Habibie memberikan pengarahan bahwa pemerintah harus mengatasi krisis ekonomi dengan dua target pokok, yakni tersedianya materi masakan pokok masyarakat dan berputarnya kembali roda perekonomian masyarakat.

Pusat perhatian Kabinet Reformasi Pembangunan ialah meningkatkan kualitas, produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat, dengan memberi kiprah perusahaan kecil, menengah dan koperasi, lantaran terbukti mempunyai ketahanan ekonomi dalam menghadapi krisis.

Dalam sidang pertama kabinet itu juga, Habibie memerintahkan bahwa departemen-departemen terkait secepatnya mengambil langkah persiapan dan pelaksanaan reformasi, khususnya menyangkut reformasi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang hukum.

Perangkat perundang-undangan yang perlu diperbarui antara lain Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang perihal Partai Politik dan Golkar, UU perihal susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD, UU perihal Pemerintahan Daerah.

Menindaklanjuti tuntutan yang begitu kuat terhadap reformasi politik, banyak kalangan menuntut adanya amendemen Undang-Undang Dasar 1945.

Tuntutan amendemen tersebut menurut pemikiran bahwa salah satu sumber permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini ada pada Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada presiden, tidak adanya check and balances system, terlalu fleksibel, sehingga dalam pelaksanaannya banyak yang disalahgunakan, pengaturan hak asasi insan yang minim dan kurangnya pengaturan mengenai pemilu dan prosedur demokrasi.

b) Sidang Istimewa MPR 1998 
Di tengah maraknya gelombang demonstrasi mahasiswa dan desakan kaum intelektual terhadap legitimasi pemerintahan Habibie, pada 10–13 November 1998, MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk memutuskan langkah pemerintah dalam melaksanakan reformasi di segala bidang.

Beberapa hasil yang dijanjikan pemerintah dalam menghadapi tuntutan keras dari mahasiswa dan gerakan reformasi telah terwujud dalam ketetapan-ketetapan yang dihasilkan MPR, antara lain:

  • Terbukanya kesempatan untuk mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945 tanpa melalui referendum. 
  • Pencabutan keputusan P4 sebagai mata pelajaran wajib (Tap MPR No. XVIII/MPR/1998). 
  • Masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya hingga dua kali masa tugas, masing masing lima tahun (Tap MPR No. XIII/MPR/1998). 
  • Agenda reformasi politik mencakup pemilihan umum, ketentuan untuk menyelidiki kekuasaan pemerintah, pengawasan yang baik dan banyak sekali perubahan terhadap Dwifungsi ABRI. 
  • Tap MPR No. XVII/MPR/1998 perihal Hak Asasi Manusia, mendorong kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, serta pembebasan tahanan politik dan narapidana politik. 

c) Reformasi Bidang Politik 
Sesuai dengan Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan telah berupaya melaksanakan sejumlah acara politik, yaitu merubah budaya politik yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, mirip pemusatan kekuasaan, dilanggarnya prinsip-prinsip demokrasi, terbatasnya partisipasi politik rakyat, menonjolnya pendekatan represif yang menekankan keamanan dan stabilitas, serta terabaikannya nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan prinsip supremasi hukum.

Beberapa hal yang telah dilakukan B.J. Habibie adalah:

• Diberlakukannya Otonomi Daerah yang lebih demokratis dan semakin luas. Dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diperlukan akan meminimalkan bahaya disintegrasi bangsa. Otonomi daerah ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998.

• Kebebasan berpolitik dilakukan dengan pencabutan pembatasan partai politik. Sebelumnya, dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik, pada pertengahan bulan Oktober 1998 sudah tercatat sebanyak 80 partai politik dibentuk. Menjelang Pemilihan Umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141 partai. Setelah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak 95 partai, dan yang berhak mengikuti Pemilihan Umum sebanyak 48 partai saja. Dalam hal kebebasan berpolitik, pemerintah juga telah mencabut larangan mengeluarkan pendapat, berserikat, dan mengadakan rapat umum.

• Pencabutan ketetapan untuk meminta Surat Izin Terbit (SIT) bagi media massa cetak, sehingga media massa cetak tidak lagi khawatir diberedel melalui prosedur pencabutan Surat Izin Terbit. Hal penting lainnya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat bagi pekerja media massa ialah diberinya kebebasan untuk mendirikan organisasi-organisasi profesi. Pada kurun Soeharto, para wartawan diwajibkan menjadi anggota satu-satunya organisasi persatuan wartawan yang dibuat oleh pemerintah. Sehingga merasa selalu dikontrol dan dikendalikan oleh pemerintah.

• Dalam hal menghindarkan munculnya penguasa yang absolut dengan masa kekuasaan yang tidak terbatas, diberlakukan pembatasan masa jabatan Presiden. Seorang warga negara Indonesia dibatasi menjadi presiden sebanyak dua kali masa jabatan saja.

d) Pelaksanaan Pemilu 1999 
Pelaksanaan Pemilu 1999, boleh dikatakan sebagai salah satu hasil terpenting lainnya yang dicapai Habibie pada masa kepresidenannya.

Pemilu 1999 ialah penyelenggaraan pemilu multipartai (yang diikuti oleh 48 partai politik). Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU perihal partai politik, perihal pemilu, dan perihal susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya terdiri atas wakil partai politik dan wakil pemerintah.

Hal yang membedakan Pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali Pemilu 1955) ialah diikuti oleh banyak partai politik.

Ini dimungkinkan lantaran adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.

Dengan masa persiapan yang tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan bunyi pada Pemilu 1999 ini sanggup dikatakan sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.

