Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Temui Aku di Surga Karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud


BAB I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Penciptaan karya sastra khususnya novel bertujuan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan tanpa melupakan bahwa karya sastra sebenarnya merupakan bagian pengungkapan masalah hidup.
            Bertolak dari pendapat tersebut, karya sastra dapat dipahami dari aspek-aspek kejiwaan. Untuk memahami aspek-aspek kejiwaan, dibutuhkan pengetahuan tentang psikologi, karena psikologi mengandung makna ilmu pengetahuan teantang jiwa atau ilmu.
            Dimensi kejiwaan dalam karya sastra bisa dilihat dari para tokoh rekaan yang menampilkan berbagai watak dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau konflik-konflik sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata. Minderop (2013:1) mengemukakan masalah-masalah kejiwaan dalam karya sastra yang dialami para tokoh dapat berupa konflik, kelainan perilaku, dan bahkan kondisi psikologis yang lebih parah, sehingga mengakibatkan kesulitan dan tragedi. Faktor penyebab kondisi psikologis para tokoh dan juga akibat tragedi yang dialami tokoh inilah yang mendorong para pakar psikologi dan sastra untuk menggali keterkaitan antara karya sastra dan ilmu psikologi.
Hardjana dalam Nurjana berpendapat bahwa karya sastra yang dihasilkan sastrawan selalu menampilkan tokoh yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara fiksi. Berdasar kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas jiwa dan raga. Maka penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi. Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan megenaihidup dan kehidupan
Sigmund Freud mengenalkan konsep psikonalalisis yang bukan merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dari ilmu jiwa. Dalam hal ini Freud berbicara psikonalisis sebagai suatu teori mengenai kepribadian.
Karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman tokoh-tokohnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis. Tujuan analisis adalah unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh yang terkandung dalam karya sastra. Hal tersebutlah yang mendorong pemilihan novel “Temui Aku” di Surga karya Ella Sofa.
Pemilihan novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa ini didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut. Pertama, keunikan tema dalam novel ini yang mengisahkan tentang sistem politik tingkat bawah di Indonesia yakni politik di desa. Kedua, novel “Temui Aku di Surga” ini mengungkapkan konflik batin tokoh-tokohnya, terutama tegangan-tegangan yang selalu muncul dalam batin tokoh utamanya.
Novel “Temui Aku di Surga” mengisahkan tentang persahabatan Yudho dan Malik. Di mana jalinan persahabatan mereka begitu kuat seperti saudara. Sayangnya, maut memisahkan keduanya. Malik meninggal dunia. Tapi, hidup harus terus berjalan. Setelah Malik wafat, orang tua Malik menyarankan Yudho menjadi calon petinggi. Masalah kian runyam bertambah. Ternyata, di balik pencalonannya Yudho mengalami banyak hambatan. Bahkan, tak disangka lawan politiknya Pak Thamrin menggunakan dukun pintar dan sakti mandraguna. Tak sampai di situ, Pak Thamrin juga menyuruh kelompok abangan agar masyarakat ditekan supaya memilihnya.
Selain berkisah tentang kisah persahabatan ini juga menceritakan suasana politik di Indonesia di tingkat paling bawah. Di mana telah menjadi rahasia umum, bahwa untuk menjadi pemenang (penguasa) segala hal dihalalkan. Mulai dari money politic sampai hal-hal lainnya. Selain itu, novel ini juga mencerminkan sebuah fenomena sosial di Indonesia yang begitu percaya akan kekuatan dukun.
Adapun yang menarik untuk diteliti dari novel  ”Temui Aku di Surga”  ialah
konflik batin yang dialami tokoh “Yudho” sebagai tokoh utama yang berusaha meneruskan mimpi sahabatnya untuk menjadi petinggi.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, masalah yang berkaitan dengan kejiwaan tokoh utama dalam novel “Temui Aku di Surga”, tentunya tidak bisa dilepaskan dari konteks psikonalisis itu sendiri. Berdasarkan alasan itulah, diperlukan pembahasan tentang “Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel “Temui Aku di Surga” karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanlisis Freud.

1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah struktur novel “Temui Aku di Surga”?
2.      Bagaimanakah konflik batin tokoh utama?
3.      Bagaimanakah solusi yang dipakai tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya?
4.      Bagaimanakah kepribadian tokoh utama?

1.3  Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Mengungkapkan struktur novel “Temui Aku di Surga”.
2.      Mengungkapkan konflik batin tokoh utama.
3.      Mengungkapkan solusi yang dipakai tokoh utama untuk mengatasi konflik batinnya.
4.      Mengungkapkan kepribadian tokoh utama.

1.4  Manfaat Pembahasan
1. Bagi Pemakalah dan Pembaca
a.                       Untuk mengetahui struktur novel “Temui Aku di Surga”.
b.                       Untuk mengetahui tentang konflik-konflik batin tokoh “Yudho”.
c.                       Untuk mengetahui solusi-solusi apa yang digunakan oleh tokoh “Yudho” dalam mengatasi konflik batinnya.
d.                      Untuk mengetahui kepribadian tokoh “Yudho”.
2.    Bagi Dosen Pengampu
Makalah ini bisa dijadikan bahan acuan pemberian nilai matakuliah Psikologi Sastra.



BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Landasan Teori
Pembahasan terhadap novel “Temui Aku di Surga” menggunakan teori psikoanalisis Freud. Akan tetapi, sebelum dilakukan analisis psikoanalisis, terlebih dahulu dilakukan analisis struktur untuk menangkap makna instrinsik novel “Temui Aku di Surga”. Fokus pembahasan dalam novel ini adalah konflik batin tokoh utama, oleh karena itu analisis struktur diarahkan pada analisis plot, tokoh, latar, dan tema. Setelah analisis struktur dilanjutkan analisis masalah yang adap pada unsur-unsur eseteik novel “Temui Aku di Surga” yakni konflik batin tokoh utama dengan menggunakan teori psikoanalisis Freud.

2.2 Teori Struktur Novel
            Stanton dalam Windiyarti mengemukakan karya fiksi (novel) adalah fakta, tema, dan sarana sastra. Fakta (facts) dalam sebuah cerita rekaan meliputi alur (plot), latar, tokoh, dan penokohan. Fakta cerita merupakan unsur fiksi yang secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya dan eksistensinya dalam sebuah novel. Oleh karena itu, fakta cerita sering juga disebut struktur faktual (factural structure) atau derajat faktual (factual level). Tema sama dengan ide sentral (central idea) dan maksud sentral (central purpose). Dengan demikian, tema sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum sebuah karya sastra (novel). Dasar (utama) cerita sekaligus tujuan (utama) cerita. Sarana sastra (literary devices) adalah teknik yang digunakan pengarang untuk memilih dan menyusun detail-detail cerita menjadi pola yang bermakna.

2.2.1 Plot dan Pemplotan
Stanton dalam (Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yagn satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Secara umum cerita rekaan terdiri atas peristiwa yang terjadi di bagian awal, tengah, dan akhir. Nurgiyantoro (2000: 153—163) didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, dan kepadatan. Pada kriteria urutan waktu, terdapat dua kategori, yaitu kronologis dan tidak kronologis. Kategori kronologis adalah plot lurus, maju, atau dinamakan progresif. Kategori tak kronologis meliputi plot sorot-balik, mundur, flash back, atau disebut dengan regresif. Ada juga penggabungan kedua alur itu yang disebut sebagai alur campuran.
Berdasarkan kriteria jumlahnya, plot terdiri atas plot tunggal dan plot bawahan. Ada novel yang hanya menampilkan sebuah alur (plot tunggal), tetapi ada juga yang mengandung lebih dari satu alur yang disebut dengan subplot.
Jika hanya menampilkan plot tunggal, fiksi tersebut hanya menggambarkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai “pahlawan”. Jika, memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau lebih dari satu tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya, permasalahannya, dan konflik yang dihadapinya, plot seperti ini dinamakan sub-plot. Sub-plot hanya merupakan bagian dari alur utama yang merupakan satu kesatuan yang padu.

2.2.2 Latar
Latar atau setting merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sisuak tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 2000: 216).
Nurgiantoro (2000: 227) mengemukakan jika terdapat tiga unsur latar, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
a.       Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, insial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
b.      Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
c.       Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi.

2.2.3 Tokoh dan Penokohan
Tokoh memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Menurut Nurgiantoro (2000:165) istilah tokoh merujuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan, penokohan menunjuk pada watak-watak tokoh dalam suatu cerita atau bisa juga disebut sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Nurgiyantoro (2000: 176—194) membedakan tokoh berdasarkan tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, serta tokoh tipikal dan tokoh netral. Penamaan yang dilakukan oleh Nurgiyantoro cenderung bersifat sejajar.

2.2.4        Tema
Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umu sebuah karya sastra (Nurgiantoro, 200: 70). Nurgiantoro (2000: 77) menggolongkan tema ke dalam beberapa kategori berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu penggolongan dikhotomis yang bersifat tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan penggolongan tingkat keutamannya.
Pada pembahasan makalah ini akan digunakan tema menurut tingkat keutamannya yakni tema utama dan tema tambahan.

2.3 Teori Psikoanalisis
Teori Freud merupakan teori psikologi yang paling banyak menjadi acuan dalam analisis karya sastra. Teori psikoanalisis sendiri menjadi teori yang paling komprehensif di antara teori-teori kepribadian lainnya, namun juga mendapat tanggapan paling banyak, baik tanggapan positif maupun negatif. Peran penting ketidaksadaran beserta insting-insting seks dan agresi dalam mengatur tingkah laku, menjadi karya atau temuan monumental Freud. Sistematika Freud dalam mendiskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok bahasan yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian, banyak dikuti oleh para pakar. Tokoh psikoanalisis yang mengikuti sistematika Freud dalam mendiskripsikan kepribadian antara lain Jung dan Adler. Jung mendskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok bahasan yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian, sedang Adler mendeskripsikan kepribadian dengan struktur kepribadian. Pengingkut Freud yang kemudian meninggalkannya karena adanya perbedaan-perbedaan pandangan dan mengembangkan pendapatnya sendiri adalah Jung dan Adler. (Windayarti, 2005: 33-34)
Windyarti mengemukakan perbedaan pandangan antara Freud, Jung, dan Adler pada dasarnya adalah perbedaan pandangan tentang kodrat inheren yang mengakibatkan perbedaan pengertian terhadap pembentukan kepribadian. Meskipun pandangan tentang pembentukan kepribadian antara Freud, Jung, dan Adler memiliki perbedaan-perbedaan tetapi pada satu sedi ketiga-tiganya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bersifat biologis dan membicarakan unsur sadar dan tak sadar dalam struktur kerpribadian. Perbedaan-perbedaan itu tampak pada penekanannya, Freud menekankan seks, Jung menekankan pola-pola pemikiran primodial, dan Adler menekankan minat sosial.
Gagasan-gagasan Freud tentang perkembangan kepribadian, mengasumsikan bahwa dorongan utama dalam diri manusia adalah energi seksual; energi seksual mengalamai perubahan mulai dari lahir hingga menuju masa puber dalam kehidupan masing-masing individul. Freud berpendapat bahwa dorongan seksual manusia merupakan motivasi paling kuat untuk melakukan tindakan. Tingkah laku manusia didorong oleh insting-insting (seks dan agresi) yang dibawa sejak lahir.
Manusia termotivasi oleh kontradiksi; kontradiksi antara usahanya untuk memperoleh kesenangan seksual, untuk mempertahankan hidup, dan untuk menguasi lingkungannya. Oleh karena itu, manusia dimotivasi oleh kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik satu sama lain, tidak hanya didorong untuk memperoleh kesenangan seksual saja.
Windayarti (2005: 38) mengemukakan konsep Freud tentang individu sangat luas dan mendalam. Teorinya berusaha menggambarkan individu-individu sepenuhnya yang hidup sebagian dalam dunia kenyataan dan sebagian lagi dalam dunia khayalan, yang dikelilingi oleh konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan batin, namun mampu berpikir secara rasional, digerakkan oleh daya-daya yang kurang mereka kenal dan oleh aspirasi-aspirasi yang tidak terjangkau, yang secara silih berganti mengalami kebingungan dan pencerahan, frustasi dan kepuasaan, keputusasaan dan pengharapan, egoisme dan altuisme. Gambaran individu seperti itu merupakan gambaran manusia pada saat itu, manusia moderen dengan berbagai persoalan di mana manusia pada saat itu, manusia moderen dengan berbagai persoalan di mana manusia harus mengikuti perkembangan zaman, mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat sehingga manusia harus kehilangan kebebasannya, kebebasan yang hakiki.

2. 4 Teori Kepribadian Psikoanalisis-Sigmund Freud
            Minderop (2013: 11) mengemukakan psikoanlisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontribusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
            Menurut Minderop (2013: 11) psikoanalisis ditemukan oleh Freud sekitar tahun 1980-an. Teori-teori Freud dianggap memberikan priortias pada masalah seksual.
Windayarti (2005: 38) mengemukakan tahun 1890, Freud memulai suatu analisis diri senidiri tentang tenaga-tenaga tak sadarnya untuk membandingkan bahan dari pasiennya. Hal ini dilakukan dengan cara menganalisis mimpinya sendiri, ia dapat melihat bagaimana rohaninya sendiri bekerja. Atas dasar pengetahuan dari pasien-pasiennya dan driinya sendiri ia mulai meletakkan dasar-dasar bagi suatu teori kepribadian. Tahun 1900, Freud kemudian menerbitkan buku The Intepretation of Dreams yang dianggap sebagai salah satu karya besar dalam zaman modern, sifatnya lebih daripada sebuah buku tentang mimpi saja. Buku itu merupakan buku tentang dinamika jiwa manusia, berisi teori Freud tentang jiwa, terutama mengenai proses primer dan proses sekunder, dan represi serta tak sadar sebagai realitas. Freud meneruskan menyelidiki jiwa manusia dengan mempergunakan metode psikoanalisis.
Menurut Hall (dalam Windayarti, 2005: 39) pada waktu ilmu jiwa dalam abad kesimbilan belas sedang sibuk dengan pekerjaanya menganalisis jiwa sadar, psikoanalisis sedang mengadakan penjelajahan dari jiwa tak sadar. Freud merasa bahwa alam sadar hanyalah suatu irisan yang tipis dari keseluruhan jiwa sebagai halnya dengan sebuah gunung es, bagian yang terbesar terletak di bawah dasar kesadaran.
Alam taksadar merupakan lingkaran lebih besar yang meliputi lingkaran-lingkaran kecil kesadaran; segala sesuatu yang sadar pada awalnya berada terlebih dahulu pada kondisi tidak sadar. Sebaliknya, alam taksadar mampu berhenti pada kondisi ini dan mengklaim dirinya untuk dipandang sudah memiliki fungsi psikis lengkap. (Windayarti, 2005: 39)
Pertentangan para ahli jiwa dengan Freud tidak mencapai putusan terakhir, karena baik ilmu jiwa maupun psikoanlisis mengubah tujuannya selama abad kedua puluh. Ilmu jiwa menjadi ilmu pengetahuan tentang tingkah laku, sedangkan psikoanalisis menjadi ilmu tentang kepribadian. Antara tahun 1890 dan 1920, ketika jiwa taksadar berkuasa sebagai konsep tertinggi dalam sistem ilmu jiwanya, Freud berusaha untuk menemukan kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam kepribadian yang tidak langsung dapat diketahui oleh peninjau. Bagi Freud, tugas ilmu jiwa adalah untuk mencari faktor-faktor dalam kepribadian yang tidak kita ketahui. Inilah arti keterangan Freud, bahwa pekerjaan ilmiah dalam ilmu jiwa terdiri usaha mengubah proses-proses taksadar menjadi proses-proses yang sadar. (Windayarti, 2005: 39)
Menurut Freud dalam Windayarti, taksadar dan kesadaran merupakan dua lokalitas dalam alat kelengkapan psikis (pandangan-pandangan yang telah meninggalkan endapan dalam proses represi dan penetrasi). Sehingga, ketika kita berkata bahwa suatu pikiran taksadar berusaha keras menerjemahkan sesuatu ke dalam alam prasadar, kemudian dimasukkan ke dalam alam kesadaran, kita tidak sadar bahwa pikiran kedua harus dibentuk dalam lokalitas baru.
Hal ini menjelaskan jika untuk mengubah proses-proses taksadar menjadi proses-proses yang sadar, terjadi proses di bawah kesadaran yaitu proses prasadar. Hubungan antara prasadar dan taksadar terhadap kesadaran adalah dapat dikatan prasadar seperti kain kasa penyating di antara sistem tak sadar dan kesadaran.
Dengan demikian, akal pikiran manusia dapat dibagi atas bagian yaitu alam sadar (conscious), dan alam taksadar (unvonscius). Alam tak sadar dibedakan atas alam prasadar (preconsious) dan alam tak sadar (unconscius).
Freud dalam Windayarti membedakan tiga struktur atau “instansi” dalam hidup psikis: “yang taksadar”, “yang prasar”, dan “yang sadar”. “Yang taksadar” atau ketidaksadaran meliputi apa yang terkena represi. “yang prasar” meliputi apa yang dilupakan, tetapi dapat diingat kembali tanpa perantaraan psikoanalisis. “Yang prasadar” membentuk sistem dengan “yang sadar” atau kesadaran. “Yang prasadar” bersama kesadaran merupakan ego.
Aspek taksadar menguasai sebagian besar ruang akal pikiran manusia. Oleh karena itu, unsur tidak sadar seabgai suaut unsur mental adalah sebagai pusat konsep teori Freud tentang kepribadian manusia.  Kemudian, kira-kira tahun 1920, Freud merumuskan kembali konsep teori ini. Ia mengemukakan bahwa struktur kepribadian manusia mengandung tiga komponen yang disebut id (tidak sadar), ego (tidak sadar, prasadar, sadar), dan superego (tidak sadar, prasadar, sadar). Ketiga unsur ini membentuk struktur mental yang mendasari teori psikoanalisis Freud.

