BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Badudu (1992: 66) mengungkapkan bahwa media massa media perkembangan sastra dan karya sastra. Hal ini dikarenakan terdapat bahasan mengenai karya sastra yang terdapat dalam surat kabar atau majalah, seperti cerpen, puisi, cerita bersambung, atau masalah sastra yang lain.
Cerpen sendiri merupakan karya sastra yang banyak dibaca oleh masyarakat Indonesia. Terlebih, di setiap hari Minggu cerpen selalu ada di koran baik koran lokal maupun nasional. Hal ini membuat cerpen yang hadir di media massa semakin beragam dan memperkaya khasanah sastra.
Wacana pada cerpen termasuk ke dalam wacana fiksi berdasarkan pendekatannya. Chaer (2007) mengemukakan wacana adalah satuan bahasa yang lengkap yang mengandung konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca atau pendengar tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar, berarti wacana itu dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya. Jadi, wacana dapat dinyatakan sebagai unsur batiniah dari teks, sementara teks adalah unsur lahiriah dari wacana.
Analisis wacana kritis mengenai teks fiksi dalam hal ini cerpen telah banyak dilakukan dengan menggunakan konsep analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Teun Van Djik. Konsep Van Dijk ini memiliki nilai lebih jernih dalam merinci struktur, komponen dan unsur-unsur wacana. Selain itu, model analisis wacana kritis ini terkesan mendapat tempat tersendiri di kalangan analis wacana kritis.
Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.
Adapun yang akan menjadi bahasan cerpen pada makalah ini adalah cerpen-cerpen karya Ken Hanggara. Ken Hanggara sendiri merupakan penulis cerpen yang menjadi banyak perhatian di era tahun 2015-an. Apalagi, lelaki yang berasal Sidoarjo ini memiliki banyak prestasi di dunia literasi, seperti Juara 2 Kategori Bahasa Indonesia di ASEAN Young Writer Award 2014. Selain itu, hampir setiap Minggu cerpen karyanya dimuat media baik lokal maupun nasional.
Pada pembahasan kali ini, dibatasi menggunakan cerpen Ken Hanggara dengan tiga judul yakni; “Lelaki Puisi”, “Doa si Gila”, dan “Tukang Dongeng”. Adapun pemilihan tiga cerpen tersebut karena beberapa hal diantaranya; keunikan tema, media yang memuatnya berbeda, dan sebagai perbandingan antara ketiga cerpen tersebut.
Berdasarkan alasan itulah, diperlukan pembahasan tentang analisis wacana kritis pada cerpen-cerpen Ken Hanggara dengan judul “Lelaki Puisi”, “Doa si Gila”, dan “Tukang Dongeng”.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang akan dibahas berdasar latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana analisis teks pada cerpen –cerpen Ken Hanggara berjudul “Lelaki Puisi”, “Doa si Gila”, dan “Tukang Dongeng”?
2. Bagaimana kognisi sosial pada cerpen-cerpen Ken Hanggara berjudul “Lelaki Puisi, “Doa si Gila”, dan “Tukang Dongeng”?
3. Bagaimana konteks sosial pada cerpen-cerpen Ken Hanggara berjudul “Lelaki Puisi”, “Doa si Gila”, dan “Tukang Dongeng”?
1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan dalam pembahasan ini adalah untuk dapat mengetahui:
1. Analisis teks pada cerpen-cerpen Ken Hanggara berjudul Lelaki Puisi (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015), Doa si Gila (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015), dan Tukang Dongeng (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015).
2. Kognisi sosial pada cerpen-cerpen Ken Hanggara berjudul Lelaki Puisi (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015), Doa si Gila (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015), dan Tukang Dongeng (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015).
3. Koteks Sosial pada cerpen-cerpen Ken Hanggara berjudul Lelaki Puisi (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015), Doa si Gila (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015), dan Tukang Dongeng (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015).
1.4 Manfaat Pembahasan
Hasil dari pembahasan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun praktis.
a. Manfaat teoretis, hasil pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi masyarakat dalam menganalisis wacana cerpen khususnya cerpen-cerpen karya penulis lainnya.
b. Manfaat praktis yang dapat diambil dari pembahasan ini adalah diharapkan masyarakat dapat memberikan kontribusi yang positif dalam bidang tulis-menulis agar memperhatikan teks, kognisi sosial, dan konteks sosial pada wacana narasi pendek.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hakikat Wacana
Douglas dalam (Mulyana, 2005: 3) mengemukakan bahwa istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta yakni wak/wac/vak, artinya berkata atau berucap. Kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta termasuk kata kerja yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kata tersebut kemudian mengalami perubahahan menjadi wacana. Bentuk yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan.
Sementara itu, Tarigan (1987:27) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.
Berdasarkan pendapat kedua tokoh tersebut bisa disimpulkan jika wacana merupakan satuan bahasan yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa yang disampaikan secara lisan atau tertulis.