Tidak mirip yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh banyak pihak, ternyata Pemilu 1999 bisa terealisasi dengan tenang tanpa ada kekacauan yang berarti meski diikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga mencatat masa kampanye yang relatif tenang dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.

Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa kampanye, baik lantaran kekerasan maupun kecelakaan dibanding dengan 327 orang pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh tiga partai. Ini juga memperlihatkan rakyat kebanyakan lebih rileks melihat perbedaan.

Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya.

Berdasarkan keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1 September 1999, melaksanakan pembagian dingklik hasil pemilu.

Hasil pembagian dingklik itu menandakan lima partai besar menduduki 417 dingklik di DPR, atau 90,26 % dari 462 dingklik yang diperebutkan.

PDI-P muncul sebagai pemenang pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kursi, dan PAN 34 kursi.

e) Pelaksanaan Referendum Timor-Timur 
Satu kejadian penting yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie ialah diadakannya Referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk menuntaskan permasalahan Timor-Timur yang merupakan warisan dari pemerintahan sebelumnya.

Harus diakui bahwa integrasi Timor-Timur (Tim-Tim) ke wilayah RI tahun 1975 yang dikukuhkan oleh TAP MPR No.VI/M7PR/1978, atas kemauan sebagian warga Timor-Timur tidak pemah mendapat ratifikasi internasional.

Meskipun bahu-membahu Indonesia tidak pernah mengklaim dan berambisi menguasai wilayah Tim-Tim.

Banyak pengorbanan yang telah diberikan bangsa Indonesia, baik nyawa maupun harta benda, untuk membuat perdamaian dan pembangunan di Tim-Tim, yang secara historis memang sering bergejolak antara yang pro integrasi dengan yang kontra.

Subsidi yang diberikan oleh pemerintah pusat bahkan melebihi dari apa yang diberikan kepada provinsi-provinsi lain untuk mengejar ketertinggalan.

Namun sungguh disesalkan bahwa segala upaya itu tidak pernah mendapat tanggapan yang positif, baik di lingkungan internasional maupun di kalangan masyarakat Timor-Timur sendiri.

Di banyak sekali lembaga internasional posisi Indonesia selalu dipojokkan. Sebanyak 8 Resolusi Majelis Umum PBB dan 7 resolusi Dewan Keamanan PBB telah dikeluarkan.

Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa untuk memulihkan gambaran Indonesia, tidak mempunyai pilihan lain kecuali berupaya menuntaskan masalah Timor-Timur dengan cara-cara yang sanggup diterima oleh masyarakat internasional.

Dalam perundingan Tripartit Indonesia memperlihatkan gagasan segar, yaitu otonomi yang luas bagi Timor-Timur.

Gagasan itu disetujui oleh Portugal namun dengan prinsip yang berbeda, yaitu otonomi luas ini sebagai solusi antara (masa transisi antara 5-10 tahun) bukan solusi tamat mirip yang ditawarkan Indonesia.

Pihak-pihak yang tidak menyetujui integrasi tetap menginginkan dilakukan referendum, untuk memastikan rakyat Timor-Timur menentukan otonomi atau kemerdekaan.

Bagi Indonesia ialah lebih baik menuntaskan masalah Timor-Timur secara tuntas, lantaran akan sulit mewujudkan Pemerintahan Otonomi Khusus, sementara konflik terus berlarut-larut dan masing-masing pihak yang bertikai akan menyusun kekuatan untuk memenangkan referendum.

Karena itu, melalui kajian yang mendalam dan sehabis berkonsultasi dengan Pimpinan DPR dan Fraksi-Fraksi DPR, pemerintah memperlihatkan alternatif lain.

Jika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak Otonomi Luas dalam sebuah “jajak pendapat”, maka ialah masuk akal dan bijaksana bahkan demokratis dan konstitusional, bila pemerintah mengusulkan Opsi kedua kepada Sidang Umum MPR, yaitu mempertimbangkan pemisahan Timor-Timur dari NKRI secara damai, baikbaik dan terhormat.

Rakyat Timor-Timur melaksanakan jajak pendapat pada 30 Agustus 1999 sesuai dengan Persetujuan New York.

Hasil jajak pendapat yang diumumkan PBB pada 4 September 1999 ialah 78,5% menolak dan 21,5% menerima.

Setelah jajak pendapat ini telah terjadi banyak sekali bentuk kekerasan, sehingga demi kemanusiaan Indonesia menyetujui percepatan pengiriman pasukan multinasional di Timor–Timur.

Sesuai dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ‘45, bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa, maka Presiden Habibie mengharapkan MPR berkenan membahas hasil jajak pendapat tersebut dan menuangkannya dalam ketetapan yang memberikan ratifikasi terhadap keputusan rakyat Timor-Timur.

Sesuai dengan Perjanjian New York, ketetapan tersebut mengesahkan pemisahan Timor-Timur dari RI secara baik, terhormat dan damai, untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia ialah penggalan dari masyarakat internasional yang bertanggung jawab, demokratis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

f) Reformasi Bidang Ekonomi 
Sesuai dengan Tap MPR perihal pokok-pokok reformasi yang memutuskan dua arah kebijakan pokok di bidang ekonomi, yaitu penanggulangan krisis ekonomi dengan target terkendalinya nilai rupiah dan tersedianya kebutuhan materi pokok dan obat-obatan dengan harga terjangkau, serta berputarnya roda perekonomian nasional, dan pelaksanaan reformasi ekonomi.