Struktur kepribadian dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
Berdasar uraian tentang konsep-konsep teori psikoanalisis Freud, pemakalah membatasi diri pada soal-soal yang berkenaan dengan teori Freud tentang kepribadian. Freud mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga pokok bahasan, yaitu struktur kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.

2.5 Dinamika Kepribadian
            Minderop (2013: 23) mengemukakan bahwa Freud memandang manusia sebagai suatu sistem energi yang rumit karena pengaruh filsafat determinsitik dan postivistik yang marak di abad ke-19. Menurut pendapatnya, energi manusia dapat dibedakan dari penggunaanya, yaitu aktivitas fisik disebut energi fisik, dan aktivitas psikis disebut energi psikis. Berdasarkan teori ini, Freud mengatakan, energi fisik dapat diubah menjadi energi psikis. Id dengan naluri-nalurinya merupakan media atau jembatan dari energi fisik dengan kepribadian.
1.      Naluri
Freud menggunakan alam bawah sadar untuk menerangkan pola-pola tingkah laku manusia serta penyimpangan-penyimpangannya. Tesis Freud pertama ialah bahwa alam sadar merupakan subsistem dinamis dalam jiwa manusia yang mengandung dorongan-dorongan naluri seksual yang berkaitan dengan gambaran-gambaran tertentu di masa lalu (usia dini). Dorongan-dorongan itu menuntut pemenuhan, namun adanya budaya dan pendidikan (tuntutan norma kehidupan sosial) dorongan tersebut ditekan dan dipadamkan. Akan tetapi, dalam bentuk tersamar dorongan-dorongan itu tepenuhi melalui suatu pemuasaan semu atau khayalan (fantasi).
Demikianlah impian ditafsirkan sebagai pemenuhan keinginan-keinginan yang tidak disadari. Keinginan yang terpendam itu tidak dapat menampilkan diri dalam bentuk yang sesungguhnya, lalu mengalami pengaruh beberapa mekanisme yang menyelimuti kenyataan, misalnya kondensasi (beberapa lambang terlebut dalam satu lambang) dan penggesaran (arti yang sebenarnya hampir lenyap oleh bayangan sebuah gambaran yang berbeda atau tidak ada relevasinnya). Dengan demikian, isi impian yang dialami dapat diterima oleh kesadaran. Hal yang menarik kedua mekanisme ini mirip dengan fungsi metafora dan metonimi dalam teks satra. Menurut Freud, teks sastra memang membuka kemungkinan yang mengungkapkan keinginan terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh kesadaran. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa penelitian psikologi sastra sedapat mungkin mengungkapkan jiwa yang terpendam itu (Endawara dalam Minderop, 2013:24).
Menurut Freud dalam Minderop kekuatan id mengungkapan tujuan hakiki kehidupan organisme individu. Hal ini tercakup pemenuhan kepuasan. Id tidak mampu mewujudnyatakan tujuan mempertahankan kehidupan atau melindungi kondisi dari bahaya. Ini menjadi tugas ego, termasuk mencari cara memenuhi kebutuhan dan kepuasan. Superego mengendalikan keinginan-keingan tersebut.
Naluri atau instink merupakan representasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) akibat muncul suatu kebutuhan tubuh. Bentuk naluri menurut Freud adalah pengurangan tegangan (tension reduction), cirinya regresif dan bersifat konservatif (berupaya memelihra keseimbangan) dengan memperbaiki keadaan kekurangan. Proses naluri berulang-ulang (tenang, tegang dan tenang).
Menurut Freud dalam Minderop (2013: 26), naluri yang terdapat dalam diri manusia bisa dibedakan dalam: eros atau naluri kehidupan (life instinct) dan destructive instinct atau naluri kematian (death instinct-Thanotos). Naluri kehidupan adalah nalluri yang ditunjukan pada pemeliharaan ego.
            Freud menyakini bahwa perilaku manusia dilandasi oleh dua energi mendasar yaitu, pertama, naluri kehidupan (life instincts-Eros) yang dimanifetasikan dalam perilaku seksual, menunjang kehidupan serta pertumbuhan.
            Kedua, naluri kematian (death instincts-Thanatos) yang mendasari tindakan agresif dan destruktif. Kedua naluri ini, walaupun berada di alam bawah sadar menjadi kekuatan motivasi. Hilgard dalam Minderop mengemukakan naluri kematian dapat menjurus pada tindakan bunuh diri atau pengrusakan diri atau bersikap agresif terhadap orang lain. (Minderop, 2013: 27)
2.      Kecemasan (Anxitas)
Hilgard dalam Minderop (2013: 27) mengemukakan anxitas merupakan situasi apapun yang mengancam kenyamana suatu organisme.
Freud dalam Windayarti (2005: 31) membedakan tiga macam kecemasan, yakni kecemasan tentang kenyataan atau kecemasan objektif, kecemasan neurotis, dan kecemasan moril. Perbedaan ketiga bentuk kecemasan itu adalah sumbernya. Kecemasan tentang kenyataan bersumber dari bahaya itu terletak dalam dunia luar, kecemasan neurotis, ancaman itu terletak dalam pemilihan objek  secara naluriah dari id; dan kecemasan moril, bersumber dari hati nurani dari sistem superego.

2 .6 Perkembangan Kepribadian
            Menurut Hall dan Lindzey dalam Windayarti (2005: 55) kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat sumber tegangan pokok yakni: (1) proses-proses pertumbuhan fisiologis; (2) frustasi-frustasi; (3) konflik-konflik; dan (4) ancaman-ancaman sebagai akibat dari meningkatnya tegangan-tegangan yang ditimbulkan oleh sumber-sumber ini, sang pribadi terpaksa mempelajari cara-cara baru mereduksi tegangan. Proses belajar inilah yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian.
Ada beberapa cara untuk mencoba memecahkan kegagalan, pertentangan-pertentangan, dan kecemasan-kecemasan yaitu represi, sublimasi, proyeksi, pengalihan, rasionalisasi, reaksi formasi, regresi, agresi dan apatis, serta fantasi dan stereotype.
1.      Represi (Repression)
Menurut Freud dalam Minderop (2013: 32) represi merupakan fondasi cara kerja semua mekanisme pertahanan ego. Tugas represi ialah mendorong keluar impuls-impuls id yang tak diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. Tujuan dari semua mekanisme pertahanan ego adalah untuk menekan (repress) atau mendorong impuls-impils yang mengancam agar keluar dari alam sadar.
2.      Sublimasi
Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sesungguhnya suatu bentuk pengalihan. Misalnya, seorang individu memiliki dorongan seksual yang tinffi, lalu ia mengalihkan perasaan tidak nyaman ini ke tindakan-tindakan yang dapat diterima secara sosial dengan menjadi seorang artis pelukis tubuh model tanpa busana. (Minderop, 2013: 34)
3.      Proyeksi
Proyeksi adalah mekanisme yang tidak disadari yang melindungi kita dari pengakuan terhadap kondisi. Contoh, kita semua kerap menghadapi situasi atau hal-hal yang tidak diinginkan dan tidak dapat kita terima dengan melimpahkannya dengan alasan lain. Misalnya, kita harus bersikap kritis atau bersikap kasar terhadap orang lain, kita menyadari bahwa sikap ini tidak pantas kita lakukan, namun sikap yang dilakukan tersebut diberi alasan bahwa orang tersebut memang layak menerimanya. Sikap ini kita lakukan agar kita tampak lebih baik. (Minderop, 2013: 34)
4.      Pengalihan (Displacement)
Pengalihan adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang memungkinkan. Misal, adanya impuls-impuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun lebih aman dijadikan sasaran. (Minderop, 2013: 35)
5.      Rasionalisasi (Rationalization)
Hilgard dalam (Minderop, 2013: 35) mengungkapkan rasionalisasi memiliki dua tujuan: pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika kita gagal mencapai suatu tujuan; dan kedua, memberikan kita motif yang dapat diterima atas perilaku.
Contoh-contoh rasionalisasi: Pertama, rasa suka atau tidak suka sebagai alasan: seorang gadis yang tidak diundang ke sebuah pesta, berkata bahwa ia tidak akan pergi walau diundang karena ada beberapa orang yang tidak disukainya yang hadir di pesta tersebut. Kedua, menyalahkan orang lain atau lingkungan sebagai alasan: seseorang yang terlambat karena tertidur akan menyalahkan orang lain yang tidak membangunkannya; atau mengatakan kelelaha karena terlalu sibuk sehingga terlelap. Seharusnya ia dapat bangun dengan memasang waker sebelumnya. Ketiga, kepentingan sebagai alasan: seseorang membeli model baru dengan alasan yang lama membutuhkan banyak biaya reparasi.
Rasionalisasi terjadi bila motif nyata dari perilaku individu tidak dapat diterima oleh ego. Motif nyata tersebut digantikan oelah semacam motif pengganti dengan tujuan pembenaran. Contohnya, seorang siswa yang sedang belajar keras menghadapi ujian esok hari, tiba-tiba dihubungi temannya untuk sebuah pesta yang dihadiri oleh gadis yang dicintai si siswa  tersebut. Berdasar hal ini motif nyata si siswa tersebut adalah harus pergi ke pesta, bersenang-senang dan bertemu dengan orang gadis pujaannya. Namun, suara hatinya mengatakan kalau alasan dmeikian, seharusnya ia tetap tinggal di rumah dan belajar. Selanjutnya, ego siswa tersebut mengatakan bahwa ia harus mencari motif pengganti, yaitu: selama ini ia terlalu rajin belajar, ia perlu sedikit rekreasi agar dapat menghasilkan nilai bagus dalam ujian. Rasionalisasi ini lebih dapat diterima daripada alasan ke pesta hanya untuk bersenang-senang dengan sang gadis.
6.      Reaksi Formasi (Reaction Formasi)
Reaksi formasi merupakan reaksi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan. Misalnya, seseorang bisa enjadi syuhada yang fanatik melawan kejahatan karena adanya perasaan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dosa. (Minderop, 2013: 37)
7.      Regresi
Hilgard dalam Minderop (2013: 38) membagi regresi menjadi dua interprestasi. Pertama, regresi yang disebut retrogressive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian orang lain. Kedua regresi yang disebut primitivation ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi.
8.      Agresi dan Apatis
Perasaan marah terkait erat dengan ketegangan dan kegelisahaan yang dapat menjurus pada pengrusakan dan penyerangan. Agresi dapat berbentu k langsung dan pengalihan (direct aggression dan displaced aggression). Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Bagi orang dewasa, agresi semacam ini biasanya dalam bentuk verbal ketimbang fisikal-si korban yang terseinggung biasanya akan merespon. Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungakpakan secara puas kepada suber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tersentu. Penyerangan kadang-kadang tertuju kepada orang yang tidak bersalah atau mencari kambing hitam. Sedangkan, apatasis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap  frustasi, yaitu sikap apatis (apathy) dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah. (Minderop, 2013: 38)


9.      Fantasi dan Stereotype
Fantasi merupakan pelarian atas masalah yang demikian bertumpuk dengan mencari solusi masuk ke dalam dunia khayal. Contoh para serdadu perang yang kerap menempelkan gambar-gambar pin-up girls di barak mereka yang melambangakan gantasi kehidupan tetap berlangsung pada saat kehidupan seksualnya terganggu. Sterotype adalah konsekuensi lain dari frustasi, yaitu perilaku sterotype---memperlihatkan perilaku pengulangan-pengulan terus-menerus. Individu selalu mengulangi perbuatan yang tidak bermanfaat dan tampak aneh. Hilgard dalam (Minderop, 2013: 39).





BAB III.  PEMBAHASAN

Pada bab III pembahasan akan dibahas unsur intrinsik novel “Temui Aku di Surga”  meliputi unsur latar dan pelataran, tokoh dan penokohan, serta plot dan pemplotan. Berdasarkan pengamatan terhadap novel ini, keempat unsur tersebutlah yang paling kuat dan paling berpengaruh dalam keseluruhan isi novel.
Selain itu, akan terdapat pembahasan mengenai aspek-aspek kejiwaan tokoh utama, yaitu konflik-konflik batin dan solusi untuk menghadapi atau mengatasi konflik batinnya. Untuk menganalisis konflik-konflik batin dan cara-cara mengatasi yang dilakukan tokoh utama pembahasan gunakan prinsip-prinsip id, ego, superego, dan mekanisme pertahanan dan konflik. Adapun yang menjadi pembahasan analisis adalah tokoh “Yudho”. Namun, tidak menutup kemungkinan analisis terhadap tokoh-tokoh penting lainnya, seperti Malik, Hesti, Solikin, dan Pak Thamrin.