2.2 Wacana Narasi
Wacana narasi atau kisahan adalah wacana yang isinya memaparkan terjadinya suatu peristiwa, baik peristiwa rekaan maupun kenyataan. Berkenaan dengan peristiwa itu dipaparkan siapa pelakunya, bagaimana perilakunya, dimana tempat peristiwa itu, kapan terjadinya, bagaimana suasana kejadiannya, bagaimana jalan ceritanya, dan siapa juru ceritanya. Wacana narasi dapat bersifat faktual maupun imajinatif seperti dongeng, novel, biografi, sketsa, anekdot. Narasi mencakupi dua unsur dasar, yakni narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris memiliki ciri-ciri: memperluas pengetahuan, menyampaikan informasi, mencapai kesepakatan berdasarkan penaalaran, dan menyampaikan penjelasan melalui bahasa yang denotatif. Narasi sugestif memiliki ciri-ciri: menyampaikan suatu makna atau amanat yang tersirat, memunculkan daya khayal pada diri pembaca, menggunakan penalaran hanya untuk kepentingan penyampaian makna, dan menggunakan bahasa figuratif yang menitikberatkan penggunaan kata-kata konotatif. (Sudaryat, 2006: 186)
2.3 Cerita Pendek
Badudu (1975: 53) mengemukakan bahwa cerita pendek atau cerpen adalah kisahan pendek yang mengandung kisah tunggal. Sementara itu, Jabrohim (1994:165-166) menjelaskan cerpen adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang singkat, padat, yang unsur-unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok sehingga jumlah dan pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal.
Cerpen sendiri merupakan ke dalam karya sastra berjenis prosa. Berdasar beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerpen adalah cerita fiksi berbentuk prosa yang memiliki kisah tunggal.
Struktur teks cerpen, dibedakan menjadi enam:
1. Abstrak, merupakan ringkasan ataupun inti dari cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian-rangkaian peristiwa atau bisa juga gambaran awal dalam cerita. Abstrak bersifat opsional yang artinya sebuah teks cerpen boleh tidak memakai abstrak.
2. Orientasi, adalah struktur yang berisi pengenalan latar cerita yang berkaitan dengan waktu, suasana, dan tempat yang berkaitan dengan cerpen.
3. Komplikasi, berisi urutan kejadian yang dihubungkan secara sebab akibat, pada struktur ini akan mendapatkan karakter atau watak pelaku cerita karena beberapa kerumitan mulai bermunculan.
4. Evaluasi, struktur konflik yang terjadi yang mengarah pada klimaks mulai mendapatkan pemecahannya atau penyelesaiannya.
5. Resolusi, pada struktur ini pengarang mengungkapkan solusi yang dialami tokoh.
6. Koda, merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik dari teks oleh pembaca.
2.4 Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Djik
Tarigan (1993) menjelaskan analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi pragmatik bahasa. Penggunaan bahasa bahasa dalam kesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa hubungan-hubungan wacana yang bersifat antar kalimat dan supra kalimat, maka kita sukar berkomunikasi dengan tepat satu sama lain. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana.
Pada upaya menganalisis unit bahasa yang lebih besar dari kalimat, analisis wacana tidak terlepas dari pemakaian kaidah berbagai cabang ilmu bahasa, seperti halnya semantik, sintaksis, morfologi, dan fonologi.
Analisis wacana kritis (AWK) merupakan salah satu pendekatan analisis wacana. AWK merupakan suatu teori yang digunakan untuk mengungkapkan hubungan antara ilmu pengetahuan dengan kekuasaan. Habermas (dalam Darma, 2009:53) mengemukakan AWK bertujuan membantu menganalisis dan memahami masalah sosial dalam hubungannya antara ideologi dan kekuasaan.
Tujuan AWK adalah mengembangkan asumsi-asumsi dalam teks yang bersifat ideologis yang terkandung di balik kata-kata dalam teks atau ucapan dalam berbagai bentuk kekuasaan. AWK bermaksud untuk menjelajahi secara sistematis tentang keterkaitan antara praktik-praktik berwacana, teks, peristiwa, dan struktur sosiokultural yang lebih luas.
Salah satu model analisis wacana kritis yang diperkenalkan dan dikembangakan oleh para ahli adalah model Van Djik. Model Van Djik mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat didayagunakan dan dipakai secara praktis. Wacana oleh Van Djik digambarkan memiliki tiga dimensi yaitu: dimensi teks, dimensi kognisi sosial, dan dimensi konteks sosial.
3.4.1 Dimensi Teks
Dimensi teks adalah struktur dari teks. Van Djik melihat suatu teks terdiri dari beberapa struktur atau tingkatan yang masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yaitu makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks. Kedua, super struktur, yaitu: kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Ketiga struktur mikro, yaitu: makna wacana yang dapat diamati dari suatu teks yakni; kata, kalimat, proposisi, dan gaya yang dipakai dari suatu teks.
3.4.2 Dimensi Kognisi Sosial
Dimensi kognisi sosial adalah proses bagaimana teks diproduksi oleh pembuat teks, cara memandang suatu realitas sosial yang melahirkan teks tertentu. Analisis kognisi sosial menekankan bagaimana peristiwa dipahami, didefinisikan, dianalisis, dan ditafsirkan kemudian ditampilkan dalam suatu model dalam memori. Proses terbentuknya teks yang demikian ini, tidak hanya bermakna mengetahui proses terbentuknya teks, pada tahap ini pula dimasukkan informasi yang digunakan untuk menulis dari suatu wacana tertentu.