Kebijakan ekonomi Presiden B.J. Habibie dilakukan dengan mengikuti saran-saran dari Dana Moneter Internasional yang dimodifikasi dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian Indonesia yang semakin memburuk.

Reformasi ekonomi mempunyai tiga tujuan utama, yaitu:
1) Merestrukturisasi dan memperkuat sektor keuangan dan perbankan.
2) Memperkuat basis sektor riil ekonomi.
3) Menyediakan jaringan pengaman sosial bagi mereka yang paling menderita akhir krisis.

Secara perlahan Presiden Habibie berhasil membawa perekonomian melangkah ke arah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan ekonomi yang sangat buruk, ketika terjadinya pengalihan kepemimpinan nasional dari Soeharto kepada Habibie.

Pemerintahan Habibie berhasil menurunkan laju inflasi dan distribusi kebutuhan pokok mulai kembali berjalan dengan baik.

Selain itu, yang paling signifikan ialah nilai tukar rupiah mengalami penguatan secara simultan hingga menyentuh Rp 6.700,00/dolar AS pada bulan Juni 1999.

Padahal pada bulan yang sama tahun sebelumnya masih sekitar Rp15.000,00/dolar AS.

Meski dikala naiknya eskalasi politik menjelang Sidang Umum MPR rupiah sedikit melemah mencapai Rp 8.000,00/dolar AS.

Sesuai TAP MPR No. X/MPR/1998 perihal penanggulangan krisis di bidang sosial budaya yang terjadi sebagai akhir dari krisis ekonomi, Pemerintah telah melaksanakan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Program Jaring Pengaman Sosial, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, telah banyak membantu masyarakat miskin dalam situasi krisis

Pada masa Presiden B.J. Habibie pembangunan kelautan Indonesia mendapat perhatian yang cukup besar.

Pembangunan kelautan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembangunan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah kedaulatan dan yurisdiksi nasional untuk didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan ketahanan bangsa Indonesia.

g) Reformasi Bidang Hukum 
Sesuai Tap MPR No. X/MPR/1998 reformasi di bidang aturan diarahkan untuk menanggulangi krisis dan melaksanakan acara reformasi di bidang aturan yang sekaligus dimaksudkan untuk menunjang upaya reformasi di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Keberhasilan menuntaskan 68 produk perundang-undangan dalam waktu yang relatif singkat, yaitu hanya dalam waktu 16 bulan.

Setiap bulan rata-rata sanggup dihasilkan sebanyak 4,2 undang-undang yang jauh melebihi angka produktivitas legislatif selama masa Orde Baru yang hanya tercatat sebanyak 4,07 undang-undang per tahun (0,34 per bulan).

Untuk meningkatkan kinerja aparatur penegak hukum, organisasi kepolisian telah dikembangkan keberadaannya sehingga terpisah dari organisasi Tentara Nasional Indonesia.

Dengan demikian, fungsi kepolisian negara sanggup lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan hukum.

Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional, telah berulang kali ditegaskan oleh B.J. Habibie bahwa UndangUndang Dasar 1945 sebagai aturan dasar tertinggi negara yang selama ini seolah-olah disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk disempurnakan sesuai dengan kebutuhan zaman.

Penyempurnaan Undang-Undang Dasar dipandang penting untuk menjamin semoga pemerintahan di masa-masa yang akan tiba semakin mengembangkan sesuai dengan semangat demokrasi dan tuntutan ke arah perwujudan masyarakat madani yang dicita-citakan.

Untuk itu pada kurun pemerintahan B.J. Habibie Ketetapan MPR No. 11/1978 mengenai keharusan dilakukannya referendum terlebih dahulu sebelum diberlakukannya amendemen terhadap Undang-Undang Dasar dicabut.

Pada tanggal 1 hingga 21 Oktober 1999, diadakan Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999. Tanggal 1 Oktober 1999, 700 anggota DPR/MPR periode 1999–2004 dilantik.

Lewat prosedur voting, Amin Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) terpilih sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung dari Partai Golkar terpilih sebagai Ketua DPR.

Pada 14 Oktober 1999, Presiden B.J. Habibie memberikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR.

Dalam pemandangan umum fraksi-fraksi atas pidato pertanggung balasan Presiden Habibie tanggal 15–16 Oktober 1999, dari 12 fraksi yang memberikan pemandangan umumnya, hanya empat fraksi yang secara tegas menolak, sedangkan enam fraksi lainnya masih belum menentukan putusannya.

Kebanyakan fraksi itu memberikan catatan serta pertanyaan balik atas pertanggungjawaban Habibie itu.

Pada umumnya masalah yang dipersoalkan ialah masalah Timor-Timur, pemberantasan KKN, masalah ekonomi dan masalah Hak Asasi Manusia.

Setelah mendengar balasan Presiden Habibie atas pemandangan umum fraksi-fraksi, MPR dalam sidangnya tanggal 20 Oktober 1999, dini hari alhasil menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie melalui proses voting.

Tepat pukul 00.35 Rabu dini hari, Ketua MPR Amien Rais menutup rapat paripurna dengan mengumumkan hasil rapat bahwa pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak pagi harinya, 20 Oktober 1999, pada pukul 08.30 di rumah kediamannya.

Presiden Habibie memperlihatkan sikap kenegarawanannya dengan menyatakan bahwa dia nrimo mendapatkan keputusan MPR yang menolak laporan pertanggung jawabannya.

Pada kesempatan itu, Habibie juga menyatakan mengundurkan diri dari pencalonan presiden periode berikutnya. Pada 20 Oktober 1999, Rapat Paripurna ke-13 MPR dengan acara pemilihan presiden dilaksanakan.