3. 1 Struktur Novel “Temui Aku di Surga”
3.1.1 Latar
            Menurut Nurgiantoro latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana terterntu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.
            Selain itu, latar juga akan membuat pembaca mendapatkan informasi baru yang  berguna dan menambah pengalaman hidup.  Hal ini dikarenakan, penginformasian tentang latar tertentu melalui sarana cerita-fiksi adakalanya lebih efektif daripada sarana informasi yang lain. Oleh karena itu, latar dalam fiksi langsung dalam kaitannya dengan sikap, pandangan, dan perlakuan tokoh, sedang tokoh itu sendiri diidentifikasi oleh pembaca.
            Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial.
1.       Latar Tempat
Latar tempat menayaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, insial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Penggunaan latar tempat dalam novel “Temui Aku di Surga” menggunakan unsur tempat berupa tempat-tempat dengan nama tertentu. Adapun latar tempatnya di gambarkan pada kutipan berikut:
a.       Jepara
Malik menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang cukup punya nama di Jepara. (Temui Aku di Surga: 1)
Dua Minggu sejak masuk di RS. RA. Kartini, Malik sudah kembali di rumah. (Temui Aku di Surga:7)
Desa itu sebagian permukaan tanahnya masih terselimuti oleh permadani hijau tumbuhan padi yang bersanding dengan gemericik aliran sungai irigasi. Tiap paginya masih disemarakkan oleh koloni burung-burung kecil yang terbang serta hinggap silih berganti. Lokasi desa itu jauh dari keramaian kota, serta masih sering kali dituju oleh jiwa-jiwa perindu sejuknya embun dan udara bersih di pagi hari. Nama desa itu Randuasri. Terletak di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
(Temui Aku di Surga: 11)
Yudho terkesiap mendengar suara nyaring dan  bening itu. Ia mencari sumber suara di antara banyaknya manusia yang lalu-lalang di halaman depan kampus STIENU Jepara.
(Temui Aku di Surga: 269)
Pada empat kutipan di atas menunjukkan jika latar tempat novel Tersesat di Surga adalah Jepara. Hal ini dikarenakan, Jepara merupakan latar yang paling dominan dalam novel. Seperti kutipan pertama yang menjelaskan Geng Topanx yang cukup memiliki nama di Jepara, lalu RS. RA. Kutipan kedua dan keempat menunjukkan suatu lokasi atau tempat yang terdapat di Jepara yakni RS. RA Kartini dan kampus STIENU. Sementara, kutipan ketiga  yang menjelaskan situasi desa yang masih asri bernama Randuasri, Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
b.      Pesantren Tremas atau Attarmasy di Pacitan
“Hampir tiga tahun ini Malik tinggal dan menjalani kehidupan yang tenang di Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan.” (Tersesat di Surga: 29)
“Lalu, anaknya Bapak di mana sekarang, Pak?”
“Oh ... ia sedang belajar di pesantren. Di sana lho, Pacitan.” (Temui Aku di Surga: 24)
Pondok Pesantren Tremas atau Attarmasy di daerah Pacitan menjadi latar tempat di beberapa bab awal novel “Temui Aku di Surga” seperti yang terdapat pada kedua data kutipan di atas. Di mana, data pertama menunjukkan waktu hampir tiga tahun Malik dan menjalani kehidupan di pondok pesantren tersebut. Adanya kutipan kedua yang berisi dialog tokoh Yudho dan Pak Rohmadi mempertegas adanya latar pondok pesantren itu.
c.       Surabaya
“Whoooi! Iya, maaf aku belum ngasih kabar. Maaf Bos, ndak masuk beberapa hari deh kayaknya. Aku ke Surabaya....!” Malik segera memberi kabar. (Temui Aku di Surga: 118)
Pada kutipan di atas menjelaskan tentang keberadaan Malik yang sedang menuju Surabaya. Latar Surabaya kemudian dipertegas pada kutipan berikut:
“Empat hari tinggal di Griya Kebonagung, rumah kakaknya, dirasa cukup bagi Malik untuk membasuh kekalutan dalam pikran da harinya.” (“Temui Aku di Surga”: 123)
d.      Kudus
“Sementara itu di pondok pesantren Arwaniyah, Kudus. Hesti telah aktif menghafal kembali. Ia telah melewati masa-masa terberat!”
(Temui Aku di Surga: 201)
Kutipan di atas menjelaskan keberadan Hesti di pondoknya yang bernama pondok pesantren Arwaniyah di daerah Kudus, dalam novel ini Hesti digambarkan sebagai seorang hafidzah (penghafal Al-Quran bagi perempuan).
2.       Latar Waktu
            Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah waktu dalam novel “Temui Aku di Surga” menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita. Kejelasan waktu yang diceritakan amat penting dilihat dari segi waktu dan penceritaannya. Tanpa kejelasan (urutan) waktu yang diceritakan, orang hampir tak mungkin menulis cerita. Hal ini menunjukkan jika kejelasan masalah waktu menjadi lebih penting daripada kejelasan unsur tempat.
Pada novel “Temui Aku di Surga”, waktu di gambarkan dengan begitu detail dan berurutan. Hal tersebut merujuk pada kejadian yang terjadi di tahun 2000.
a.       2000-an
Tahun demi tahun berganti. Pekerjaan demi pekerjaan telah dilakoni oleh Yudho. Tak mudah menemukan pekerjaan yang menjanjikan bagi masa depan.  Namun Yudho tak menyerah! Tahun demi tahun ia lakoni dengan mencoba beberapa jenis pekerjaan. (Temui Aku di Surga: 13)
Pada kutipan selanjutnya, digambarkan jika Yudho mendapat penawaran bekerja dengan Solikin.
Yudho belum sepenuhnya paham apa yang dimaksud dengan bisnis kaca, apakah berjualan kaca? Berjualan di mana? Apa Solikin punya toko kaca? Berbagai pertantanyaan singgah di otak polosnya. (Temui Aku di Surga: 17)
Tak terasa, Yudho telah dua tahun menyibukkan diri di dunia kaca!” (Temui Aku di Surga: 19)
b.      2012
12 Juni 2012
Sepucuk surat telah kukirim untuk dia, Ya Allah. Maafkanlah aku. (Temui Aku di Surga: 90)
13 Juli 2012
Bagaimana kabar Mas Malik hari ini, YA Allah? Walau hati kami saling terpaut, namun aku tak pernah melihatnya secara langsung sejak pertemuan di pasar bersama Ibu. (Temui Aku di Surga: 93)
13 Desember 2012
Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku.(Temui Aku di Surga: 99)
Pada kutipan di atas menunjukkan tulisan Hesti dalam suratnya kepada Malik, juga keresahaannya yang dialami selama beberapa bulan setelah mengetahui jika Malik memiliki rasa padanya.
c.       2013
Yudho, 03 Januari 2013
Kehidupan ...
Makin kujalani, makin berwarna
Yang datang, yang hilang, yang pergi ...
Yang sedih, yang perih, yang luka....
(“Temui Aku di Surga”: 160)
Pada kutipan tersebut menunjukan situasi Yudho yang sedang menulis catatan pribadinya tertanggal 3 Januari 2013.
Pada tahun 2013 juga terjadi serangkaian masalah-masalah dalam novel, seperti tokoh Yudho yang baru mendaftar menjadi calon petinggi. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut:
Perjuangan baru dimulai dengan mendaftar jadi calon petinggi. Ia tahu, di saat-saat seperti ini tak ada yang hendak ia lakukan kecuali mendekat dan mendekat selalu kepada Sang Khalik, meminta petunjuk agar diberi hasil terbaik pada saat pemilihan nanti. (Temui Aku di Suga: 173)
Selamat Datang pada
            Pemilihan kepala Desa Randuasri
            04 Agustus 2013
Semoga Pilihan Anda Tepat
(Temui Aku di Surga: 195)
Kutipan di atas menunjukan adanya peristiwa pemilihan kepala desa Randuasri di mana Yudho merupakan lawan politik dari Pak Thamrin- petinggi petahanan.
3.       Latar Sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Pada novel “Temui Aku di Surga” latar sosial digambarkan tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar para sabetan melapor, ada indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain curang!
“Mereka ke dukun.” kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Temui Aku di Surga: 176)

Pada kutipan di atas, digambarkan pihak lawan politik Yudho yang tak lain adalah Pak Thamrin melakukan tindakan percaya akan dukun. Dukun atau orang pintar di novel tersebut dijadikan kebiasaan hidup tokoh Pak Thamrin.
Seperti diungkap dalam kutipan berikut.
“Para pendukung Pak Petinggi itu ... dari dulu memang begitu tho, Pak, iya kan?  Makanya jadi saudaranya dlu, ynag pemilihan sebelum Pak petinggi juga pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu ...,” Pak Salim menyahut berapi-api. (“emui Aku di Surga: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (“Temui Aku di Surga”: 194)
Tokoh Pak Thamrin berbanding terbalik dengan Yudho, hal ini dikarenakan Yudho memiliki pandangan hidup yang tak percaya akan kekuatan dari dukun. Caranya bersikap menunjukkan kedekatannya akan Tuhan. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ya Allah .. aku datang pada-Mu, meminta belas kasih-Mu, meminta kekuatan dari-Mu, meminta perlindungan-Mu, meminta kekuatan dari-Mu, meminta perlindungan-Mu, meminta hasil terbaik dari-MU. Aku hanya ingin dekat dan dekat ... agar aku yakni bahwa aku tak pernah sendiri menghadapi semua ini. Para pendukungku sedang gelisah, apakah aku harus gelisah juga Tuhan? Untuk menenangkan mereka, maka satu-satunya tempatku mencari kekuatan dan bersandar adalah Kau, ya Allah ...” (Temui Aku di Surga: 178).