3.4.3 Dimensi Konteks Sosial
Dimensi konteks sosial adalah bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat, sehingga untuk meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikontruksi oleh masyarakat. Konteks sosial berusaha memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Konteks sangat penting dalam menentukan makna dari suatu ujaran.
BAB III. PEMBAHASAN
3.1 Dimensi Teks Pada Cerpen-Cerpen Ken Hanggara
Dimensi teks terdiri dari tiga tingkatan, yakni struktur makro, super struktur, dan strkut mikro. Adapun pembahasannya sebagai berikut:
3.1.1 Strukur Makro Pada Cerpen-Cerpen Ken Hanggara
Struktur makro merupakan makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks. Pada ketiga cerpen karya Ken hanggara yang diamati memiliki tema yang bebeda, seperti dijelaskan pada kutipan berikut:
1. Cerpen “Lelaki Puisi” (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
Tema dalam cerpen ini adalah cinta terlarang. Seperti digambarkan pada data berikut:
“Betapa perih hatiku. Hanya karena cintaku yang tumbuh pada puisi, dan tentunya lebih dulu disebabkan oleh cintaku padamu. Semua urusan jadi rumit. Aku pergi, Bapak mengusirku. Kubawa semua barangku, dan pastinya kertas-kertas puisimu yang berdebu. Aku panik dan tak mengabarkan padamu bahwa aku butuh tempat. Selain karena kamu satu-satunya cintaku, hanya kepadamulah puisi-puisi itu ada. Aku terlanjur menjadi puisi. Itulah alasanku mencarimu.
Pada kutipan di atasmenjelaskan bahwa cerpen “Lelaki Puisi” memiliki tema cinta terlarang. Di mana tokoh “Aku” diusir tokoh “Bapak” ketika “Bapak” mengetahui bahwa tokoh “Aku” memiliki kekasih penyuka puisi atau lelaki puisi itu. Cinta terlarang yang diceritakan di cerpen ini diperjuangkan oleh tokoh “Aku” untuk mencari kekasihnya.
2. Cerpen “Doa Si Gila” (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Tema dalam cerpen ini adalah pengkhianatan. Seperti digambarkan pada data berikut.
“Oke, saya tidak seksi sehingga suami saya kabur. Tapi, itu bukan salah saya kok! Kenapa Anda membuat saya tidak seksi, wahai Tuhanku?!”
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa cerpen “Doa Si Gila” memiliki tema pengkhianatan. Di mana tokoh “Ibu” yang dianggap tidak waras oleh orang-orang yang menontonnya berdoa di pinggir jalan itu mengatakan jika dirinya dikhianati oleh suaminya, bahkan anak-anaknya membantu suaminya untuk berselingkuh dengan imbalan wanita penghibur.
3. Cerpen “Tukang Dongeng” (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015)
Tema dalam cerpen ini adalah misteri kehidupan tukang dongeng yang bernama “Tuan Kantung”. Seperti digambarkan pada data berikut.
Kata Ibu kami, Tuan Kantung mendongeng sejak dulu. Wajah beliau tidak banyak berubah selain bertambah sedikit demi sedikit kerut di wajahnya setiap tahunnya. Secara keseluruhan, beliau sama: senyum bersahaja, tatap mata tajam, rahang keras, dahi lumayan lebar. Yang membuat kami heran, ternyata bapak ibu kami dulu semasa kecil juga sering mendengar dongeng dari bibir Tuan Kantung.
Pada kutipan di atas menjelaskan bahwa cerpen “Tukang Dongeng” memiliki tema misteri kehidupan tukang dongeng yang bernama “Tuan Kantung”. Di mana “Tuan Kantung” itu memiliki kebiasaan menceritakan dongeng-dongeng kepada anak-anak di sekitar rumahnya, bahkan sejak tokoh “aku” belum lahir dari rahim ibunya.
3.1.2 Super Struktur Cerpen-Cerpen Karya Ken Hanggara
Super struktur merupakan kerangka suatu teks. Struktur yang membangun suatu teks. Adapun struktur dalam cerpen adalah meliputi enam yaitu: abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.
1. Super Strukur Cerpen “Lelaki Puisi” (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
a. Abstrak
Pada cerpen ini tidak terdapat abstrak. Tidak terdapat ringkasan atau gambaran cerita.
b. Orientasi
Pengenalan diawali dengan tokoh “Aku” yang menceritakan kejadian ketika kekasihnya dalam hal ini “Lelaki Puisi” meninggalkannya sejak dua Minggu yang lalu. Hal ini sesuai dengan data berikut:
“Sejak Minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakukan selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. dan itu hanya bisa kulakukan dengan menelannya habis.”
c. Komplikasi
Masalah muncul ketika tokoh “Aku” mengagumi tokoh “Lelaki Puisi” yang ia temui di taman. Sejak saat itulah timbul rasa cinta dan kedekatan antara keduanya. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Sejak Sore itu, setiap akhir pekan kau mengajakku bertemu di taman, di bangku yang sama dengan peralatan yang sama; buku-buku dan pensil. Di pertemuan kedua itu aku paham kalau kau pencinta keindahan. Segala bentuk keindahan kau simpan di atas kerta kosong. Kau jadikan apa saja yang membuatku terpukau, atau kadang tersenyum seorang diri sepulang menemuimu.”