Beberapa calon di antaranya ialah Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza Mahendra.

Calon yang disebut terakhir menyatakan pengunduran dirinya beberapa dikala menjelang dilaksanakannya voting pemilihan presiden.

Lewat dukungan Poros Tengah (koalisi partai-partai Islam) Abdurrahman Wahid memenangkan pemilihan presiden melalui proses pemungutan suara.

Ia mengungguli Megawati yang didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang nota bene ialah pemenang pemilu 1999.

Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Presiden Habibie yang hanya berlangsung singkat kurang lebih 17 bulan.

Abdurrahman Wahid yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia keempat pada tanggal 20 Oktober 1999.

Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden tidak terlepas dari keputusan MPR yang menolak laporan pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie.

Berkat dukungan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, Abdurrahman Wahid mengungguli calon presiden lain yakni Megawati Soekarno Putri dalam pemilihan presiden yang dilakukan melalui pemungutan bunyi dalam Rapat Paripurna ke-13 MPR.

Megawati Soekarno Putri sendiri terpilih menjadi wakil presiden sehabis mengungguli Hamzah Haz dalam pemilihan wakil presiden melalui pemungutan bunyi pula. Ia dilantik menjadi Wapres pada tanggal 21 Oktober 1999.

Perjalanan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dalam melanjutkan keinginan reformasi diawali dengan membentuk Kabinet Persatuan Nasional.

Kabinet ini ialah kabinet koalisi dari partai-partai politik yang sebelumnya mengusung Abdurrahman Wahid menjadi presiden yakni PKB, Golkar, PPP, PAN, PK dan PDI-P. Di awal pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan dua departemen yakni Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dengan alasan perampingan struktur pemerintahan.

Selain itu, pemerintah berpandangan bahwa acara yang dilakukan oleh kedua departemen tersebut sanggup ditangani oleh masyarakat sendiri.

Dari sudut pandang politik, pembubaran Departemen Penerangan merupakan salah satu upaya untuk melanjutkan reformasi di bidang sosial dan politik mengingat departemen ini merupakan salah satu alat pemerintahan Orde Baru dalam mengendalikan media massa terutama media massa yang mengkritisi kebijakan pemerintah.

Pembubaran Departemen Penerangan dan Sosial diiringi dengan pembentukan Departemen Eksplorasi Laut melalui Keputusan Presiden No. 355/M Tahun 1999 tanggal 26 Oktober 1999.

Sedangkan klarifikasi mengenai kiprah dan fungsi termasuk susunan organisasi dan tata kerja departemen ini tertuang dalam Keputusan Presiden No. 136 tahun 1999 tanggal 10 November 1999.

Nama departemen ini bermetamorfosis Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menurut Keputusan Presiden No. 165 Tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan departemen ini mempunyai nilai strategis mengingat hingga masa pemerintahan Presiden Habibie, sektor kelautan

Indonesia yang menyimpan kekayaan sumber daya alam besar justru belum mendapat perhatian serius dari pemerintah sebelumnya.

Selain eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan, banyak sekali kegiatan ekonomi yang terkait eksklusif dengan bahari mencakup pariwisata, pengangkutan laut, pabrik dan perawatan kapal dan pengembangan kebijaksanaan daya bahari melalui pemanfaatan bioteknologi.

a) Reformasi Bidang Hukum dan Pemerintahan 
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, MPR melaksanakan amendemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 2000.

Amendemen tersebut berkaitan dengan susunan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten dan kota.

Amendemen ini sekaligus mengubah pelaksanaan proses pemilihan umum berikutnya yakni pemilik hak bunyi sanggup menentukan eksklusif wakilwakil mereka di tiap tingkat Dewan Perwakilan tersebut.

Selain amendemen tersebut, upaya reformasi di bidang aturan dan pemerintahan juga menyentuh institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas unsur Tentara Nasional Indonesia dan Polri.

Institusi ini kerap dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan terutama dalam melaksanakan tindakan represif terhadap gerakan demokrasi. Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia juga merupakan upaya untuk mengembalikan fungsi masing-masing unsur tersebut.

Tentara Nasional Indonesia sanggup memfokuskan diri dalam menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia dari bahaya kekuatan asing, sementara Polisi Republik Indonesia sanggup lebih berkonsentrasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Masalah lain yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid ialah upaya untuk menuntaskan banyak sekali masalah KKN yang dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.

Berbagai masalah KKN tersebut kembali dibuka pada tanggal 6 Desember 1999 dan terfokus pada apa yang telah dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto dan keluarganya.

Namun dengan alasan kesehatan, proses aturan terhadap Soeharto belum sanggup dilanjutkan. Kendati proses aturan belum sanggup dilanjutkan, Kejaksaan Agung memutuskan mantan Presiden Soeharto menjadi tahanan kota dan tidak boleh bepergian ke luar negeri.

Pada tanggal 3 Agustus 2000 Soeharto ditetapkan sebagai terdakwa terkait beberapa yayasan yang dipimpinnya.

Pencapaian lain pemerintahan Abdurrahman Wahid ialah pemulihan hak minoritas keturunan Tionghoa untuk menjalankan keyakinan mereka yang beragama Konghucu melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu.

Pada masa pemerintahannya, Presiden Abdurrahman Wahid berupaya mengurangi campur tangan negara dalam kehidupan umat beragama namun di sisi lain ia justru mengambil sikap yang berseberangan dengan sikap partai politik pendukungnya terutama dalam masalah komunisme dan masalah Israel.

Sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang cenderung mendukung pluralisme dalam masyarakat termasuk dalam kehidupan beragama dan hak-hak kelompok minoritas merupakan salah satu titik awal munculnya banyak sekali agresi penolakan terhadap kebijakan dan gagasan-gagasannya.

Dalam masalah komunisme, Presiden Abdurrahman Wahid melontarkan gagasan kontroversial yaitu gagasan untuk mencabut Tap. MPRS No. XXV Tahun 1966 perihal larangan terhadap Partai Komunis Indonesia dan penyebaran Marxisme dan Leninisme.

Gagasan tersebut mendapat tantangan dari kalangan Islam termasuk Majelis Ulama Indonesia dan tokoh-tokoh organisasi massa dan partai politik Islam. Berbagai reaksi tersebut membuat Presiden Abdurrahman Wahid mengurungkan niatnya untuk membawa planning dan gagasannya ke Sidang Tahunan MPR tahun 2000.

Selain masalah komunisme, benturan Presiden Abdurrahman Wahid dengan organisasi massa dan partai politik Islam yang notabene justru menjadi pendukungnya dikala ia terpilih menjadi presiden ialah gagasannya untuk membuka hubungan dagang dengan Israel.

Gagasannya tersebut mendapat tantangan keras mengingat Israel ialah negara yang menjajah dan telah banyak melaksanakan tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warga Palestina yang mayoritas beragama Islam.

Membuka hubungan dagang dengan Israel sama saja dengan melanggar apa yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang menyerukan semoga penjajahan di atas dunia dihapuskan.

Kejatuhan pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terlepas dari akumulasi banyak sekali gagasan dan keputusannya yang kontroversial dan mendapat tantangan keras dari banyak sekali organisasi massa dan partai politik Islam yang semula mendukungnya kecuali NU dan PKB.

Keduanya merupakan pendukung setia Presiden Abdurrahman Wahid hingga tamat masa pemerintahannya.

Selain gagasannya yang kontroversial mengenai pencabutan Tap. MPRS mengenai pelarangan komunisme dan gagasan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan DPR dan bahkan dengan beberapa menteri dalam kabinet pemerintahannya terbilang tidak harmonis.

Penyebab ketidakharmonisan tersebut berawal dari seringnya presiden memberhentikan dan mengangkat menteri tanpa memberikan keterangan yang sanggup diterima oleh DPR.

Pemberhentian Laksamana Sukardi sebagai Menteri Negara Penanaman Modal dan Jusuf Kalla sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan bahkan menimbulkan DPR mengajukan hak interpelasinya.

Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan jajaran pemerintahannya semakin menipis seiring dengan adanya dugaan bahwa presiden terlibat dalam pencairan dan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Bulog sebesar 35 miliar rupiah dan dana pinjaman Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS.

DPR alhasil membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk melaksanakan penyelidikan keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam masalah tersebut (Gonggong, Asy’arie ed, 2005: 220). Pada 1 Februari 2001 DPR menyetujui dan mendapatkan hasil kerja Pansus.

Keputusan tersebut diikuti dengan memorandum yang dikeluarkan DPR menurut Tap MPR No. III/MPR/1978 Pasal 7 untuk mengingatkan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yaitu melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 9 perihal Sumpah Jabatan dan melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 perihal Penyelenggaraan Negara yang bebas KKN (Gonggong &Asy’asri ed, 2005:221). Presiden Abdurrahman Wahid tidak mendapatkan isi memorandum tersebut lantaran dianggap tidak memenuhi landasan konstitusional.

DPR sendiri kembali mengeluarkan memorandum kedua dalam rapat paripurna DPR yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 2000.

Rapat tersebut memberikan laporan pandangan tamat fraksi-fraksi di DPR atas tanggapan presiden terhadap memorandum pertama.

Hubungan antara presiden dan DPR semakin memanas seiring dengan bahaya presiden terhadap DPR.

Jika DPR melanjutkan niat mereka untuk menggelar Sidang Istimewa MPR, maka presiden akan mengumumkan keadaan darurat, mempercepat penyelenggaraan pemilu yang bermakna pula akan terjadi pergantian anggota DPR, dan memerintahkan Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia untuk mengambil tindakan aturan terhadap sejumlah orang tertentu yang dianggap menjadi tokoh yang aktif menyudutkan pemerintah.

Situasi ini juga meningkatkan ketegangan para pendukung presiden dan pendukung sikap DPR di tingkat akar rumput.

Ribuan pendukung presiden terutama yang tinggal di kota-kota di Jawa Timur melaksanakan agresi menentang diadakannya Sidang Istimewa MPR yang sanggup menjatuhkan Abdurrahman Wahid dari dingklik kepresidenan.

Aksi ini berujung pada perusakan dan pembakaran banyak sekali kemudahan umum dan gedung termasuk kantor cabang milik sejumlah partai politik dan organisasi massa yang dianggap mendukung DPR untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR.

Dua hari menjelang pelaksanaan Sidang Paripurna DPR, Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa hasil penyelidikan masalah skandal keuangan Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei yang diduga melibatkan Presiden Abdurrahman Wahid tidak terbukti.

Hasil tamat investigasi ini disampaikan Jaksa Agung Marzuki Darusman kepada pimpinan DPR tanggal 28 Mei 2001.

Ketegangan antara pendukung presiden dan pendukung diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR tidak menyurutkan niat DPR untuk menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR.

Presiden sendiri menganggap bahwa landasan aturan memorandum kedua belum jelas. DPR alhasil menyelenggarakan rapat paripurna untuk meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa MPR. Pada tanggal 21 Juli 2001 MPR menyelenggarakan Sidang Istimewa yang dipimpin oleh ketua MPR Amien Rais.