3.1.2 Tokoh dan Penokohan
            Tokoh memiliki peranan yang penting dalam mengungkapkan keseluruhan ide cerita dan peristiwa. Tokoh adalah pengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita.
Sudjiman (dalam Pradani 2012: 64) memaparkan bahwa penokohan ditampilkan pengarang melalui dua metode. Metode yang pertama adalah dengan metode langsung. Metode ini sangat sederhana dan hemat, tetapi tidak membangun imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang imajinasinya untuk membentuk gambaran tentang tokoh. Metode yang kedua adalah metode tak langsung atau yang biasa disebut juga sebagai metode ragaan atau metode dramatik. Watak tokoh dapat disimpulkan oleh pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Novel “Temui Aku di Surga” ini pun tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang berlakuan di dalamnya dengan cara penggambaran tokohnya yang sebagian besar menggunakan metode tak langsung atau metode dramatik.
Pembagian tokoh dalam novel “Temui Aku di Surga” cukup jelas. Ada tokoh “Yudho” yang menjadi central cerita, juga memiliki watak protagonis.
Pembagian tokoh di dalam novel ini cukup jelas. Ada tokoh “Yudho”yang menjadi tokoh sentral di dalam cerita. Tokoh “Yudho” pun menjadi pusat dari segala penceritaan yang terdapat di dalam novel ini. Tokoh “Yudho” ini juga dapat dikatakan sebagai tokoh yang protagonis karena keterlibatannya dengan tokoh-tokoh yang lainnya. “Yudho” juga lebih banyak terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita. Rangkaian peristiwa yang terdapat di dalam novel ini hampir keseluruhannya dialami oleh tokoh “Yudho”.
Terdapat satu orang tokoh yang dianggap sebagai tokoh antagonis karena pemikiran-pemikirannya dianggap sering bertentangan dengan pemikiran dari tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita, hal ini dikarenakan cerita yang terdapat di dalam novel ini merupakan perang antara kejahatan melawan kebaikan.
Selain itu, ada pula tokoh-tokoh tambahan yang turut berlakuan di dalamnya. Tokoh-tokoh tambahan ini ada yang tetap di setiap belahan cerita, ada pula yang berganti-ganti. Pada pembahasan makalah ini, penulis hanya akan memaparkan tokoh tambahan yang dianggap berkontribusi banyak dalam keseluruhan jalan cerita di setiap belahannya. Belahan pertama terdapat beberapa tokoh tambahan, yaitu Malik, Hesti, dan Solikin. Belahan kedua ada Pak Rohmadi, Bu Rohmadi, Pak Zaenuri, dan Emak. Belahan keempat ada Yayuk, serta di belahan kelima ada Bu Marisah dan Zaki. Kesemua tokoh yang disebutkan itu adalah tokoh yang mengambil banyak peranan di dalam masing-masing bagian. Walaupun masih banyak tokoh lainnya yang juga berlakuan di dalam masing-masing bagian, tetapi tidak semua tokoh tersebut mengambil peranan penting. Tokoh-tokoh tersebut hanya disajikan untuk melengkapi latar yang ada pada cerita dan tokoh yang seperti itu disebut sebagai tokoh lataran.
1.       Analisis Tokoh Utama pada Novel “Temui Aku di Surga”
Tokoh “Yudho” digambarkan pengarang melalui pemikiran-pemikirannya dan juga melalui lakuan yang sering dilakukannya. Tokoh “Yudho” sebagai tokoh sentral juga berhubungan dengan tokoh-tokoh lainnya di dalam cerita. Penggambaran dilakukan melalui sudut pandang orang ketiga.  Pengarang cukup banyak menggambarkan tokoh “Yudho”. “Yudho” digambarkan sebagai seorang pemuda yang memiliki pemikiran kritis, pekerja keras, dan pemberani.
Mobil pick-up yang disetri Yudho memasuki Desa Randuasri, desanya sendiri. Jalan yang dilalui mulai agak terjal. Aspal jalan berlubang di sana-sini. Sebenarnya agak menghawatirkan bagi barang yang sedang diangkutnya. Yudho khawatir terjadi guncangan yang keras yang akan membuat etalase itu oleng. Lalu kalau ada yang pecah? Wah...! Jangan sampai! Harapnya. Ia menyetir dengan hati-hati.
Sebenarnya ia heran, dari dulu jalan-jalan di desanya selalu begini! Entah sudah berapa kali diaspal ulang. Tapi hampir setiap tahun mengalami kerusakan-kerusakan. Kereusakan jalan-jalan aspal selalu parah! Berbahaya jika musim hujan tiba. Yudho pikir ini pasti karena kualitas aspal yang tidak bagus.
(Temui Aku di Surga: 20-21)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang memiliki pemikiran kritis mengingat ia bisa membuat kesimpulan jika jalan asal selalu rusak, padahal setiap tahun diaspal ulang, hal ini dikarenakan kualitas aspal yang tidak bagus.
Hari itu Yudho mengerjakan dua pesanan dan mengantarkan satu pesanan lagi. Pukul setengah empat sore ia telah tiba di kios lagi.
(Temui Aku di Surga: 26)
Pada kutipan di atas digambarkan kegiatan pekerjaan tokoh “Yudho”, hal tersebut menunjukan jika “Yudho” merupakan seorang pekerja keras.
 KRIEKK! Suara pintu berderit saat Yudho memberanikan diri memasuki sebuah ruangan di kantor desa untuk menemui seseorang. Yudho kalem namun berusaha tegas. Seakan tak peduli bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang paling disegani warga Randuasri.
(Temui Aku di Surga: 184)
Pada kutipan di atas digambarkan tokoh “Yudho” yang sedang menemui tokoh “Pak Thamrin” hal tersebut guna membicarakan kabar tentang kecurangan yang dilakukan oleh petinggi petahanan itu. Hal tersebut dipertegas dengan kutipan berikut.
“... Yudho sadar sedang berhadapan dengan siapa. Jiwa licik yang tadi seakan tak kelihatan kini mulai muncul ke permukaan, menampakkan keasliannya.
Darah Yudho berdesir, hawa mereinding menjalari seluruh permukaan kulitnya membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak, serta adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini...”
(Temui Aku di Surga: 189)
Selain tokoh “Yudho” ada tokoh “Pak Thamrin” juga termasuk tokoh utama dalam novel ini. Perbedaanya sifat dan watak “Pak Thamrin” yang antagonis memiliki sifat licik. Hal ini bisa digambarkan pada kutipan berikut:
“Begini Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung...!” Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya.
(Temui Aku di Surga: 187-188)
“Dik Yudho tahu yang terbaik seperti apa. Kalau mau pilih aman, ada jalan yang paling aman. Jagan halangi jalan saya, maka Dik Yudho seratus persen aman!” Pak Thamrin menyerngai licik.
(Temui Aku di Surga: 190)
Pada dua kutipan di atas menunjukkan kelicikan yang dilakukan tokoh “Thamrin” untuk menjadi petinggi kembali ia menggunakan banyak cara, bahkan smpai mengancam orang-orang yang bisa menjadi penghalang dalam pemilihan kepala desa termasuk Yudho dan keluarganya.
“Keterangan yang diberikan Solikin, Paijo, dan Patkur dirasa sangat cukup bagi polisi untuk menangkap Pak Thamin.”
(Tersesat di Surga: 259-260)
Kutipan di atas menunjukkan akhir dari kelicikan yang dilaksanakan tokoh “Pak Thamrin” di mana ia ditangkap oleh polisi.
2.       Analisis Tokoh Tambahan dalam Novel “Temui Aku di Surga”
a)      Belahan Pertama Yaitu Malik, Hesti, dan Solikin.
Tokoh “Malik” dalam novel ini digambarkan sebagai sahabat “Yudho” di mana, setiap kegelisahan dan masalah yang membalut tokoh ini diceritakan pada “Yudho.” Seperti tergambar pada kutipan berikut.
“Aku ingin menjadi kepala desa ...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan dahinya. Petinggi adalah istilah untuk kepala desa di tempat mereka.”
(Temui Aku di Surga”: 76)
Pada kutipan lain dijelaskan tentang cerita masa lalu tokoh “Malik”.
“Wahaha! Pernah sampai di penjara? Ceritanya gimana?” Yudho sangat penasaran dengan bagian ini.
“Waktu itu ... aku masih di Topanx. Biasa ... nge-geng, kelayapan ke sana kemari ndak karuan. Nah, waktu itu ada tawuran dan aku ikut untuk pertama kalinya. Ya ... sekedar menunjukkan solidaritas dalam genglah. Tapi, mungkin karena lagi apes juga sih ... saat itu perutku kena tendang. Karena sedang menahan rasa sakit, aku ndak sadar kalau anak-anak yang lain sudah pada bubar, lari karena polisi datang. Aku baru sadar dengan situasi saat seseorang menyentuh punggungku. Saat itu aku masih berjoongkok memegangi perutku. Ketika aku menoleh, aku kaget sekali karena ternyata dua orang polisi telah berada di belakangku dengan borgol yang siap dipakaikan ke lenganku,” cerita Malik panjang lebar. (45)
“Trus ... jaket yang robek itu?” tanya Yudho makin penasaran dengan kehidupan Malik.
“Yang kena clurit?”
“Hmmh...,” Malik menarik napas panjang, tersenyum, matanya menerawang seolah mengingat-ingat sesuatu. Lalu tiba-tiba bibirnya bergerak memulaik isahnya. Yudho menyimak dengan khidmatnya.” (46-47)
Pada kutipan tersebut terdapat dialog antara tokoh Malik dan Yudho, di mana Malik menceritakan masa lalunya yang termasuk ke dalam anggota geng Topanx yang membuatnya pernah dipenjara, juga melalukan tawuran hingga jaketnya robek.
Tiba-tiba Malik menyorongkan selembar kertas yang telah kusut, sangat kusuk bahkan terdapat robekan-robekan kecil di beberapa bagian. Yudho segera menerima kertas itu.
(Temui Aku di Surga: 109)
Kutipan di atas menunjukan situasi di mana Malik merasa tak bersemengat sejak menerima surat dari tokoh Hesti. Di mana dalam surat tersebut menyatakan jika lebih baik cinta antara keduanya tak terjalin sebelum ada kehalalan dari Allah.
 Tokoh “Hesti” pada novel ini digambarkan sebagai seorang muslimah yang sedang berusaha menghafal Al-Qur’an atau biasa disebut sebagai hafizah.
“Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku. Aku bukan wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan asrama sekaligus lancar dalam menghafal ayat-ayatsuci. Inikah kekhawatiran para pembimbing pada anak didiknya jika mereka menjalin hubungan hati pada saat yang belum tepat? Dan itu terbukti padaku ...”
(Temui Aku di Surga: 99)
Pada kutipan tersebut, tokoh “Hesti” mengalami kegelisahan yang dalam jiwanya. Rasa cintanya pada tokoh “Malik” membuatnya kurang berkonsentrasi dalam menghafal ayat-Nya.
Tokoh “Solikin” dalam novel ini digambarkan sebagai mantan bos Malik di bisnis perkacaan, perangainya pendendam dan pelit. Namun, di suatu sisi ia memiliki sifat yang mudah bertobat akan kesalahan yang dibuatnya.
Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Tapi, Yuk ... ah! Apa karena aku ngasih gaji kurang ya?” tiba-tiba Solikin terpikir hal itu juga.
“Memangnya berapa? Berapa kali naik gaji sih?” Yayuk mengernyitkan dahinya.
“Tapi tetap saja ini sebuah pengkhianatan...,” sahut Solikin.
“Seebntar ... jadi, gaji Yudho belum pernah Sampeyan naikkin tho?”
“Sudah lumayan lho dia itu penghasialn segt. Bisa beli hape, nyicil sepeda. Kalau bukan karena aku, nggak punya penghasilan dia,” Solikin masih bersikukuh.
“Jadi memang tak pernah naik?” ulang istrinya lagi,
“Ya memang ndak ada kenaikan ... nyari untung ndak gampang Yuk, sayang jika harus dikasih orang lain. Kupikit apa yang kuberi sudah banyak ...” akhirnya keluar juga pengakuan itu.
(“Temui Aku di Surga”: 62)
Pada kutipan tersebut dijelaskan percakapan antara tokoh “Solikin” dan “Yayuk” di mana, tokoh “Yayuk” menyimpulkan jika alasan “Yudho” berhenti kerja salah satunya karena kurangnya gaji yang diterima. Padahal, “Yudho” bekerja sudah dua tahun lebih.
“Di sebuah tempat lain. Solikin penasaran juga, siapa teman Yudho yang diajaknya kerja sama dalam bisnis kaca? Bagaimanapun, perasaan tak terima atas pengunduran diri Yudho membawa efek ketidaktengangan dalam keseharian Solikin.
Walau sedikit nurani kebaikan hati saat ini masih bisa mengimbangi rasa bencinya, namun rasa penasaran masih saja mengganggunya. Walaupun juga istrinya sering kali mewanti-wanit agar berusaha ikhlas.
(“Temui Aku di Surga”: 88)
“Bagaimana, Dik Kin? Aman kan?” Pak Thamrin menyambut kedatangan Solikin dengan penuh makna bagi mereka berdua.
Solikin tak berkata apa-apa, hanya tersenyum setengah terpaksa. Ada ganjalan yang masih mengganggu hatinya.
(“Temui Aku di Surga”: 218)
“Iya Pak. Ee... saya, disuruh Pak Thamrin membayar panitia acara pemilihan, untuk ... mengupayakan agar hasil pemilihan dimenangkan beliau, gitu Pak...”
“Lalu? Anda yakin hasil terakhir itu memang tidak asli?”
“Saya sih tidak berani menjamin. Sepertinya pendukung Yudho sangat banyak, ya bisa saja Yudho yang harusnya menang. Tapi ... saya bersumpa telah disuruh Pak Tahmrin, dan sudah menyerahkan uang itu pada mereka! Jadi ....”
(“Temui Aku di Surga”: 240)
“Memang ... aku sempat membenci kalian berdua. Tapi aku juga tak senekat itu, aku masih waras! Waktu itu, aku mengetahui kalu Malik pulang dari Surabaya. Kebetulan aku sedang lewat di belakang rumahmu. Aku mencuri dengar pembicaraan bapakmu sama Ibumu.:
“Lalu?” sahut Yudho.
“Lalu ... kebetulan beberapa jam setelah itu aku ditemui seseorang, suruhan Pak Thamrin. Ia mau membayaku mahal asal mau melakukan sedikit hal pada Malik, yang akan menjadi lawan Pak Thamrin pada pemilihan petinggi.”
(“Temui Aku di Surga”: 242)
Pada kutipan tersebut, diceritakan pengungkapan misteri kematian Malik, bahwasanya Pak Thamrin menyuruh Solikin untuk melakukan suatu hal kepada Malik yang akan menjadi lawan poliriknya. Namun, tokoh “Solikin” tak memiliki keberanian untuk melakukan hal tersebut, sebab ia memiliki rasa takut dan tak tegah melakukan hal-hal yang diluar batas kewajaran seperti menyelakakan orang. Hal itu kemudian diperjelas pada kutipan berikut:
“Demi Allah ... semula memang aku niat jahat, tapi ... demi Allah aku tak jadi melakukannya! Sepeda motor itu yang menabrak.”
“Junkpret?”
“Iya, tulisannya Junkpret.”
(“Temui Aku di Surga”: 243)
b)             Belahan Kedua Yaitu Pak Rohmadi, Bu Rohmadi, Pak Zaenuri, dan Emak.
Tokoh “Pak Rohmadi” digambarkan sebagai orang tua lelaki Malik sekaligus orang tua angkat Yudho. Seperti orang tua pada umumnya, tokoh “Pak Rohmadi” memiliki sifat kebapakan dan rela berkorban apapun demi anaknya. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Pak Rohmadi beserta ketiga temannya akhirnya sepakat menanggung semua biaya yang akan dikeluarkan untuk pencalonan Yudho...”
(Temui Aku di Surga: 171)
Pada kutipan tersebut dijelaskan sifat rela berkorban yang dimiliki tokoh “Pak Rohmadi” yang menanggung semua biaya yang dikeluarkan untuk pencalonan Yudho menjadi petinggi.
Tokoh “Bu Rohmadi” digambarkan sebagai sosok Ibu yang begitu perasa, peka, penuh kasih sayang pada anaknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan ketika  Malik wafat.
“Bu Rohmadi pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu lain. Mereka menyediakan diri jadi tempat rebah dan bersandar bagi beliau. Sesaat kemudian Bu Rohmadi bangkit, lalu menangais keras sambil memanggil-manggil nama Malik. “Maliiiiiiik! Maliiik!” satu menit kemudian pingsan lagi, lalu terbangun dan memanggil-manggil nama anaknya lgai. Begitu berulang-ulang!”
(“Temui Aku di Surga”: 132).
Pada kutipan di atas dijelaskan tokoh “Bu Rohmadi” yang begitu menyayangi tokoh “Malik” sampai dia mengalami rasa keterpukulan yang teramat dalam ketika mengetahui Malik sudah meninggal.
Tokoh Pak Zaenuri atau Bapak Yudho memiliki sifat yang nyaris sama dengan tokoh “Pak Rohmadi” yakni rela berkorban untuk anaknya, seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Sementara Bapak Yudho sanggup menjual sepetak sawah sempitnya untuk dana cadangan seandainya nanti dana yang telah disiapkan kurang.”
(Temui Aku di Surga: 171)
Sedangkan, tokoh Emak atau Bu Zaenuri memiliki sifat yang belas asih.
     Bu Zaenuri mendekat, mendekap, mengelus-elus kepala yang kini berada di pangkuannya. “Emak ngerti, Nang .., Ibu tahu sedihmu. Sabar ya... minta tolong sama Gusti Allah..”
            Pada kutipan di atas dijelaskan tentang tokoh Emak atau Bu Zaenuri sedang menenangkan Yudho akibat kekalahan dalam pilkades. Hal tersebut menunjukan rasa sayang yang ada pada diri seorang Ibu kepada anaknya.
c)                       Belahan Ketiga Yakni Yayuk
Tokoh “Yayuk” digambarkan sebagai seorang perempuan yang taat dalam beribadah, juga menenangkan “Solikin” di setiap menghadapi persoalan hidup. Kehadirannya di novel ini memiliki peran untuk menguak teka-teki kecurangan yang dilakukan oleh suaminya demi memenangkan tokoh “Pak Thamrin” dalam pilkades. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Mas Likin, Yudho kalah ya?”
“Iya...,” sahut laki-laki itu tampak kurang senang dengan pertanyaan istrinya.
“Mas, sampeyan tidak terlibat kan?” tanya si istri lagi.
(“Temui Aku di Surga”: 216)
“Aku yakin sampeyan tahu sesuatu, yang busuk, licik, tentang pemilihan itu... Aku ingin sampeyan jujur, jadi saksi, dan kita tak akan dilaknat Allah karena sudah menipu banyak orang... Apa Mas Solikin ndak takut? Aku sayang sama sampeyang, aki ingin kita samasama masuk surga nanti, bukan neraka. Aku takut Mas ...!”
(Temui Aku di Surga: 225)
Pada dua kutipan di atas menjelaskan rasa penasaran Yayuk akan kalahnya tokoh “Yudho” dalam pemilihan kepala desa dan hal tersebut terjawab, ketika suaminya mengakui kesalahannya.
Dilihatnya Solikin masih larut dalam sujud dan tangisnya. Tiba-tiba ia bangkit dari sujud. Ditatapnya mata Yayuk penuh makna. “Kita ke kantor polisi besok, kita ajak Yudho.”
(Temui Aku di Surga: 239)
d)             Belahan Keempat Yaitu Bu Marisah dan Zaki.
Tokoh “Bu Marisah” dalam novel ini digambarkan sebagai Ibu dari tokoh “Hesti”, selain itu dia juga rekan kerja Bu Rohmadi. Sosoknya penuh perhatian kepada anaknya yang juga menjadi penghafal Al-Qur’an itu. Hal tersebut tercermin pada kutipan berikut:
     “Yah, Ibu malah gitu. Justru harusnya senang anak gadisnya pengin belajar masak!” sahut Hesti sambil manyun.
     “Siapa tahu...”
     “Apa?!”
     Bu Marisah tak meneruskan kalimatnya. Terhenti oleh ingatanyna sendiri pada peristiwa yang telah dialami anaknya dengan Malik.   
“Ya .. kamu ndak bosen menghafal, kan?” Bu Marisah mencoba mengalihkan percakapan. Untung dapat topik yang sedikit nyambung!
(Temui Aku di Surga: 232)
Pada kutipan tersebut dijelaskan perhatian Bu Marisah pada Hesti. Di mana dulunya, Hesti pernah menyimpan rasa kepada Malik hingga membuat Hesti kurang konsentrasi dalam menghafal Al-Qur’an. Kegiatan Hesti yang ingin belajar masak membuat Bu Marisah bertanya, apakah anaknya itu sudah bosen menghafal dan ingin cepat melepas masa lajang.
Tokoh “Zaki” merupakan kakak kandung Malik. Wataknya baik dan penuh perhatian kepada orang tua. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Nanti malam aku akan berangkat ke Surabaya bersama anak an istriku. Aku harus masuk kerja, istriku juga harus kuliah. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Bapak dan Ibu, dengan keadaan yang sudah berbeda seperti ini. Tapi, bagaimana lagi? Pekerjaanku juga tak mungkin kutinggalkan begitu saja. Justru saat ini aku harus mempersiapkan jatah kiriman lebih untuk orang tua, karena kelihatannya Ibu belum siap untuk ke pasar dalam jangka waktu lama. Kamu paham kami?”
(Temui Aku di Surga: 135)
Kutipan di atas merupakan dialog antar tokoh Zaki dan Yudho. Berdasar kutipan tersebut menunjukan sifat Zaki yang peka terhadap keadaan orang tua yang mungkin akan lama memulai pekerjaan mengingat Malik yang baru wafat. Hal tersebut yang membuat Zaki memiliki tanggung jawab mengirim jatah kiriman lebih banyak kepada kedua orang tuanya.