d. Evaluasi
Pada tahap ini rasa cinta dan kekaguman yang dialami tokoh “Aku” berbuah manis, ketika “Lelaki Puisi” memiliki perasaan yang sama. Namun, lambat laun kebahagian mereka berbuah luka, ketika tokoh “Lelaki Puisi” tidak lagi membahas masalah puisi. Selain itu, tokoh “Bapak” pun menaruh curiga kepada tokoh “Aku” yang sering menangis. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Sejak itu kita jarang membahas puisi. Bahkan pertemuan kita jadi seminggu sekali. Kita mulai bertengkar. Aku menangis sampai Bapak merasa perlu tahu apa masalahku. Bodoh, harusnya tidak kubiarkan seorang pun tahu. tapi Bapak terlanjur tahu. aku dihajar setelah tahu ada selembar puisi di tas. Kubilang kalau aku ciptakan sebuah lagu, iseng-iseng. Tapi kamu sendiri tahu aku tidak mengenal alat musik.”
e. Resolusi
Pada cerpen ini, resolusi yang hadir dengan tokoh “Aku” yang menelan kertas yang berisi puisi dari tokoh “Lelaki Puisi” agar kelak bayi yang berada dalam janinnya bisa menjadi pengganti “Lelaki Puisi” itu. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Hanya dengan menelan kertas-kertas itu, aku membuang sekaligus menyimpanmu. Aku membuangmu dari penglihatan, padahal aku masih masih mencinta. Aku takut puisi-puisi yang kau isikan padaku tempo hari tidak lagi bisa menjadi puisi sejati. Maka, hanya dengan memberinya asupan puisi yang kau tulis lewat tangan, kukira masalah ini beres. Kukira dengan menelan kertas-kertas itu, aku bisa memberi makan benih puisimu dengan puisi sejati. Semoga puisi di janin yang ada pada rahimku bisa jadi penggantimu kelak. Semoga!”
f. Koda
Cinta adalah suatu anugerah dari Tuhan, banyak sekali kisah orang yang begitu memperjuangkan cintanya. Seperti kisah Romeo pada Juliet dan Qais pada Laila. Walaupun begitu, perjuangan cinta memang mutlak diperlu. Tapi, ada satu hal yang perlu dipahami, jangan sampai cinta tersebut melebihi cinta kepada Tuhan dan orang tua. Apabila, ada perbedaan pendapat pandangan dengan orang tua. Sikap seorang anak haruslah memberi pengertian kepada orang tua agar tidak terjadi kesalahan dalam berkomunikasi. Terlebih, setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya.
2. Super Struktur Cerpen “Doa si Gila” (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
a. Abstrak
Pada cerpen ini tidak terdapat abstrak. Tidak terdapat ringkasan atau gambaran cerita.
b. Orientasi
Pengenalan pada cerpen ini didasari pada pengamatan tokoh “Aku” yang memerhatikan ibu-ibu dengan aroma ketiak yang mengganggu. Seperti digambarkan pada data berikut:
Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, “Anda butuh sabung mandi!” Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mulai aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir.
c. Komplikasi
Kompilakasi pada cerpen ini muncul ketika tokoh “Ibu” berdoa kepada Tuhan agar suami dan anaknya segera meninggal. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Saya setuju Kau matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena mereka, hidup saya menderita!”
....
“Bagaimana? Apa permintaanku terlalu berat?”
Lalu ia menambahkan betapa Tuhan satu-satunya yang terkuat di alam semesta. Sehingga karena itulah permintaan agar suami dan anak-anaknya mati, tidaklah terlalu berat bagi Tuhan dan bisa segera dilaksanakan.
d. Evaluasi
Evaluasi muncul ketika tokoh “Ibu” yang dianggap kurang waras oleh banyak orang itu meminta izin untuk berdoa kepada Tuhan. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Ia mengangis, membuat penonton iba dan mengelus dada. Barangkali karena tahu urusan ibu-ibu tidak waras ini ingin suami dan anak-anaknya mati mengenaskan, adalah urusan sepele, remeh-temeh tidak penting bagi Tuhan, dan mestinya tidak dimohonkan kepada-Nya.
Menyadari kerumunan penonton, ia tergeragap dan menatap malu ke arah mereka. Sebagian kabur. Sebagian mundur. “Bapak-bapak, ibu-ibu sya boleh berdoa, ‘kan?!” tanyanya lalu menghapus air mata.
“Boleh. Silakan, silakan!”