Di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari jabatan presiden dan sebaliknya menganggap bahwa sidang istimewa tersebut melanggar tata tertib MPR sehingga tidak sah dan illegal.

Menyadari posisinya yang terancam, presiden selanjutnya mengeluarkan Maklumat Presiden tertanggal 22 Juli 2001.

Maklumat tersebut selanjutnya disebut Dekret Presiden.

Secara umum Dekret tersebut berisi perihal pembekuan MPR dan DPR RI, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mempersiapkan pemilu dalam waktu satu tahun dan menyelamatkan gerakan reformasi dari kendala unsur-unsur Orde Baru sekaligus membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Namun isi Dekret tersebut tidak sanggup dijalankan terutama lantaran Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia yang diperintahkan untuk mengamankan langkah-langkah evakuasi tidak melaksanakan tugasnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia Widodo AS, semenjak Januari 2001, baik Tentara Nasional Indonesia maupun Polisi Republik Indonesia konsisten untuk tidak melibatkan diri dalam politik praktis.

Sikap Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia tersebut turut memuluskan jalan bagi MPR untuk kembali menggelar Sidang Istimewa dengan acara pemandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid yang dilanjutkan dengan pemungutan bunyi untuk mendapatkan atau menolak Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 perihal pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid dan Rancangan Ketetapan MPR No. III/ MPR/2001 perihal penetapan Wapres Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden Republik Indonesia.

Seluruh anggota MPR yang hadir mendapatkan dua ketetapan tersebut. Presiden dianggap telah melanggar haluan negara lantaran tidak hadir dan menolak untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR termasuk penerbitan Maklumat Presiden RI.

Dengan demikian MPR memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden dan mengangkat Wapres Megawati Soekarno Putri sebagai presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.

TULISANN

Susilo Bambang Yudhoyono ialah presiden pertama RI yang dipilih secara eksklusif oleh rakyat. Susilo Bambang Yudhoyono yang sering disapa SBY dan Jusuf Kalla dilantik oleh MPR sebagai presiden dan wakil presiden RI ke-6 pada tanggal 20 Oktober 2004.

Terpilihnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi presiden dan wakil presiden diikuti dengan banyak sekali agresi protes mahasiswa, di antaranya agresi yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Udayana, Denpasar, Bali, yang meminta semoga presiden terpilih segera merealisasikan janji-janji mereka selama kampanye presiden.

Tidak usang sehabis terpilih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri segera membentuk susunan kabinet pemerintahannya yang diberi nama Kabinet Indonesia Bersatu.

Sejak awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memprioritaskan untuk menuntaskan permasalahan kemiskinan dan pengangguran serta pemberantasan KKN yang ia canangkan dalam acara 100 hari pertama pemerintahannya.

Program pengentasan kemiskinan berkaitan eksklusif dengan upaya pemerataan dan pengurangan kesenjangan serta peningkatan pembangunan terutama di daerah-daerah yang masih tertinggal.

Salah satu acara pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ialah pinjaman eksklusif tunai (BLT). Pada tahun 2006, BLT dianggarkan sebesar Rp18,8 triliun untuk 19,1 juta keluarga. Tahun 2007 dilakukan BLT bersyarat bagi 500 ribu rumah tangga miskin di 7 propinsi, 51 kabupaten, dan 348 kecamatan.

Bantuan tersebut mencakup pinjaman tetap, pendidikan, kesehatan dengan rata-rata pinjaman per rumah tangga sebesar Rp 1.390.000 (Suasta, 2013: 31-33).

Selain memfokuskan pada insan dan rumah tangganya, acara pengentasan kemiskinan juga berupaya untuk memperbaiki fisik lingkungan dan prasarananya mirip gedung sekolah, kemudahan kesehatan, jalan, air bersih, dan lain-lain.

Program 100 hari pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan prioritas pada peninjauan kembali RAPBN 2005, memutuskan langkah penegakkan hukum, langkah awal penyelesaian konflik di Aceh dan Papua, stimulasi ekonomi nasional, dan meletakkan fondasi yang efektif untuk pendidikan nasional (Gonggong & Asy’arie, 2005: 243)

a) Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat 
Sejak krisis yang dialami bangsa pada tahun 1998, kondisi perekonomian masyarakat Indonesia belum pulih.

Upaya pengentasan kemiskinan yang juga pernah dicanangkan oleh presiden sebelumnya masih belum terlaksana sepenuhnya.

Kondisi ini diperparah dengan terjadinya sejumlah petaka terutama peristiwa tsunami di Aceh yang merenggut banyak korban dengan kerugian material yang sangat besar.

Presiden SBY bersama Kabinet Indonesia Bersatu segera mengambil langkah-langkah penanggulangan pasca bencana.

Salah satunya ialah dengan memutuskan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2005 mengenai Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatra Utara.

Selain itu dibuat pula Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Aceh dan Nias (Yudhoyono, 2013). Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya untuk pengentasan kemiskinan direalisasikan melalui peningkatan anggaran di sektor pertanian termasuk upaya untuk swasembada pangan.

Anggaran untuk sektor ini yang semula hanya sebesar 3,6 triliun rupiah ditingkatkan menjadi 10,1 triliun rupiah.

Untuk mendukung perbaikan di sektor pertanian, pemerintah menyediakan pupuk murah bagi petani.

Selain berupaya memperkuat ketahanan pangan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga berupaya memperbaiki sektor pendidikan dengan cara meningkatkan anggaran pendidikan yang semula berjumlah 21,49 triliun pada tahun 2004 menjadi 50 triliun pada tahun 2007.