3.1.3 Plot dan Pemplotan
            Nurgiantoro (2000: 141) mengemukakan mengenai penahapan plot menjadi dua macam yakni: (a) tahapan plot: awal-tengah-akhir, (b) tahapan plot rincian lain.
            Pada pembahasan makalah ini dipilih tahapan plot rincian lain. Hal ini dikarenakan tahapan plot tersebut lebih rinci dibanding tahapan plot: awal-tengah-akhir. Rincian yang dimaksud yaitu membedakan tahapan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan itu adalah sebagai berikut:
1.      Tahap Penyituasian
Tahap ini merupakan tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
Penyituasian dalam novel ini diawali dengan penggambaran tokoh “Malik” yang baru tiba di tempat geng-nya. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Malik menghentikan sepeda motor tepat di depan markas geng Topanx. Geng yang telah diikutinya sekitar dua tahun lalu itu adalah perkumpulan anak muda yang punya nama di Jepara. Malik melaju ke sana tanpa helm, SIM, dan STNK. Nekat! Gara-gara ia emosi karena tak juga dibelikan sepeda motor Kawasaki Ninja.
(Temui Aku di Surga: 1)
Penyituasain Malik yang baru tiba di tempat geng-nya itu berlanjut hingga membuat Malik nekat melakukan tindakan tawuran antar geng. Akibatnya, ia pun terkena tusukan celurit dan dibawa ke rumah sakit.
Ketika sadar dari pingsannya, barulah muncul tokoh-tokoh tambahan dalam novel ini. Seperti pada kutipan berikut:
“Ini di mana, Mas?” tanya Malik.
“Ya rumah sakit!” sahut Zaki.
“Ya iya, rumah sakit apa?”
“Oh ... Rumah Sakit RA. Kartini, Senenan...”
“Kupikir aku langsung ke surga, Mas. Eh ... nggak jadi.”
“Becanda saja kamu, bisa saja nih anak,” kata Zaki gemas. Ia mengacak rambut adiknya dengan lembut. “Nanti, kalau sembuh... kita cari sepeda motor betulan, ya?”
“Jangan becanda, Mas...!”
“Bener... Bapak yang bilang.”
“Ndak Mas... aku ndak nuntut apa-apa lagi. Masih hidup sudah syukur... Oh ya Bapak sama Ibu?”
“Ibu pingsan, masih di rumah. Nanti kalau Ibu udah baikan, pasti mereka ke sini. Kalau ke sini sekarang, takut Ibu malah kenapa-kenapa?”
(“Temui Aku di Surga”: 5-6)
Pada kutipan tersebut terjadi pengembaraan akan tokoh-tokoh seperti Zaki, Ibu, dan Bapak.
Sementara itu, penggambaran atau penyituasian tokoh “Yudho” berada di bab selanjutnya. Yakni tergambar pada kutipan berikut:
Desa itu sebagian permukaan tanahnya masih terselimuti oleh permadani hijau tumbuhan padi yang bersanding dengan gemericik aliran air sungai iragasi. Tiap paginya masih disemarakkan oleh koloni-kolongi burung-burung kecil yang terbang sera hinggap silih berganti. Lokasi desa itu jauh dari keramaian kota, serta masih sering kali dituju oleh jiwa-jiwa perindu sejuknya embun dan udara bersih di pagi hari. Nama desa itu Randuasri. Terletak di wilayah Kecamatan Kalinyamatan, Kabupaten Jepara.
Di antara rumah-rumah yang berjajar berselang-seling dengan pepohonan pisang itu berdiri sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh pasangan suami istri, Pak Zaenuri dan Bu Zaenuri, yang jatuh bangun membesarkan anak-anaknya.
Salah satu anak mereka bernama Yudho Marzuki, yaitu anak yang ketiga.
(Temui Aku di Surga: 11-12)
Pada penggambaran selanjutnya, terdapat pengenalan tokoh yang nantinya akan memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
“Assalamualaikum!” terdengat suara salam dari halaman rumah bersamaan dengan datangnya seseorang. Seorang tetangga. Ia bernama Solikin. Perawakannya lebih pendek dan lebar daripada tubuh Yudho, berkulit sawo matang dengan wajah mirip Rano Karno. Solikin berumur lebih tua dari Yudho, beda sekitar delapan tahun. Ia sudah punya istri dan seorang anak. Rumahnya tak jauh dari rumah Yudho, yaitu sembilan rumah ke kiri dari rumahnya.
        (“Temui Aku di Surga”: 15)
Pada kutipan tersebut menjelaskan penggambaran tubuh Solikin. Di mana, yang nantinya tokoh bernama Solikin itu akan memunculkan konflik dalam kehidupan Yudho dan Malik.
2.      Tahap Pemunculah Konflik
Pada tahap ini masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa mulai dimunculkan, jadi tahap ini merupakan tahap awalnya munculnya konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik itu pada tahap berikutnya.
Pada novel ini pemunculan konflik dimulai dengan Yudho yang berhenti bekerja pada Solikin, lalu hubungan Malik dan Hesti yang tak sesuai dengan harapan Malik, dan Malik yang mencalonkan diri menjadi kepala desa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Sementara itu, di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari rumah Yudho, seseorang merasa kecewa. Ia tak menduga Yudho akan keluar kerja! Apalagi dengan jujur mengatakan bahwa ia akan membuka usaha sendiri bersama seorang teman. Ia merasa kebaikannya selama ini terkhianati!
“Kurang ajar anak kemarin sore itu!” sungut lelaki yang mirip Rano Karno itu kesal.
(Temui Aku di Surga: 53)
Pada kutipan tersebut digambarkan tokoh Yudho yang berhenti kerja kepada tokoh “Solikin” hal ini membuat tokoh “Solikin tak terima, sehingga mencari tahu dengan siapa tokoh “Yudho” membuka usaha. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Seperti orang kurang kerjaan, ia berusaha memata-matai gerak-gerik Yudho. Pagi itu ia sengaja menunggu Yudho bersama sepeda motornya lewat depan rumah. Setelah berlalu beberapa puluh meter, ia langsung menghidupkan sepeda motornya dan mengikuti sarah laju sepeda Yudho. Hingga pada saatnya sepeda motor Yudho berbelok ke sebuah rumah, ia pun mangut-mangut.
“Mungkin dengan anaknya Pak Rohmadi...” Ia tersenyum sinis, lalu tetap melanjutkan sepeda motornya dengan tarikan lebih kencang.
(Temui Aku di Surga: 88)
Konflik lain muncul dalam kehidupan Malik sebagai tokoh utama yakni ketika datang sebuah surat berisi jika lebih baik Malik dan Hesti tak memiliki ikatan dalam bentuk apapun. Selain itu, ada isi hati Hesti yang membutuhkan konsentrasi penuh untuk menghafal Al-Qur’an dan hal tersebut tidak akan bisa jika hubungan yang tidak halal meski hanya sebatas kirim-mengirim surat itu tetap terjadi.
Situasi konflik batin Malik ini tergambar pada kutipan berikut:
Malik tak tahu harus bagaiaman bersikap saat ini. Ada rasa menyakitkan yang serasa menusuk ulu hatinya, menyesakkan dada. Ada rasa tak percaya, tak mengerti. Napasnya turun naik menahan gejolak hati yang ia rasakan. Ada seseuratu yang ia rasa akan hilang, atau ... memang telah hilang!
(Temui Aku di Surga: 108)
Pemuncul konflik Malik yang ingin menjadi petinggi pun muncul seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku ingin mencalonkan diri jadi kepala desa...”
“Jadi petinggi?” Yudho mengernyitkan dahinya...
(Temui Aku di Surga: 76)
“Terus, sejauh mana kesiapann Malik, Pak? Dia masa bisa serius tho!”
“Ssst! Diam-diam aku sama teman-temanku sudah ngomongin hal ini lho!”
“Aku tanya tentang Malik, dia mau apa tidak?” Bu Rohmadi mengulang pertanyaannya.
“Dia mau. Insya Allah dia mau. Sudah ngomong sama aku. Dan kata Yudho sih ... sekrang sedang dalam rangka meluruskan niat!” jawab Pak Rohmadi mantap. Bu Rohmadi makin ternganga.
“Oalah...!”
Sementara itu sepasang teling ikut mendengarkan pembicaraan suami istri yang sudah setengah tua itu. Sepasang telinga milik seseorang yang sosoknya tersembunyi dari pandangan mata manusia lain. Kemudian bibir pemilik sepasang telinga itu tersenyum sinis seraya meninggalkan persembunyiannya, cepat-cepat!
(Temui Aku di Surga: 128)
Pada dua kutipan tersebut dijelaskan keinginan Malik yang ingin menjadi petinggi. Di mana kutipan pertama adalah dialog Malik dan Yudho dan kutipan kedua dialog antara orang tua Malik. Berdasar dialog kedualah muncul konflik bahwasanya ada seseorang yang mencuri dengar pembicaraan tersebut dan berdampak pada peningkatan konflik.