Dengan takzim, ibu-ibu gila itu bersimpuh dan memejamkan mata. Angin membelai wajah dan rambut, juga tentu saja ketiaknya. Aroma ketiak sengak, yang bagiku busuk minta ampun, membuat beberapa orang terjajar ke belakang dan spontan menyumpal mulut dan hidung.
e. Resolusi
Pada tahap ini digambarkan kebingungan tokoh “Aku” atas kejadian tokoh “Ibu” yang diikuti banyak orang untuk mencari suami dan anak-anaknya, agar tokoh “Ibu” bisa melaksanakan niatnya, karena Tuhan tidak mau. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Orang-orang melongo. Si gila bangkit dan jalan. Kerumunan mengekor di belakang, termasuk aku, yang kini mau tahu apa yang bakal terjadi pada ibu-ibu aneh ini. Ia bilang mau mencari suami dan anak-anaknya. Biar ia sendiri yang melakukan niatnya, karena Tuhan tidak mau.
Pada saat itu, jika kau atau siapa pun berada di dalam sebuah helikopter, kau dapati pemandangan menakjubkan di bawah sini: ibu-ibu gila dengan seribu pengikutnya, mencari tiga pendosa demi sebuah hukuman mati. Benar-benar edan! Aku harap ini cuma mimpi. Semoga!
f. Koda
Jangan pernah menilai orang dari luarnya saja. hal ini diibaratakan ketika seseorang yang membeli buku berdasar sampulnya saja, padahal belum tentu sampul buku menunjukkan kualitas isi buku yang bagus. Begitu pun dalam menilai seseorang terkadang penampilan luarnya seperti ini, padahal dalamnya seperti itu. Tokoh “Ibu” yang dianggap kurang waras itu mengalami rasa pengkhianatan cinta yang teramat dalam dari suaminya. Oleh karena itu, ia menggugat Tuhan dengan mendoakan supaya para pendosa itu mati.
3. Super Struktur Cerpen “Tukang Dongeng” (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015)
a. Abstrak
Pada cerpen ini tidak terdapat abstrak. Tidak terdapat ringkasan atau gambaran cerita.
b. Orientasi
Pengenalan cerpen ini dimulai oleh penggambaran tokoh “Tuan Kangtung” seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Lelaki tua itu—kami biasa memanggil beliau Tuan Kantung—mengisahkan suatu lagenda yang akrab di kuping. Seoala pada suatu masa yang lama, jauh sebelum kami lahir. Tuhan mengutus para malaikat masuk ke rahim ibu kami dan membisikkan sebuah cerita pada janain bakal bayi agar kelak berguna.
c. Komplikasi
Pada tahap ini digambarkan akibat tokoh “Tuan Kantung” yang sering menceritakan dongeng membuat para anak-anak mengalami perdebatan bahkan perkelahian. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Kami sesama teman bermain sering berdebat, bahkan nyaris baku hantam demi mempertahankan kesimpulan pribadi dari lagenda yang dibawakan Tuan Kantung. Kami tidak pernah saling tinju sebelum beliau benar-benar perg dari balai-balai di ujung gang, tempat kami beristirahat selepas main layang-layang. Kami tidak pernah saling bantah, karena kharisma tukang cerita ini melebihi kharisma orang terhormat sedesa, sehingga kami pun sungkan. Entah kenapa, kami tidak tahu.
d. Evaluasi
Pada tahap ini tokoh “Aku” mengenang peristiwa belasan tahun ketika mengingat dongeng-dongeng dari Tuan Kantung. Hal ini seperti dibuktikan oleh data berikut:
Senja ini, belasan tahun kemudian, lagenda karya Tuan Kantung kembali melayang. Yang paling berkesan bagiku ketika di tepi sungai tersebut didirikan pasar malam. Ya Tuhan! Bagaimana mungkin orang setua beliau berimajinasi segila itu? Tapi ini terjadi. Tuan Kantung tahu minat kami pada suatu periode, misalnya ketika itu terpusat pada permain tong setan--- sebuah atraksi oleh para pemotor yang berputar-putar dalam suatu drum raksasa tanpa jatuh bertubrukan. Maka, beliau buatlah unsur baru berkenaan dengan tong setan: pasar malam.
e. Resolusi
Pada tahap ini tokoh “Aku” mengurus jenazah tokoh “Tuan Kangkung” yang melagenda itu. Ia juga menemukan rahasia yang selama ini menjadi kemisteriusan tokoh “Tuan Kantung” seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Ketika mengurus jenazahnya, barulah kami tahu isi kantung yang selalu tebal. Ternyata pigura mungil berisi foto seorang wanita beserta anak kecil. Kira-kira anak itu umurnya empat tahun ketika foto itu diambil. Di sudut frame, ada angka 1953. Foto tua yang lusuh, tapi terjaga. Tidak sobek atau rapuh, sebab Tuan Kantung membungkusnya dengan plastik.
Aku yang menerima foto itu dari tangan seorang teman, seketika bergeming usai membalik lembar kenangan. Sebaris kalimat tertulis terang dan dalam. Menusuk hati, menguik alam pikir. Sedalam apa pun cintaku pada lagendanya, tidak da yang lebih dalam ketimbang sosok pencerita itu sendiri.
Beginilah kalimat itu ditulis:
Semoga kalian baik tanpa aku. Hidup matiku hanya untuk bercerita. Kurelakan kau pergi menikah dengan karibku, menjadi keluarga pengusaha, bukan tuang cerita, yang miskin, dan sering lapar. Orang tidak percaya pada lagenda. Orang lebih percaya pada hal pasti, meski belum tentu bahagia. Kuharap kau paham. Aku di sini, bahagia dengan ceritaku.