Seiring dengan itu, acara pinjaman operasional sekolah atau BOS juga ditingkatkan. Perbaikan di sektor pendidikan ini berhasil menurunkan persentase tingkat putus sekolah dari 4,25% pada tahun 2005 menjadi 1,5% pada tahun 2006.

Selain upaya untuk memperbaiki kelangsungan pendidikan para penerima didik, pemerintah juga meningkatkan tunjangan kesejahteraan tenaga pendidik.

Di bidang kesehatan, pemerintah memberikan pinjaman kesehatan gratis untuk berobat ke puskesmas dan rumah sakit melalui pemberian Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin dan beberapa kali menurunkan harga obat generik (Suasta, 2013: 33-36).

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memberikan perhatian besar pada permasalahan kesejahteraan rakyat lainnya mirip sektor perumahan, pengembangan perjuangan kecil, peningkatan kesejahteraan PNS termasuk prajurit Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia dan juga kesejahteraan buruh. Pelayanan dan kemudahan publik juga ditingkatkan.

Di bidang hukum, upaya pemerintah untuk melanjutkan acara pemberantasan korupsi dan penegakkan supremasi aturan juga mendapat perhatian pemerintah.

b) Reformasi di Bidang Politik dan Upaya Menjaga Kesolidan Pemerintahan 
Pemerintahan yang solid besar lengan berkuasa terhadap kelancaran jalannya program-program pemerintah sehingga upaya untuk menjaga kesolidan pemerintahan menjadi salah satu faktor penting keberhasilan acara pemerintah.

Seperti halnya pemerintahan pada kurun reformasi sebelumnya, pembentukan kabinet pemerintah merupakan hasil dari koalisi partai-partai yang mendukung salah satu pasangan calon presiden dikala pemilu presiden.

Dengan demikian keberadaan koalisi dan hubungan partai-partai yang mendukung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus dijaga.

Salah satu upaya untuk menjaga kesolidan koalisi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ialah pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) antara Partai Demokrat dengan partai-partai politik lainnya yang mendukung SBY.

Pembentukan Setgab juga bertujuan untuk menyatukan visi dan misi pembangunan semoga arah koalisi berjalan seiring dengan kesepakatan bersama.

Setgab merupakan format koalisi yang dianggap SBY sesuai dengan budbahasa demokrasi dan dibuat sebagai sarana komunikasi politik pada masa pemerintahan SBY (Suasta, 2013: 25).

Sejalan dengan upaya menjaga kesolidan pemerintahan, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melanjutkan reformasi politik mirip yang telah dirintis oleh pemerintahan sebelumnya pada kurun reformasi.

Upaya untuk penerapan otonomi daerah dengan cara mengurangi wewenang pemerintah pusat dan memperluas wewenang pemerintah daerah dilakukan secara proporsional dan seimbang (Suasta, 2013: 259).

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan reformasi birokrasi yang mengedepankan aspek transparansi, partisipasi dan akuntabilitas demi membuat good governance.

Reformasi birokrasi tersebut diperlukan sanggup meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah lantaran proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan dan sanggup diakses oleh masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan yang terkait eksklusif dengan hajat hidup orang banyak mirip masalah kenaikan BBM dan pengadilan terhadap para koruptor.

Untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat, pemerintah memaksimalkan penggunaan media umum mirip SMS online dan twitter.

Melalui media tersebut, partisipasi masyarakat dalam perjalanan pemerintahan diperlukan meningkat.

Di sisi lain pemerintah sanggup dengan cepat mengetahui pendapat masyarakat terkait masalah-masalah tertentu termasuk opini masyarakat terhadap banyak sekali kebijakan pemerintah dalam kasus-kasus yang dianggap krusial.

c) Upaya untuk Menyelesaikan Konflik Dalam Negeri 
Selain berupaya untuk menjaga kedaulatan wilayah dari bahaya luar, upaya internal yang dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan wilayah ialah mencegah terjadinya disintegrasi di wilayah konflik.

Konflik berkepanjangan di wilayah Aceh dan Papua yang belum juga berhasil diselesaikan pada masa pemerintahan presiden sebelumnya, mendapat perhatian serius dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kendati telah dilakukan pendekatan gres melalui obrolan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie termasuk dengan mencabut status DOM yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, namun konflik di Aceh tidak kunjung selesai.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah berupaya untuk lebih mengefektifkan forum-forum obrolan mulai dari tingkat lokal Aceh hingga tingkat internasional.

Di tingkat internasional, upaya tersebut menghasilkan Geneva Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan/Cessation of Hostilities Agreement (CoHA).

Tujuan dari kesepakatan tersebut ialah menghentikan segala bentuk pertempuran sekaligus menjadi kerangka dasar dalam upaya perundingan tenang di antara semua pihak yang berseteru di Aceh.

Namun pada kenyataannya, CoHA dan pembentukkan komite keamanan bersama belum bisa membuat perdamaian yang sesungguhnya.

Belum sanggup dilaksanakannya kesepakatan tersebut dikarenakan minimnya dukungan di tingkat domestik, baik dari kalangan DPR maupun militer selain tidak adanya pula dukungan dari pihak GAM/Gerakan Aceh Merdeka (Yudhoyono, 2013).

Selain berupaya menuntaskan konflik Aceh melalui perundingan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga melaksanakan pendekatan eksklusif dengan masyarakat Aceh melalui kunjungan yang dilakukan ke Aceh pada tanggal 26 November 2004.