3.      Tahap Peningkatan Konflik
Pada tahap ini konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar instensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencengkam dan menegangkan. Konflik-konflik yang terjadi, internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antar kepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari.
Konflik yang sudah terjadi semakin meningkat. Pada konflik Malik yang ingin menjadi petinggi terjawab dengan ia yang ditabrak seseorang. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
Bus pun berhenti. Setelah membayar ongkos, Malik turun dengan tergesa karena tak sabat ingin sampai di rumah. Sesaat kemudian ia sibuk dengan ponselnya, menelpon Bapak minta dijemput. Jalan di seberang tempatnya berdiri sekarang adalah jalan raya menuju Desa Randuasri. Tak ada angkudes, dan untuk naik becak pun dirasa terlalu lama. Ia memutuskan menyebarng langsung di pertigaan itu.
Tiba-tiba ...
DESS!
Sebuah benturan keras santara sepeda motor yang dilarikan begtu kencang oleh pengemudinya, dengan tubuh seseorang yang sedang menyeberang di pertigaan itu. Tubuh Malik!
(“Temui Aku di Surga”: 130)
“Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, Innalillahi wainnaalillahi raajiuun, telah meninggal dunia Malik Julian Santosa...”
Ia tak perlu mendengarkan kelanjutan pengumuman dengan pengeras suara itu lagi. Telah jelas kini apa yang sedang terjadi. Lemas rasanya seluruh raga, jiwa, dan hatinya.
“Malik...,” gumamnya tertahan. “Innalillahi wainnaalillahi raajiuun ..”
(Temui Aku di Surga: 132)
Pada dua kutipan tersebut menjelaskan kematian “Malik” yang membuat konflik dalam novel ini semakin meningkat. Konflik lain muncul menimpa tokoh “Hesti” yang tak percaya dengan kabar kematian “Malik”, ia juga merasa bersalah atas keputusan yang telah diambilnya. Seperti tergambar dari kutipan berikut:
“Ibu ... Mas Malik ..., Mas Malik ...,” Hesti tak meneruskan kata-katanya. Ia hanya ingin tenggelam dalam dekapan wanita yang selalu mengasihinya itu dalam tangis yang sedari tadi ia tahan.
“Sabar ... belum jodohmu...,” ucap Bu Marisah.
Kalimat itu nyaris menyindir keputusannya beberapa waktu lalu. Entahlah, baginya keputusan untuk tak lagi memberi harap pada Malik saat itu memang membuatnya damai. Tapi, ia tak mengerti, mengapa justru jawaban tentang jodoh tidaknya mereka harus ia terima secepat itu? Dengan kematian Malik? Allah mempunyai rahasia yang benar-benar takp pernah ia perkiraan sebelumnya.
(Temui Aku di Surga: 143-144)
“Oh ya Yud, ada berita tentang pencalonan petinggi, petinggi...!” kata Pak Rohmadi.
“Oh ya Pak? Kenapa Pak?” sahut Yudho sambil mengecilkan suara televisi dengan remote.
        “Hmmmh...,” tiba-tiba Yudho menarik napas panjang.
                        “Kenapa?”
                        “Nggak Pak, saya jadi ingat...”
                        “Malik kan?” tebak Pak Rohmadi.
                        “Gimana kalau kamu yang mencalonkan diri, Yud?”
Sebaris kata yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak. Remote control yang digenggamnya sampai terlepas! Seakan ia tak percaya mendengarkan kalimat itu.
            (Temui Aku di Surga: 148)
            Pada kutipan di atas dijelaskan keinginan Pak Rohmadi agar Yudho menjadi calon petinggi, sekaligus melanjutkan cita-cita Malik.
4.      Tahap Klimaks
Pada tahap ini konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang terjadi, yang dilakui, dan atau ditimpakkan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh-tokoh utama yang beperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama.
Tahap klimaks pada novel “Temui Aku di Surga” ini muncul ketika Yudho menerima tawaran Pak Rohmadi untuk mendaftarkan diri menjadi petinggi. Berbagai peristiwa aneh pun terjadi dalam pencalonan Yudho, mulai dari ancaman dari pihak Pak Thamrin sampai kegagalan dalam pemilihan. Seperti diungkap pada kutipan berikut:
“Begini Dik ya, ini pembicaraan antara kita berdua saja. Bagaimanapun Dik, kelompok abangan memang ada, dan Dik Yudho tahu sendiri beberapa kejadian yang menimpa sebagian warga. Katakanlah mereka bernasib kurang mujur saat itu. Dan ... kemungkinan itu terjadi juga ndak bisa kita pungkiri. Bergantung..!” Pak Thamrin tak meneruskan kalimatnya. Ia berhenti sambil mengangkat kedua pundaknya.
(Temui Aku di Surga: 188)
Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang ancaman Pak Thamrin kepada Yudho jika memang kelompok abangan yang menakuti calon pemilih memang ada,  bahkan ancaman itu juga berlaku pada keluarga Yudho. Seperti dikutip pada kutipan berikut:
“Darah Yudho berdesir, hawa merinding menjelajari seluruh permukaan kulitnya membayangkan satu demi satu anggota keluarganya. Bapak, Emak, kakak-kakak serta adik-adiknya. Walaupun mungkin tidak semua, atau bahkan hanya salah satu, namun ia tak rela jika di antara mereka menjadi korban dalam pencalonan ini.”
(Temui Aku di Surga: 189)
Puncak klimaks dalam novel ini tergambar tatkala Yudho kalah dalam pemilihan kepala desa. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
Astaghfirulahaladziem ...,” Yudho berkaca-kaca. Pak Rohmadi langsung bergegas menyongsong tubuh Yudho di antara riuh suara dan tubuh-tubuh manusia yang berjejal ingin memberi salam pada Pak Thamrin.
(Temui Aku di Surga: 210)
5.      Tahap Penyelesaian
Pada tahap ini konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-subkonflik, atau konflik-konflik tambahan, jika ada, juga diberi jalan keluar, cerita diakhiri.
Kekalahan yang menimpa Yudho di novel ini diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Seperti tergambar pada kutipan berikut:
“Anu ... Pak. Saya ingin bersaksi... bahwa... bahwa pemilihan petnggi di desa Randuasri sebulan lalu itu... tidak fair, Pak ...”
“Oh ya? Maksud Pak ... siapa?”
“Solikin, Pak...”
“Maksud Pak Solikin?”
“Iya, sebenarnya itu bukan hasil pemilihan yang asli. Eh, karena ... Pak Thamrin sudah memalsukan suara.”
(Temui Aku di Surga: 239)
Berdasar kutipan tersebut diketahui jika pihak Pak Thamrin melakukan tindakan curang dalam pemilihan kepala desa. Apalagi tokoh “Solikin” mengakui hal tersebut bersama Yudho di depan polisi. Hal tersebut kemudian diperjelas pada pekerjaan polisi yang tergambar pada kutipan berikut:
Perkara kejahatan yang telah direncakan dan dilakukan oleh Pak Thamrin diusut oleh pihak kepolisian. Hari itu juga, Paijo dan Patkur diciduk, dan diinterogasi di kepolisian. Tentu saja mereka tak kuasa mengelak tuduhan! Karena ada Solikin yang telah lebih dulu memberi kesaksian.
Dari penyedikan yang dilakukan dengan saksama dan serius akhirnya terkuak bahwa Pak Thamrin telah menyuruh seseorang, dalam hal ini Solikin, untuk memberikan sejumlah uang kepada dua orang oknum panitia pemilihan untuk mengupayakan agar hasil penghitungan suara dimenangkan olehnya. Paijo dan Patkur mengakui hal tersebut.
(Temui Aku di Surga: 251)
Pada kutipan tersebutlah, akhirnya terjawab teka-teki kekalahan Yudho, dan karena mengingat kecurangan yang dilakukan pihak Pak Thamrin. Akhirnya, Yudho diangkat menjadi petinggi. Hal tersebut digambarkan pada kutipan berikut:
Yudho bersiap-siap berangkat ke balai desa. Seragam setelah warna cokelat kekuningan ia kenakan bersama peci hitam di kepala. Tak lupa sepatu hitam klimis ia kenakan bersama kaus kakinya. Ia telah menghabiskan sarapan tahu pecel yang disediakan khusus oleh Emak.
(“Temui Aku di Surga”: 265)
Kutipan di atas menjelaskan aktivitas Yudho sebelum berangkat ke balai desa sebagai petinggi. Kutipan tersebut juga menjelaskan bahwasanya kelicikan atau kebusukan yang dilakukan Pak Thamrin tak akan menang melawan kebaikan.
Selain, permasalahan kekalahan Yudho dalam pemilihan kepala desa. Pada tahap ini juga terkuak teka-teki meninggalnya Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
“Ketika Bus Indonesia itu datang. Aku memutuskan urung menabrak Malik. Aku juga tak mau nanti dikejar-kejar polisi. Tapi...”
“Tapi apa?!!” sahut Yudho.
“Sebuah sepeda motor keluar dari belakang tokoh di seberang tempat aku sembunyi. Sepeda itu melaju tak begitu kencang ke arah yang berlawanan dengan Bus Indonesia. Lalu bus itu perdi dan kulihat Malik sudah berada di seberang. Aku makin mantap tak akan melakukan kejahatan pada Malik. Tapi begitu Malik menyeberang, sepada motor yang baru keluar tadi berbalik arah, melaju sangat kencang dan ... menabrak tubuh Malik. Aku ... akan melihat semuanya..”
“Bagaimana Anda bisa yakin itu sepada motor yang baru keluar dari belakang tokoh tadi?”
“Ya, saya yakin sekali. Karena bentuknya agak aneh, dan terutama ada tulisan ini...” sejenak kalimat Solikin terhenti. Ia memejamkan mata seakan ingin mengingat-ingat sesuatu.
“Junkpret!”
“Bisa diulang?” sahut Pak Polisi.
“J ... U ... N ... K ... P ... R ... E ..T,” Solikinn menyebutkan susunan huruf yang membentuk kata yang ia lihat.
(“Temui Aku di Surga”: 243-244)
Pada kutipan tersebut, tokoh “Solikin” mengaku jika ada niatan untuk menabrak tokoh “Malik” namun tidak jadi dilakukan karena tokoh “Solikin” takut berurusan dengan polisi. Kemudian, ada sepeda motor yang memiliki tulisan JUNKPRET menabrak tokoh “Malik” hingga menyebabkannya meninggal.
Mengetahui hal tersebut, Yudho segera mencari tahu arti dari kata Junkpret itu. Ia pun menemukan tulisan tersebut dalam buku agenda Malik.
“Mungkin ini jawabnya, Pak ... Masa lalu Malik tiba-tiba  hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepada motor yang nabrak Malik ada tulisan Junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu..,” kata Yudho akhirnya.
“Oalah..., yang katamu... dulunya Malik ikut geng-geng itu toh?”
“Iya ... dulu sebelum ia tobat dan masuk pesanteren.”
“Jadi ... yang nabrak ... anak geng lain? Di situ ... di buku Malik disebut junkpret adalah nama geng musuh bebuyutan?”
“Sementara yang bisa saya simpulakn itu, Pak. Benar-benar tidak terduga. Saya tak sempat berpikir ke arah situ..”
“Kamu akan beritahukan ke Pak Rohmadi?”
Yudho tak segera menjawab. Ia menarik napas panjang. Kembali ia bertanya, perlukah kiranya kasus ini diungkap kembali di saat keluarga Pak Rohmadi sudah tak mengalami trauma lagi? Bermanfaatkah?
(“Temui Aku di Surga”: 258)
Pada kutipan tersebut menjelaskan tentang misteri kematian Malik, sekalipun begitu Yudho tak mengungkap permasalahan itu kepada orang lain. Cukup dirinya dan bapaknya saja yang mengetahui hal tersebut. Mengingat dilihat dari segi kemanfaatan menguak misteri ini kecil. Apalagi, keluarga Pak Rohmadi sudah menjalani kehidupan lebih tenang dan damai. Selain itu, mengungkap misteri itu akan menambah masalah baru. Semisal permasalahan antargeng yang mungkin timbul kembali.

3.1.4 Tema
            Nurgiantoro membagi tema menjadi beberapa hal, namun dalam pembahasan makalah ini akan mengakaji tema berdasarkan tema utama dan tema tambahan. Sebelum menemukan tema utama dalam novel ini akan dipaparkan beberapa tema yang ditemukan.
1.      Kehidupan Geng Motor
Malik menuju tempat tawuran. Dari balik tembok sebuah bangunan di sekitar lapangan, mata Malik menyaksikan mereka yang sedang beradu otot. Bahkan ada yang membawa senjata tajam! Mendadak Malik menadi ngeri sendiri
(Temui Aku di Surga: 2)
Pada kutipan di atas menjelaskan tokoh “Malik” yang mengikuti geng motor di Jepara sedang menuju tempat tawuran. Tawuran sendiri begitu akrab dikaitkan dengan geng. Bahkan, hal tersebut terjadi dalam kehidupan nyata.
2.      Kisah Cinta
“Jika disuruh memilih, aku ingin memilih Mas Malik, juga hafalanku. Tapi memilih keduanya tak semudah itu bagiku. Aku bukan wanita luar biasa yang bisa menjalani hubungan asrama sekaligus lancar dalam menghafal ayat-ayatsuci. Inikah kekhawatiran para pembimbing pada anak didiknya jika mereka menjalin hubungan hati pada saat yang belum tepat? Dan itu terbukti padaku ...”
(Temui Aku di Surga: 99)
Pada kutipan tersebut menjelaskan tentang kisah cinta antara tokoh Malik dan Hesti yang belum saatnya. Kisah percintaan antara kedua remaja itu berbeda dengan remaja pada umumnya. Hesti sebagai penghafal ayat-ayat suci menerima rasa galau tiada tara akan sang Maha Cinta yang mengawasinya hingga memberi rasa cinta pada orang yang belum tiba saatnya.
3.      Sistem Politik di Desa Randuasri
 “Ya... begini ini kalau sistem sudah terlanjur ndak baik tapi jalan terus. Mau mencalonkan diri saja harus bingung cari modal. Ndak hanya calon dewan saja yang butuh uang banyak, calon petinggi di desa juga ndak kalah berat di ongkos...”
“Iya Pak ya... gimana kalau kita nekat maju tanpa ongkos, Pak, jadi kalau kalah pun ... ndak akan sia-sia uangnya...” Tiba-tiba Yudho melontarkan ide itu.
Ia juga heran, kenapa harus bingung masalah modal yang berpuluh-puluh juta? Sebenarnya untuk apa? Yang resmi kan hanya uang pendaftaran saja kan? Bahkan kabar terbaru biaya pendaftaran digratiskan.
(Temui Aku di Surga: 164)
Kutipan di atas menjelaskan tentang pemilihan kepala desa yang identik dengan uang atau yang dinamakan money politic. Padahal untuk melakukan pendaftaran sebenarnya itu digratiskan. Hanya saja, untuk mendapatkan hati calon pemilih cara money politic digunakan.
4.      Sistem Kepercayaan Atas Kekuatan Magis atau Dukun
Yudho tak ingin berprasangka buruk. Tapi sebagian besar para sabetan melapor, ada indikasi tak baik dari pihak lawan. Mereka bermain curang!
“Mereka ke dukun.” Kata seorang sabetan bernama Salim yang kebetulan berpapasan saat ia berkeliling desa. (Tersesat di Surga: 176)
 “Para pendukung Pak Petinggi itu ... dari dulu memang begitu tho, Pak, iya kan?  Makanya jadi saudaranya dlu, ynag pemilihan sebelum Pak petinggi juga pakai cara gitu kok .. Kita harus punya strategi jitu ...,” Pak Salim menyahut berapi-api. (“Temui Aku di Surga”: 178)
Thamrin merasa mendapat lawan yang sedikit bandel! Tapi ia yakin dengan jas Ontokusomo dan keris saktinya. (“Temui Aku di Surga”: 194)

Pada kutipan di atas menjelaskan jika ilmu perdukunan di Indonesia jelas-jelas ada, begitu banyak orang yang percaya akan kekuatan dukun dibanding kekuatan dari Tuhan. Padahal, jika terlalu mempercayai dukun membuat seseorang itu musyrik. Namun, bagaimana pun kepercayaan akan kekuatan dukun tak bisa dihilangkan begitu saja. Sekalipun zaman telah banyak berubah.
Pada novel “Temui Aku di Surga”, kepercayaan akan kekuatan dukun begitu tergambar jelas. Seperti pada tokoh “Pak Thamrin” yang menggunakan jas ontokusumo dan keris untuk memudahkan ia menduduki kursi sebagai petinggi.



3.2 Beberapa Konflik Batin Tokoh Utama
3.2.1 Konflik Batin yang Dipicu Keinginan Berhenti Bekerja Pada Solikin
Mencari dan mendapatkan pekerjaan pada dewasa ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi, jika skill atau keterampilan tak dimiliki seseorang dan pendidikan pas-pasan. Hal tersebut terjadi pada tokoh “Yudho” di mana pemuda pintar yang tak bisa melanjutkan kuliah lantaran biaya ini melakukan pekerjaan demi pekerjaan untuk menyambung kehidupannya, sekaligus menunjukkan bakti sebagai balas budi kepada orang tuanya.
Walaupun begitu, berbagai pekerjaan telah dilakoni Yudho. Namun, ia tak menemukan pekerjaan yang menjajikan bagi masa depan. Mulai dari menjadi kerent, buruh tani, dan pengrajin emas. Ketika Yudho enak bekerja di toko emas. Nasib buntung menghampirinya, tokoh emas tersebut tutup lantaran sepi pesanan.
Setelah cukup banyak pengalaman di bidang pekerjaan, tiba-tiba tawaran bekerja datang dari tokoh “Solikin” yang menekuni bisnis perkacaan. Yudho pun terus giat belajar dan bekerja melayani pesanan kaca. Selain kaca untuk bufet atau lemari, kios Solikin juga melayani pemasangan kaca untuk jendela rumah, kaca untuk mebel kayu, kaca untuk etalase, dan segala yang memerlukan kaca. Biasanya, pesanan terbanyak itu berupa pemasangan kaca pada mebel kayu, mengingat daerah Jepara memang identik dengan kerajian kayu ukirnya.
Pekerjaan bisnis perkacaan ini dilakoni Yudho hampir dua tahun. Ia pun menemukan titik jenuh, apalagi ketika menerima gaji ke-25 ia mengalami kenaikan gaji. Padahal, pesanan kaca semakin bertambah. Di tengah permasalahan tersebut, Yudho menceritakan hal ini pada tokoh “Malik”. Peristiwa keresahan tokoh “Yudho” bisa digambarkan pada kutipan berikut:
“Aku ... ingin perubahan suasana, sudah agak bosan. Sudah tiga mau tiga tahun! Begini-begini ... saja. Aku ingin sesuatu yang baru.”
“Maksudmu? Apakah gajimu kurang?
“Tidak, e... ya selama ini belum ada kenaikan sih. Tapi yang pasti, aku ndak ingin selamanya jadi pesuruh.”
“Oh ... jadi, selama tiga tahun pekerjaan itu-itu saja ya, disuruh-suruh saja.”
“Iya... tentang jenis pekerjaan mungkin ndak masalah, aku menikmati saja sih... Hanya saja aku merasa jenuh, tiga tahun dengan pola kerja yang seperti itu-itu saja. yah... ingin sedikit kemajuanlah!”
“Oh...”
Mereka terdiam. Yudho merenungi kembali kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Sedangkan Malik mulai asyik dengan pikirannya sendiri yang membayangkan sebuah kegiatan baru, bisnis. Tetapi ia belum tahu bisnis apa yang akan dijalaninya. Selama ini ia memang belum pernah bekerja cari uang sendiri. Hanya saja ayahnya, Pak Rohmadi sudah sanggup menyediakan modal seandainya ia siap dengan ide usaha.
Tiba-tiba Malik menemukan ide cemerlang. Ia punya modal, Yudho punya keahlian. Bila mereka bersimbiosis, bekerja sama, bukankah itu suatu hal yang baik? Pikirnya.
(Temui Aku di Surga: 51-52)
Pada kutipan tersebut dijelaskan cara penyelesaian atas konflik batin Yudho yang ingin berhenti bekerja yakni dengan penawaran dari Malik untuk membuat usaha baru. Di mana Malik menjadi pemberi modal sedangkan Yudho yang memiliki keahlian.