Salam cinta selalu.
f. Koda
Pada cerpen “Tukang Dongeng” yang mengisahkan Tuan Kantung itu menunjukkan sikap idealisis pada tokohnya. Di mana “Tuan Kantung” mnjaga cintanya hingga ia mati dan tidak membuka hati ntuk perempuan lain. Ia juga terlalu menjaga dongeng-dongengnya dibanding berusaha mengubah hdupnya menjadi lebih baik. Selain itu, cerpen ini memiliki nilai-nilai kebajikan seperti, pentingnya mendongeng bagi anak-anak serta manfaat mendengarkan dongeng.
3.1. 3.Struktur Mikro
Struktur mikro merupakan makna wacana yang dapat diamati dari suatu teks yakni; kata, kalimat, proposisi, dan gaya yang dipakai dari suatu teks.
1. Cerpen “Lelaki Puisi” (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
Pada cerpen ini memiliki yang menggambarkan kepasrahaan dalam hidup. Seperti data berikut:
Sejak minggu kedua kepergianmu, aku sering menelan kertas-kertas itu. Tidak ada yang bisa kulakuakn selain mengubur kenangan tentang kita sendiri. dan itu bisa kulakukan dengan menelannya habis.
Kutipan di atas menjelaskan tokoh “Aku” yang memakan kertas-kertas yang berisi puisi dari kekasihnya. Padahal, seperti diketahui kertas bukanlah salah satu jenis makanan. Sementara itu, jika memakannya bisa menyebabkan suatu penyakit.
2. Tukang Dongeng (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Pada cerpen ini kata-kata yang di lebih dominan menggunakan kata-kata motivasi, kata-kata yang menggugah optimisme. Seperti kutipan berikut:
Tuan Kantung biasa datang di kala kepala kami jenuh oleh pekerjaan rumah yang numpuk. Tanpa diminta, beliau muncul begitu saja dan berkisah suatu lagenda. Kami tidak bosan, meski ceritanya diulang-ulang...
Pada kutipan di atas, kata-kata yang digunakan merupakan kata-kata motivasi seperti, “tidak bosan, meski ceritanya diulang-ulang.”
3. Doa Si Gila (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015
Pada cerpen ini yang menarik adalah aspek retorika suatu wacana yakni menunjuk pada siasat dan cara yang digunakan oleh pelaku wacana untuk memberikan penekanan pada unsur-unsur yang ingin ditonjolkan. Seperti pada data berikut:
Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, “Anda butuh sabun mandi!” Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir.
Pada kutipan di atas, penulis menonjolkan tokoh “ibu-ibu” berdasar pengamatannya yang dianggap kurang waras. Hal ini terbukti aktivitas tokoh “ibu-ibu” terus digambarkan hingga cerpen ini selesai.
3.2 Dimensi Kognisi Sosial
Dimensi kognisi sosial adalah proses bagaimana teks diproduksi oleh pembuat teks, cara memandang suatu realitas sosial yang melahirkan teks tertentu. Pada cerpen-cerpen karya Ken Hanggara memiliki dimensi kognisi sosial yang berbeda. Seperti dijelaskan berikut:
1. Cerpen “Lelaki Puisi” (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
Cerpen ini dibuat untuk menggambarkan kisah cinta terlarang antara tokoh “Aku” dan kekasihnya “Lelaki Puisi”. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
Betapa perih hatiku. Hanya karena cintaku yang tumbuh pada puisi, dan tentunya lebih dulu disebabkan oleh cintaku padamu, semua urusan jadi rumit. Aku pergi, Bapak mengusirku.
2. Cerpen”Tukang Dongeng” (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Cepen ini dibuat untuk menggambarkan kisah pendongeng yang tak banyak diminati orang. Selain, itu juga kepasrahaan hidup seorang yang miskin ketika kekasihnya menikah dengan temannya yang kaya. Seperti diungkap pada data berikut:
Semoga kalian baik tanpa aku. Hidup matiku hanya untuk bercerita. Kurelakan kau pergi, menikah dengan karibku, menjadi keluarga pengusaha, bukan tukang cerita, yang miskin dan sering lapar. Orang tidak percaya pada lagenda. Orang lebih percaya pada hal pasti, meski belum tentu bahagia. Kuharap kau paham. Aku di sini, bahagia dengan ceritaku..
Salam cinta selalu.
3. Cerpen “Doa si Gila” (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015
Pengarang memandang suatu realitas sosial orang gila yang disebabkan beberapa hal. Namun dalam cerpen ini tokoh “Ibu” yang kurang waras itu dikarenakan pengkhianatan cinta suaminya. Namun, walaupun begitu tokoh “Ibu” itu melakuka tindakan menggugat Tuhan yang tidak bisa masuk akal. Seperti pada kutipan berikut:
“Saya setuju Kau matikan mereka, bila perlu sekarang juga, detik ini juga. Karena mereka, hidup saya menderita!”