Dalam kunjungan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan pentingnya penerapan otonomi khusus di Aceh sebagai sebuah otonomi yang luas.

Presiden juga berupaya untuk membicarakan amnesti dengan DPR bagi anggota GAM seraya menekankan bahwa solusi militer tidak akan menuntaskan masalah Aceh secara permanen. Selain konflik di Aceh, konflik lain yang berpotensi menjadi konflik berskala luas ialah konflik bernuansa agama di Poso. Konflik yang dimulai pada tahun 1998 tersebut terus berlanjut hingga masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Salah satu kebijakan presiden untuk menuntaskan konflik Poso ialah dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 2005 perihal langkah-langkah komprehensif penanganan masalah Poso. Melalui Inpres tersebut, Presiden menginstruksikan untuk:

1) Melaksanakan percepatan penanganan masalah Poso melalui langkahlangkah komprehensif, terpadu dan terkoordinasi.

2) Menindak secara tegas setiap masalah kriminal, korupsi, dan teror serta mengungkap jaringannya.

3) Upaya penanganan masalah Poso dilakukan dengan tetap memperhatikan Deklarasi Malino 20 Desember 2001.

Selain konflik Aceh dan Poso, konflik lain yang mendapat perhatian serius pemerintah ialah konflik di Papua.

Seperti halnya konflik di Aceh, upaya untuk menuntaskan konflik di Papua juga mengedepankan aspek obrolan dan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kurangnya keadilan bagi masyarakat Papua menimbulkan adanya perlawanan dan keinginan sebagian masyarakat untuk memisahkan diri dari NKRI.

Perhatian pemerintah sudah sewajarnya lebih diberikan untuk meningkatkan sisi ekonomi dan pemberdayaan sumber daya insan masyarakat yang tinggal di wilayah ini melalui pemberian training untuk meningkatkan keterampilan mereka di bidang pertanian dan pemahaman birokrasi, terlebih provinsi Papua mempunyai sumber daya alam besar terutama di sektor pertambangan.

Terkait dengan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan kebijakan otonomi khusus bagi Papua.

Otonomi khusus tersebut diperlukan sanggup memberikan porsi keberpihakan, proteksi dan pemberdayaan kepada orang orisinil Papua.

Kebijakan tersebut didukung oleh pemerintah melalui aliran dana yang cukup besar semoga rakyat Papua sanggup menikmati rasa aman dan tenteram di tengah derap pembangunan (Suasta, 2013: 294).

d) Pelaksanaan Pemilu 2009
Berbagai pencapaian pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meningkatkan popularitas dan kepercayaan masyarakat kepadanya.

Hal ini juga tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang berkorelasi dengan penerapan banyak sekali kebijakan pemerintah yang efektif di lapangan.

Transparansi dan partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting yang berperan sebagai modal sosial dalam pembangunan termasuk adanya sinergi antara pemerintah dengan dunia perjuangan dan perguruan tinggi.

Selain itu, situasi dalam negeri yang semakin aman termasuk meredanya beberapa konflik dalam negeri meningkatkan investor gila untuk menanamkan modal mereka di Indonesia sekaligus membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia.

Kondisi ini ikut mengurangi angka pengangguran yang di awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih sangat tinggi.

Keberhasilan beberapa acara pembangunan juga tidak terlepas dari adanya stabilitas politik, keamanan, dan ketertiban serta harmoni sosial.

Berbagai pencapaian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dirasakan eksklusif oleh masyarakat menjadi modal bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk kembali maju sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2009.

Berpasangan dengan spesialis ekonomi yakni Boediono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil mendapatkan kembali mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia untuk masa pemerintahan berikutnya.

Pada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu hanya melalui satu putaran.

e) Euforia Berdemokrasi: Demokrasi Masa Reformasi
Reformasi 1998 yang menumbangkan pemerintahan Orde Baru memberikan ruang seluas-luasnya bagi perubahan sistem dan penerapan demokrasi di Indonesia.

Pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralistik menimbulkan kesenjangan terutama bagi wilayah-wilayah yang dianggap kurang mendapat perhatian.

Selain itu, pemilihan anggota legislatif dan pejabat administrator di daerah-daerah terutama para kepala daerah yang ditunjuk eksklusif oleh pemerintah pusat meningkatkan rasa tidak puas terhadap pemerintah.

Ketika pemerintah Orde Baru tumbang, keinginan untuk mendapatkan ruang politik dan pemerintahan untuk mengatur wilayah sendiri menjadi keinginan masyarakat di daerah-daerah yang pada alhasil melahirkan Undang-Undang otonomi daerah.

Pembagian hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah juga diubahsuaikan dengan kebutuhan daerah dan diperlukan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Penerapan Otonomi Daerah tersebut diiringi dengan perubahan sistem pemilu dan diselenggarakannya pemilu eksklusif untuk mengangkat kepala daerah mulai dari gubernur hingga bupati dan walikota.

Di bidang pers, euforia demokrasi juga melahirkan sejumlah media massa gres yang lebih bebas menyuarakan banyak sekali aspirasi masyarakat.

Namun, kebebasan di bidang pers harus tetap memerhatikan aspek-aspek keadilan dan kejujuran dalam membuatkan berita.

Berita yang dimuat dalam media massa harus tetap mengedepankan fakta sehingga euforia kebebasan pers yang telah sekian usang terkekang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

TULISANN

Related : Sejarah Indonesia Xii Kepingan 5 Sistem Dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Kala Reformasi

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia Xii Kepingan 5 Sistem Dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Kala Reformasi"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)