3.2.2 Konflik Batin yang Dipicu Kematian Malik
            Novel “Temui Aku di Surga” selain menceritakan kisah politik di Desa Randuasri juga memiliki cerita tentang persahabatan erat antara tokoh “Yudho” dan “Malik”. Dikisahkan persahabatan mereka tulus, sehati, saling membutuhkan satu sama lain. Mereka merasa menemukan tempat berbagi yang pas. Selama menjalin persahabatan dengan tokoh “Malik”, tokoh “Yudho” lebih banyak menyimak kisah hidup tokoh “Malik”. Seperti masa kelam ketika bergabung dengan geng Topanx, rasa cinta akan tokoh “Hesti”, keinginan mencalonkan diri sebagai petinggi, serta keresahaan yang dialami tokoh “Malik” tatkala hubungannya dengan tokoh “Hesti” harus berakhir mengingat dalam agama hubungan mereka belum halal.
            Di tengah itu, semua tiba-tiba tokoh “Malik” pergi ke Surabaya untuk menemui kakaknya yakni tokoh “Zaki”. Selain menenangkan diri, tokoh “Malik” juga ingin memantapkan niat ketika ia nantinya mencalonkan diri. Sayangnya, sekembalinya dari Surabaya. Tokoh “Malik” ditabrak oleh seseorang yang membuatnya merenggang nyawa. Tokoh “Yudho” mengalami rasa sedih yang luar biasa. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
     Tiba-tiba ia seperti orang yang kehilangan setengah kesadaran. Antara percaya dan tidak, antara mimpi dan kenyataan. Bingung harus bagaimana. Menangis pun ia tak mampu.
     “Aku pengin ketemu Mas Zaki secepatnya, takut ndak sempet..!” kata-kata itu tergiang-ngiang di telinga Yudho.
     “Jadi inikah jawaban semua keanehanmu, Lik?”
     Untuk sejenak ia terduduk di teras rumah Pak Rohmadi. Napasnya naik turun tak beraturan. Setengah kesadarannya yang tadi seakan-akan hilang kini kembali lagi perlahan-lahan.
     Yudhi mencoba menghirup napas panjang.
     “Ya ... Allah...,” desahnya.
     “Innalillahi wainnaailaihi raajiuun,” bisiknya lagi sambil menguatkan hati.
     Lalu, setelah ni tak akan ada dia lagi? Malik benar-benar telah pergi? Siapa yang menabraknya? Seribu tanya muncul di hati Yudho, sama dengan seribu kesedihan yang rasakan. Ia masih benar-benar tak percaya!
     Kini, air matanya mulai merebak di bingakai mata, seakan ingin tumpah ke bumi. Ingin rasanya ia mengangis meraung. Ingin ia berteriak, “Tidaaaak!!”
     Namun ia tak melakukannya demi melihat pemandangan di dalam ruan tamu. Bu Rohmadi pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu lain.
     (Temui Aku di Surga: 132-133)
            Pada kutipan tersebut dijelaskan konflik batin “Yudho” yang tak percaya atas kematian “Malik”, namun di tengah ketidakpercayaan dan ingin berteriak kencang. Ia melihat Bu Rohmadi pingsan dikelilingi beberapa ibu-ibu lain membuatnya menguatkan diri sendiri atas kematian sahabatnya itu.

3.2.3 Konflik Batin yang Dipicu Pencalonan Petinggi
            Usai kematian tokoh “Malik” menandakan bahwa cita-cita tokoh “Malik” tak bisa menjadi petinggi. Padahal, pemilihan petinggi tinggal satu tahun lagi. Tokoh “Yudho” mendapat tawaran untuk menjadi calon petinggi oleh Pak Rohmadi dan teman-temannya.
            Awalnya, Yudho menolak karena merasa belum punya pengalaman. Apalagi, usianya masih tergolong sangat muda. Ia juga merasa, bahwa yang pantas menjadi calon petinggi adalah Pak Rohmadi atau bapak-bapak lain yang termasuk ke dalam tokoh masyarakat di Desa Randuasri.
            Namun, penguatan atas pencalonan Yudho terus berdatangan. Akhirnya, Yudho pun menerima tawaran menjadi petinggi. Bahkan, tak tanggung-tanggung Pak Rohmadi dan bapak-bapak yang mendukungnya itu menyokong dana untuk membantu pencalonan Yudho. Selain itu, bapak Yudho sendiri menjual sawah untuk dana cadangan.
            Konflik demi konflik berdatangan pada diri Yudho, mulai dari laporan seorang sabetan bahwasanya pihak lawan menggunakan tindakan curang, seperti menggunakan jasa dukun, bahkan menyuruh kelompok abangan untuk memaksa warga agar memilih Pak Thamrin sebagai pihak lawan politik Yudho.
        Yudho tak tinggal diam menghadapi permasalahan tersebut, ia pun mendatangi tokoh “Thamrin” untuk membuat kesepakatan.
        “Saya tidak ingin ada yang menagtur gerak langkah saya,” lanjut Pak Thamrin.
        Tiba-tiba ia teringat tentang keseakatan uang amplop. “Apakah ini tentang amplop?” Yudho mencoba mencari kejelasan.
        “Benar. Jika Dik Yudho masih ingin melangkah juga di jalan yang ingin saya lewati, maka jika tak ingin mendengar adanya kelompok abangan beraksi, maka tak perlu ada kesepakatan penyamaan uang amplop,” kata-kata Pak Thamrin mengarah pada satu titik terang.
        (Temui Aku di Surga: 191)
            Pada kutipan tersebut dijelaskan tentang tokoh “Pak Thamrin” yang membuat kesepakatan agar tidak ada penyaman uang amplop. Uang amplop yang dimaksud adalah uang untuk para calon pemilih, dalam novel ini uang amplop dijadikan ukuran pelit atau tidaknya seorang calon petinggi. Selain itu, sebagai upah kepada warga yang telah memilihnya, dan biasanya setiap calon yang mengikuti pemilihan petinggi membuat kesepakatan uang amplop yang sama.

3.2.4 Konflik Batin yang Dipicu Kekalahan dalam Pemilihan Petinggi
            Setelah mengikuti proses pemilihan petinggi, tokoh “Yudho” mengalami kekalahan. Pasalnya, sewaktu penghitungan suara Pak Thamrin memeroleh suara 3021, sedangkan Yudho memiliki suara berjumlah 2450. Hal ini membuat penghitungan suara dihentikan, sebab pemilih berjumlah 5504. Jika, perhitungan suara tetap dilakukan akan membuat hasil semakin tinggi suara di pihak Pak Thamrin.
            Akibat kekalahan tersebut, Yudho disalahkan oleh tokoh sabetan “Warno” karena tidak mau menerima usul ke orang pintar. Selain itu, tokoh “Yudho” merasa mengecewakan pihak pendukung apalagi Pak Rohmadi dan teman-temannya itu mendukung “Yudho” dengan uang jutaan rupiah. Bahkan, dari pihak masyarakat yang awalnya tak mendukung “Yudho” malah menjadi bahan cibiran dan tertawa di atas kekalahan Yudho. Peristiwa tersebut digambarkan pada kutipan berikut:
     Hari-hari selanjutnya adalah pembelajaran besar bagi Yudho serta keluarganya. Tak mudah! Mereka yang semula tak mendukung, kini makin mencibir pada mereka, lalu tertawa senang atas kekalahan mereka. Sungguhpun begitu banyak juga yang justru prihatin dan memberi mereka sumbangan uang sebagai rasa welas asih.
     Tak terasa keadaan tak menentu itu telah berlangsung selama sebulan lebih. Lama-lama Yudho sekeluarga, serta Bapak dan Ibu Zaenuri mulai terbiasa dengan kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa sebuah kekalahan adalah hal biasa, dan siapa saja bisa mengalaminya, termasuk mereka.
     (Temui Aku di Surga: 220-221)
            Pada kutipan tersebut dijelaskan jika tokoh “Yudho” mendapat cibiran dari orang-orang yang tak mendukungnya, namun di sisi lain ia mendapat sumbangan uang sebagai tanda kasihan. Kekalahan yang menimpa Yudho memberi pelajaran untuk menerima kenyataan. Bahwasanya di setiap kompetesi, pasti ada pihak yang kalah dan menang.

3.2.5 Konflik Batin yang Dipicu Kesaksian Solikin
            Ternyata kasus kekalahan tokoh “Yudho” dalam pemilihan petinggi adalah suatu kecurangan. Hal tersebut diakui Solikin, bahwasanya dirinya menjadi orang suruhan Pak Thamrin. Peristiwa tersebut bisa digambarkan pada kutipan berikut:
“Iya, sebenarnya itu bukan hasil pemilihan yang asli. Eh ... karena... karena Pak Thamrin sudah memalsukan suara.”
“Oya? Dari mana Anda bisa tahu hal itu? Lebih detail lagi Pak!”
“Iya Pak. Ee... saya, disuruh Pak Thamrin membayar panitia acara pemilihan, untuk ... mengupayakan agar hasil pemilihan dimenangkan beliau, gitu Pak...”
                        ....
   “Jadi, saya menyerahkan uang itu pada dua panitia pemilihan... Nah, saya sendiri kurang tahu bagaimana mereka melakukannya. Tapi mereka janji pasti Pak Thamrin yang menang.”
            “Bisa menunjukkan siapa mereka?”
   “Bisa, Pak!  Paijo dan Patkur. Mereka yang bertugas ngitung suara, juga salah satunya yang mempersiapkan kotak suara. Jadi sebelum acara, malamnya kotak-kotak itu nginep di rumah Patkur. Ya, lebih jelasnya bisa Bapak usut mereka.”
     (Temui Aku di Surga: 240-241)
            Pada kutipan diatas tokoh “Solikin” menceritakan kepada pihak berwajib jika tokoh “Pak Thamrin” melakukan kecurangan dalam pemilihan dengan cara memberi suap kepada dua panitia pemilihan yakni Paijo dan Patkur.
Selain, kesaksian tokoh “Solikin” akan kecurangan yang dilakukan oleh tokoh “Pak Thamrin”. Yudho juga memiliki konflik batin akan kematian tokoh “Malik” di mana tokoh “Solikin” juga memberi tahu jika awalnya ia disuruh tokoh “Pak Thamrin” untuk menabrak tokoh “Malik” namun tidak jadi dilakukan karena rasa takut. Namun, ternyata tokoh “Malik ditabrak oleh sebuah sepeda motor bertulis Junkpret.
            Peristiwa konflik batin tokoh “Yudho” akibat kesaksian tokoh “Solikin” itu digambarkan pada kutipan berikut:
“Mungkin ini jawabannya, Pak... Masa lalu Malik tiba-tiba hadir di saat ia telah berubah. ironisnya ... tanpa permisi masa lalu itu telah menjemputnya dari indahnya kehidupan. Sepeda motor yang nabrak Malik ada tulisan junkpret. Begitu kata Mas Solikin, saksi peristiwa naas itu...,” kata Yudho akhirnya.
     (Temui Aku di Surga: 258)
            Pada kutipan tersebut digambarkan tokoh “Yudho” yang sedang memikirkan kasus kematian tokoh “Malik” dibanding permasalahan pemalsuan suara.



3.3 Solusi yang Dilakukan Tokoh Utama untuk Mengatasi Konflik Batinnya
            Berbagai peristiwa yang selalu menimpa Yudho memunculkan berbagai konflik batin. Konflik batin terjadi karena ketidakselarasan antara keinginan dalam dirinya dengan realitas sosial. Yudho tidak mampu menghadapi realitas di luar dirinya, sehingga muncu kecemasan berupa ketegangan-ketegangan. Cara-cara Yudho untuk menghadapi dan mengatasi kecemasan-kecemasan atau meruduksi tegangan-tegangannya adalah:
3.3.1 Pengalihan (Displacement)
Ketika mengetahui rasa bosan yang menimpa tokoh “Yudho” karena telah lama bekerja di Solikin. Selain itu, juga tidak menerima kenaikan gaji selama dua tahun. Yudho akhirnya, mengutarahkan perasaanya tersebut kepada Malik. Sahabat Yudho tersebut pun mengajak Yudho bekerja sama untuk membuat usaha bersama.       
Awalnya Yudho menolak namun akhirnya ia menerima tawaran Malik. Konflik batin yang dipicu keinginan berhenti kerja di Solikin pun terselesaikan dengan adanya pengalihan. Di mana pengalihan yang dimaksud adalah pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang memungkinkan.
Peristiwa keinginan berhenti kerja di tempat Solikin adalah objek yang kemudian berganti objek bekerja sama dengan Malik. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
            “Aku tahu Yud! Ndak usah sungkan sama aku. Aku kan sahabatmu ... Hemm begini, aku sebagai pemilik modal, kamu pelaksananya. Layaknya sebuah PT, aku yang punya saham, kamu pengelolanya. Jadi, kamu punya kekuasaan penuh mengelola usaha kita nanti. Nah, karena seorang bos butuh anak buah, maka aku sebagai seorang pencari kerja melamar menjadi anak buahm. Aku menjadi pekerjamu, juga belajar keterampilan menggarap dan memasarkan kaca darimu. Gimana?” Malik menjelaskan dengan panjang lebar.
          (Temui Aku di Surga: 52)
Kutipan di atas menjelaskan keinginan bekerja sama Malik dengan Yudho dalam berbisnis perkacaan. Yudho pun menerima usulan Malik, apalagi usaha yang akan mereka kerjakan bersama merupakan pengalihan perasaan tidak senang Yudho terhadap objek (dalam hal ini bekerja pada Solikin yang membuatnya tidak menerima gaji, sekaligus Yudho yang kurang berkembang) ke objek lainnya (dalam hal ini bekerja sama dengan Malik) yang memungkinkan Yudho bisa lebih mengembangkan dirinya. Baik dari segi pendapatan ataupun pengalaman.



3.3.2 Sublimasi
Kematian yang menimpa Malik, membuat konflik batin tersendiri bagi Yudho. Apalagi Malik adalah sahabatnya yang sudah seperti saudara. Di tengah kematian tersebut, awalnya Yudho mengalami rasa sedih yang luar biasa. Namun, tidak lama setelah itu ia tersadar jika hidup harus berjalan.
            Adapun solusi yang digunakan Yudho untuk mengatasi konflik batinnya tersebut adalah sublimasi. Di mana sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasan tidak nyaman.
            Hal ini dijelaskan pada kutipan berikut:
“Iya Mas, tentu saja. jangan khawatir, saya ... saya akan di sini sementara menemani mereka sampai mereka siap...,” jawab Yudho terbata-bata.
       Iya, Yudho merasa ada satu tugas yang harus dilakukannya, yaitu menjaga dan menemani orangtua Malik yang sudah seperti orangtuanya sendiri selama ini. Tidak mungkin ia berlenggang tangan dan kaki dengan berlagak tidak terjadi apa-apa. Dalam hati, Yudho berjanji akan selalu ada di rumah itu, demi mereka berdua. Ia pun telah banyak berutang jasa pada mereka.
“Mas, saya akan tidur di sini tiap malam. Saya akan bantu mengurus burung-burung milik Bapak, saya akan bersedia bila disuruhsuruh mengerjakan apa yang diperintah Ibu. Saya juga tak tega memberiarkan mereka berdua sendiri di sini ya... saya akan bolak-balik dari sini ke rumah saya sendiri, begitu...”
     Mendengar ucapan Malik, Zaki merasa lega. Ada satu beban di hatinya yagn sekarang terasa agak ringan.
     (Temui Aku di Surga: 136)
Pada kutipan tersebut terjadi tindakan-tindakan yang bermanfaat yang akan dilakukan tokoh “Yudho” di mana ia berjanji untuk membantu keluarga Yudho yang telah meninggal itu. Hal tersebut merupakan tindakan untuk menggantikan perasaan tidak nyaman atas meninggalnya Malik.