Pada kutipan di atas menjelaskan tokoh “Ibu” yang mendoakan mereka yang dimaksud suami dan anak-anaknya yang mengkhianatinya agar Tuhan segera mengambil nyawa pendosa itu. Padahal, doa adalah suatu hal yang ajaib dan bisa terjadi betulan. Oleh karena itu, tidak diperkenankan membuat doa yang tidak baik. Sementara dalam cerpen ini, tokoh “Ibu” sah-sah saja dalam berdoa, apalagi digambarkan sebagai orang yang tidak waras.
3.3 Dimensi Konteks Sosial
Dimensi konteks sosial adalah bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat, sehingga untuk meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikontruksi oleh masyarakat.
Adapun dimensi konteks sosial pada cerpen-cerpen karya Ken Hanggara adalah sebagai berikut:
1. Cerpen “Lelaki Puisi” (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
Pada cerpen ini judul “Lelaki Puisi” memiliki makna lelaki yang suka puisi baik mencipta atau membacakannya. Berdasar pengamatan dari teks tersebut, tokoh “Lelaki Puisi” itu merupakan representasi jiwa pengarang yang juga seorang penulis puisi. Selain itu, kondisi masyarakat yang semakin berkembang ini tidak membuat banyak terobosan perihal cinta yang memiliki perbedaan derajat akibatnya tragedi cinta terlarang masih ada di mana-mana. Sebagian orang tua berpendapat jika menantu yang baik adalah menantu yang memiliki harta. Padahal, hidup tidak hanya harta, dan bahagia itu juga tidak diukur dengan harta.
2. Cerpen “Tukang Dongeng” (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Pada cepen ini digambarkan pentingnya mendongeng yang kini dilupakan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Padahal dari mendengarkan dongeng itulah kecerdasaan anak semakin bertambah, sebab anak diajarkan menyimak cerita-cerita yang memuat pesan moral dan kebajikan sejak sangat dini. Sehingga, mampu membuat anak nantinya ketika remaja atau beranjak dewa bisa membedakan perbuatan baik dan buruk. Selain itu, dengan mendongeng orang tua bisa bertambah kadar interaksi dengan anaknya.
3. Cerpen “Doa si Gila” (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015
Situasi yang terdapat dalam cerpen ini merupakan representasi dari kehidupan nyata. di mana seseorang bisa saja gila atau kurang waras jika ia mengalami goncangan-goncangan batin atau kecemasan-kecemasan jiwa. Sehingga, ia tidak bisa berpikir dengan akal. Hal ini diakibatkan kesadaran akan kebenaran dan seseorang hilang.
BAB IV. KESIMPULAN
Berdasar pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Analisis dimensi teks mencakup tiga hal yakni struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Pada tiga cerpen yang dibahas memiliki perbedaan tersendiri dalam dimensi teks yang terkandung di dalamnya. Namun, ternyata pada pembahasan dimensi super struktur ketiga cerpen karya Ken Hanggara itu memiliki kesamaan yakni sama-sama tidak memiliki abstraksi.
2. Dimensi kognisi sosial yang digambarkan dalam cerpen-cerpen Ken Hanggara mermiliki benang merah yang hampir sama seperti “Lelaki Puisi” yang menggambarkan kisah cinta terlarang antara tokoh Aku dan kekasihnya “Lelaki Puisi”, cerpen “Tukang Dongeng” yang menggambarkan kisah pendongeng yang tidak banyak diminati orang. Selain itu, juga kepasrahan hidup seorang yang miskin ketika kekasihnya menikah dengan temannya yang kaya, dan cerpen “Doa si Gila” yang menggambarkan kisah tokoh “Ibu” yang mengalami pengkhianatan suaminya sehingga menggugat Tuhan dan mendoakan suami serta anak-anaknya agar cepat meninggal. Berdasarkan hal tersebutlah, dimensi kognisi sosial ketiga cerpen tersebut sama-sama berkutat masalah cinta.
3. Dimensi kognitif sosial dalam ketiga cerpen karya Ken Hanggara memiliki perbedaan satu sama lain yang mencolok. Seperti pada cerpen “Lelaki Puisi” yang merupakan representasi tokoh Ken Hanggara versi fiksi yang juga menyukai dunia puisi, cerpen “Tukang Dongeng” yang menggambarkan pentingnya mendongeng kepada anak-anak, dan cerpen “Doa si Gila” yang menggambarkan bahwasanya seseorang bisa gila atau kurang waras jika ia mengalami goncangan-goncangan batin atau kecemasan-kecemasan jiwa. Salah satunya adalah ketika mengetahui pasangan berselingkuh.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesustraan Indonesia. Bandung: Pustaka Darma.
Badudu, J. S. 1992. Cakrawala Bahasa Indonesia II. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma. Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yayasan Widya.
Jabrohim.1994.Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia.
Hanggara, Ken. 2015. Cepen Lelaki Puisi Karya Ken Hanggara. https://edu.paperplane-tm.site/search?q=cerpen-lelaki-puisi-karya-ken-hanggara (Diakses 3 Desember 2015)
Hanggara, Ken. 2015. Cerpen Tukang Dongeng. Karya Ken Hanggara. https://edu.paperplane-tm.site/search?q=cerpen-lelaki-puisi-karya-ken-hanggara (Diakses 3 Desember 2015)
Hanggara. Ken. 2015. Cerpen Doa si Gila Karya Ken Hanggara. https://edu.paperplane-tm.site/search?q=cerpen-lelaki-puisi-karya-ken-hanggara (Diakses 3 Desember 2015)
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryat, Yayat. 2006. Makna dalam Wacana: Prinsip-Prinsip Semantik dan Pragmatik. Bandung: Direktori FPBS UPI.
Taringan, Henry Guntur. 1993. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa.
LAMPIRAN
A. Sinopsis Cerpen “Lelaki Puisi” karya Ken Hanggara (dimuat di Metro Riau 4 Oktober 2015)
Dikisahkan seorang perempuan yang memiliki kekasih penyuka puisi, baik menciptakan atau pun membacakannya. Ia begitu nelangsa ketika mengetahui lelaki puisi-nya pergi meninggalkannya. Akibat hal tersebut, perempuan itu sering menelan kertas-kertas yang berisi puisi pemberian Lelaki Puisi. Hal inilah yang mengakibatkan perempuan itu mengalami rasa sakit hingga dirawat di Dokter. Tak sampai di situ, masalah kian pelik ketika Bapak mengetahui hubungan anaknya dan Lelaki Puisi itu. Tapi bukan cinta namanya jika tidak memiliki cara, perempuan itu pun memutuskan pergi meninggalkan orang tuanya, dan mencari Lelaki Puisi itu. Namun sayangnya, Lelaki Puisi itu tak kunjung ditemukan hingga membuat perempuan itu putus asa. Untuk mengobati hal tersebut, perempuan itu menelan kertas-kertas yang berisi puisi itu agar kelak janin yang ada di rahimnya kelak menjadi pengganti Lelaki Puisi.
B. Sinopsis Cerpen “Doa si Gila” (dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 11 Oktober 2015)
Seorang Ibu menyita perhatian banyak orang. Bagaimana tidak perempuan tersebut menggugat Tuhan, memintal doa agar suami dan anak-anaknya dimatikan. Ia terus berdoa dengan banyak orang yang memerhatikan, sekalipun tubuhnya penuh aroma ketiak yang membuat banyak orang spontan menyumpal mulut dan hidung. Karena tidak mendapat jawaban atas doanya kepada Tuhan, ia memutuskan untuk mencari suami dan anak-anaknya demi sebuah hukuman mati.
- Sinopsis Cerpen “Tukang Dongeng” (dimuat di Koran Merapi Pembaruan edisi Minggu, 25 Oktober 2015
Tuan Kantung adalah lelaki yang sering mendongengi anak-anak dengan jalan cerita yang dibawakannya berubah-ubah sesuai dengan situasi keadaan sekarang dan daya imajinasinya yang tinggi.
Tuan Kantung sendiri menjadi idola-idola anak-anak sejak zaman orang tua dari anak-anak. Hidupnya begitu melagenda, walaupun begitu misteri hidupnya tak ada yang tahu. Sampai suatu ketika, Tuan Kantung meninggal dengan meninggalkan sebuah frame foto dengan tulisan yang begitu menyayat hati. Yakni, kisah Tuan Kantung yang lebih memilih hidup dengan dongengnya yang melagenda dibanding hidup dengan kekasihnya yang kini menjadi istri dari temannya itu.
D. Biografi Pengarang
Ken Hanggara (lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991) menulis cerpen, puisi, resensi, esai, dan novel yang terbit di puluhan antologi, berbagai media lokal dan nasional, kenhanggara.blogspot.com, serta beberapa buku solo: Dermaga Batu (puisi, 2013), Jalan Setapak Aisyah (kumcer, 2013), Minus Menangis (kumcer, 2014), Menulis Cerpen Itu Gampang (non fiksi, 2015), dan Matahari yang Setia (menunggu jadwal terbt di salah satu penerbit mayor).
Belasan kali masuk nominasi sepuluh besar dan menjuarai lomba cerpen, puisi, dan resensi tingkat nasional sepanjang 2012 hingga 2014. Pada 2014 mendapat anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 lewat cerpen “Robot-Robotan di Rahim Ibu” sebagai juara kedua wakil Indonesia. Yang terbaru meraih 4 besar Siwa Nataraja Award 1 (2015) kategori manuskrip cerpen dengan judul “Di Angkot Mas Gondo”. Ia juga menjuarai ajang duta literasi, Unsa Ambassador 2015. Editor lepas yang belajar jadi wiraswasta ini menyukai alam, suasana pedesaan, sisi lain kehidupan urban, serta hal-hal aneh sebagai ide tulisan. Arek Suroboyo asli dan bisa ditemui di FB: Ken Hanggara.
DAFTAR PUSTAKA
Badudu, J.S. 1975. Sari Kesustraan Indonesia. Bandung: Pustaka Darma.
Badudu, J.S. 1993. Cakrawala Indonesia 3.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma. Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yayasan Widya.
Jabrohim.1994.Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia
Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudaryat. 2006.
Taringan, Henry Guntur. 1993. Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa.
0 Komentar untuk "CERPEN-CERPEN KARYA KEN HANGGARA DALAM AWK TEUN VAN DJIK"