3.3.3 Reaksi Formasi dan Agresi
Pencalonan Yudho yang awalnya berupa tawaran dari Pak Rohmadi membuat Yudho benar-benar mencalonkan diri, apalagi ia kemudian didukung orang-orang penting di desa Randuasri. Seperti dijelaskan pada kutipan berikut:
        “Gimana kalau kamu yang mencalonakan diri, Yud?”
                 Sebaris kata yang baru saja keluar dari mulut Pak Rohmadi membuatnya terhenyak.
        (Temui Aku di Surga: 148)
        ... Yudho tampak tidak sabar menunggu ungkapan maksud sesungguhnya bapak-bapak tersebut. Tiba-tiba debaran itu muncul kembali, namun ia coba menetralkannya. Mungkin suatu rencana yang lain, harapnya.
        “To the point ya? Oke...! Kami mengusulkan kamu mencalonkan diri menjadi petinggi, jadi petinggi di desa ini,” Pak Jazuli langsung pada inti percakapan.
(Temui Aku di Surga: 156-157)
   Pada kutipan di atas dijelaskan, Yudho bisa menjadi calon petinggi karena adanya perasan di bawah alam sadar yang berhubungan dengan dirinya dicalonkan beberapa orang penting di desa Randuasri, selain itu ia juga memanifestasi kepedulian yang berlebihan terhadap tokoh “Malik” dapat merupakan paya menutupi perassaanya yang tidak nyaman terhadap sahabatnya; jika tidak meneruskan perjuangan atau cita-cita sahabatnya itu. Hal yang dilakukan Yudho dan dijelaskan pada kutipan di atas merupakan suatu reaksi formasi.
Selain, peristiwa awal pencalonan. Yudho juga mengalami serangkaian masalah pelik ketika usai mencalonkan. Terlebih dari tokoh “Pak Thamrin” di mana ia mengalami proses ancaman seperti adanya kelompok abangan yang kabarnya memaksa warga dan juga penggunaan orang pintar yang dilakukan Pak Thamrin. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut:
            Yudho menggeleng-gelengkan kepala. Ia makin memahami apa yang sedang dihadapinya. Tapi yang penting, sekarang ia telah berhasil membuat Pak Petinggi sepakat untuk tak menyewa orang-orang ganas yang entah mengapa tak juga terjangkau oleh aparat itu.
            Yudho keluar dari balai desa dengan langkah lebih ringan. Baginya ini lebih baik. Ia tak ingin mendengar ada desas-desus lagi tentang kelompok abangan yang nyatanya memang ada dan telah menjadi bagian strategi Pak Thamrin untuk menggertak warga agar memilihnya kelak.
            (Temui Aku di Surga: 192)
               Pada kutipan di atas menjelaskan kisah Yudho yang telah mengalami kesepakatan dengan Pak Petinggi untuk tak menyewa orang-orang ganas yang biasa disebut kelompok abangan itu. Hal yang dilakukan Yudho tersebut termasuk ke dalam agresi. Di mana agresi yang dimaksud adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi. Agresi yang dilakukan Yudho berkaitan dengan perasan marah terkait dengan konflik batin yang dialaminya, namun tidak menjurus kepada pengurasakan atau penyerangan. Hanya, kesepakatan dan kesepahaman yang dilakukan Yudho.
3.3.4 Rasionalisasi
            Peristiwa yang kemudian menjadi konflik besar atau biasa disebut klimaks dalam suatu struktur karya sastra terjadi tatkala tokoh Yudho mengalami kekalahan dalam pemilihan petinggi. Padahal, untuk pencalonan dan segala hal yang dikeluarkan selama sebelum pemilihan begitu banyak rupiah yang dikeluarkan. Mulai pinjaman dari orang-orang yang berpengaruh, hingga penjualan sawah yang dimiliki orang tua Yudho.
            Berdasar hal tersebut, Yudho mencari upaya penyelesaian konfliknya. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
     Sementara itu di dalam kamar orangtuanya, Yudho bersujud di kaki Bapaknya, bergantian dengan kaki Ibunya. Yudho menangis meminta maaf telah membuat mereka kecewa. Yudho berjanji akan mencari cara mengembalikan modal yang akhirnya hilang bersama kekalahannya. Sesungguhnya ia ingin rubuh, ingin ingsan, ingin melupakan kejadian yang baru saja dialaminya. Jika mungkin ia bisa tertidur lagi, untuk kemudian bangun dan mendapati semuanya hanya mimpi. Bahwa pilihan petinggi itu tak jadi ia ikuti. Bahwa ia tak punya beban tanggungan uang sebanyak itu! Namun, ia tahu ini kenyataan pahit yang benar-benar ia alami!
     (Temui Aku di Surga: 213)
   Pada kutipan tersebut dijelaskan aktivitas Yudho yang mengurangi sedikit kecemasannya dengan bersujud di bawah kaki kedua orangtuanya. Hal yang dilakukan Yudho termasuk rasionalisasi. Mengingat rasionalisasi menurut Hilgard dalam Minderop memiliki dua tujuan; pertama, untuk mengurangi kekecewaan ketika kita gagal mencapai tujuan; dan kedua, memberikan kita motif yang dapat diterima atas perilaku. Rasionalisasi Yudho yang digunakan dalam menyelesaikan masalah ini adalah rasionalasi yang pertama.
   Sementara itu, rasionalisasi jenis kedua digunakan dalam penyelesaian tentang konflik batin yang dipicu atas kesaksian Solikin. Di mana tokoh Solikin mengaku berada di balik semua kekalahan Yudho dengan menjadi orang suruhan Pak Thamrin sehingga terjadilah penggelembungan suara, selain itu Solikin juga mengakui pernah memiliki niatan mencelakakan Malik, namun tidak jadi dilakukan lantaran takut, apalagi setelah itu Malik benar-benar ditabrak oleh pengendara sepeda motor bertulis Junkpret.
   Yudho dalam mendengar kesaksian Solikin membuat konflik dalam batinnya semakin bertambah. Namun, akhirnya ia bisa menerima sebuah kesaksian Solikin. Seperti digambarkan pada kutipan berikut:
     Yudho terpekur dalam sujudnya yang lama, dalam mushollah kecil di kompleks kantor Kepolisian Sektor wilayah Kalinyamatan. Ia ingin mencari jawaban dan petunjuk pada Yang di Atas. Hatinya terasa damai sekarang. Ia hanya mengandalkan rasa percaya pada Allah, bahwa segala kerumitan yang ia hadapai akan membawa pada satu hikamh dan akhir yang indah nantinya. Ia hanya ingin pasrah.
     Beberapa saat kemudian ia merasa mendapat jawaban akan pertanyaan besar dalam hatinya. Tiba-tiba ia teringat saat dulu, setelah pamit mengundurkan diri dari kios Solikin, jarang sekali ia berkomunikasi lagi dengan Solikin! Ia terlalu sibuk dengan kios barunya bersama Malik. Mungkin ada yang tertinggal sejak kepergiannya dari kios itu. Ya, rasa kecewa yang tak segera teratasi tertinggal hingga menjadi benih kebencian dan tumbuh menjadi pohon dendam di hati Solikin.
     (Temui Aku di Surga: 248)
   Pada kutipan di atas menggambarkan tokoh “Yudho” yang awalnya kebingungan dan tak percaya akan kesaksian Solikin. Namun, tiba-tiba Yudho tersadar jika mungkin saja kepergiannya dari kios Solikin membuatnya kehilangan silaturahmi dengan mantan bosnya. Sehingga, menyebabkan dendam yang berkepanjangan. Sampai membuat Solikin bekerja sama dengan Pak Thamrin untuk mengalalkan segala cara agar Yudho kalah dalam pemilihan petinggi.

3.4 Kepribadian Tokoh Utama
            Berdasar analisis konflik-konflik batin dan solusi-solusi yang dilakukan tokoh utama, maka gambaran tentang kepribadian tokoh utama dapat diungkapkan. Berbagai peristiwa yang terjadi selalu menciptakan konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan batin yang dahsyat sehingga muncul dalam ketaksadaran berupa kecemasan-kecemasan dalam batin Yudho. Terjadinya kecemasan-kecemasan menandai perkembangan atau perubahan-perubahan kepribadian Yudho yang dinamis. Unsur-unsur kepribadiannya-id, ego, dan superego selalu terjadi pertentangan-pertentangan dan konflik; pertentangan-pertentangan antara keinginan-keinginan dengan kenyataan; antara dorongan dari id, ego, dan superego dengan tekanan-tekanan dari ego dan superego. Adanya kekuatan-kekuatan yang saling berkonflik itulah Yudho termotivasi untuk menentukan langkahnya.
Berawal dari sejak Madrasah Aliyah, terbentuklah kepribadian Yudho. Kepribadian itulah yang kemudian menjadi dasar-dasar pemikiran-pemikiran dalam menentukan langkah. Hal ini dapat dilihat dari dorongan-dorongan yang mempengaruhi struktur pikir Yudho. Adapun dorongan yang sangat kuat dalam stuktur pikir Yudho adalah dorongan untuk mempetahankan hidup.
Peran id dalam kepribadian Yudho dapat diamati lewat berbagai peristiwa yang berkaitan dengan tokoh tersebut. Dorongan-dorongan id tergambar pada keinginan-keinginan dalam berbagai hal, misalnya keinginan untuk memperbaiki hidup atau mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, keinginan untuk memperoleh rasa aman atas gertakkan Pak Thamrin, dan keinginan untuk mengubah desa Randuasri menjadi lebih baik atau keinginan menjadi pemimpin. Dorongan id Yudho yang sangat kuat adalah naluri pemimpin.
Naluri keinginan untuk memperbaiki hidup atau mendapatkan pekerjaan yang lebih layak Yudho muncul ketika Yudho mulai lulus Madrasah Aliyah di mana Yudho mengalami serangkaian pergantian pekerjaan karena beberapa hal. Sementara itu, ia tak mendemukan pekerjaan yang menjajikan bagi masa depan. (h. 13). Selain itu, tiba-tiba ia mendapat tawaran dari Solikin untuk bekerja sama di bidang perkacaan. Namun, setelah lebih dari dua tahun bekerja pada pemilik wajah yang mirip Rano Karno itu. Yudho dihinggapi rasa bosan, apalgi selama bekerja ia tak mengalami proses naik gaji. Hal tersebutlah yang membawa Yudho untuk bercerita kepada Malik, tak disangka mereka malah membuat bisnis bersama. Di mana Yudho sebagai bos-nya, sedang Malik sebagai pemilik modal sekaligus karyawan Yudho.
Naluri keinginan untuk memperoleh rasa aman atas gertakkan Pak Thamrin muncul ketika Yudho menemui petinggi incumbent itu untuk memperoleh kesepakatan, dan mereka pun membuat kesepakatan jika tidak akan lagi ada kelompok abangan, dengan syarat tidak ada penyamaan uang amplop. (h. 192)
Naluri kepimpinan yang dimiliki Yudho tergambar sangat jelas di novel ini, hal ini diawali dari Yudho yang begitu kritis memerhatikan aspal yang tiap taun diperbaiki, namun tiap tahun juga rusak. Hal tersebut menandakan bentuk perhatian kecil dari Yudho atas desa Randuasri. Selain itu, naluri kepimpinan Yudho muncul ketika ia mau mencalonkan diri menjadi petinggi, sekaligus menerima ketika dirinya diberitakan kalah. Serta, memaafkan kesalahan Solikin yang membuat konflik batin semakin memuncak bagi Yudho.
Konflik batin yang dialami Yudho lumayan kompleks. Di satu sisi ia ingin memperbaiki jalan desa, menjadi pemimpin, namun modal tak ada. Di sini kekuatan ego sangat diperlukan. Ego harus mampu berperan dalam mengambil keputusan-keputusan. Keputausan untuk mengikuti pemilihan petinggi karena adanya kesadaran bahwa hidup butuh perubahan, apalagi desa Randuasri tempat tinggla Yudho telah mengalami banyak kejanggaan selama Pak Thamrin menjadi petinggi.
Kesadaran untuk maju dalam pemilihan petinggi juga didasari pertimbangan historis. Awalnya, Malik sahabat Yudho berencana menjadi petinggi. Namun, ia malah wafat terlebih dahulu sebelum pendalonan ada. Yudho sebagai manusia biasa, merasa membutuhkan bantuan banyak orang untuk menjalalankan kemulusan dalam menjalankan sistem pemilihan petinggi di desanya.
Peran superego dalam kepribadian Yudho dapat dipahami melalui cara-cara yang dilakukan Yudho untuk mencegah terjadinya konflik antara dirinya dengan lingkungan sosial. Usaha-usaha untuk mendapatkan keselarasan dalam hidup yaitu keselrasana antara keinginan untuk mempertahanakan hidup, keinginan mendapat rasa aman, dan keinginan untuk menjadi pemimpin, menunjukkan adanya konflik id, ego, dan superego. Niat baik Yudho untuk menempatkan dirinya sebagai manusia bisa diterima oleh lingkungan, menunjukkan kemenangan superegonya.
Cara-cara yang dilakukan Yudho dalam menghadapi atau mengatasi konflik-konflik batinnya, antara lain dengan melakukan pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan rasionalisasi. Cara-cara tersebut merupakan keputusan atas dasar pemikiran-pemikirannya yang dipertimbangkan dengan nilai-nilai moral, sosial, kultural, dan agama. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa dorongan untuk mempertahankan hidup dan dorongan rasa aman menjadi sebuah kekuatan yang mempengaruhi struktur pikirannya. Peristiwa tersebut dapat disimpulkan jika superego lebih mendominasi kepribadian Yudho. Superegonya selalu berhasil menggalakan keinginan primitif dari id untuk memperoleh kebutuhan untuk memenangkan pemilihan petinggi dengan berbagai cara. Apalagi, sabetan-sabetan Yudho menawarkan untuk ke orang pintar agar memiliki jas ontokusomo dan keris, serta mengontrol ego agar tidak melanggar aturan moral dari superego dan dunia luar. Hal tersebut menggambarkan bahwa ego melaksanakan keinginan superego, yakni memperoleh kepuasan sebagai manusia yang hidup berdasarkan norma-norma yang berlaku pada masyarakat umum dan norma-norma agama yang telah menjadi ketentuan Tuhan.
Oleh karena itu, Yudho mampu bertahan hidup dengan kenyataan ia mampu mengubah sesuai dengan keinginan ego-idealnya melalui pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan rasionalisasi, maka ia memperoleh sebuah keberhasilan yaitu mencapai tujuannya menjadi pemimpin di desanya atau petinggi. Keberhasilan yang diraih Yudho menempatkannya sebagai lelaki yang memiliki harga diri tinggi.





BAB IV. KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
            Berdasarkan analisis struktur yang meliputi plot dan pemplotan, tokoh dan penokohan, latar, dan tema, dan analisis psikologis yang meliputi konflik batin tokoh utama, solusi yang digunakan tokoh utama untuk mengatasi konflik batin, dan kepribadian tokoh utama, novel Temui Aku di Surga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Pemplotan dalam novel ini yang menggunakan rincian lain, membuat cerita semakin seru, dimulai dari penyituasian, pemunculan konflik, peningkatan konflik, tahap klimaks, dan pelaraian. Penokohan dalam novel ini menggunakan teknik dramatik melalui dialog, percakapan batin, dan lakuan. Pikiran dan cakapan tokoh utama, juga peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh utama dan tokoh didukung oleh latar. Tokoh utama memiliki watak statis. Latar sosial didominasi oleh kepercayaan masyarakat Jepara atas kekuatan dukun atau orang pinar. Selain itu, latar tempat dan latar waktu tidak hanya sebagai latar belakang, namun menyatu dengan peristiwa dan penokohan sehingga latar yang dilukiskan dalam novel Temui Aku di Surga adalah latar sejalan.
2.      Konflik batin yang dimiliki tokoh “Yudho” berawal dari dia yang ingin berhenti bekerja pada Solikin apalagi gajinya selama dua tahun tidak mengalami perubahan, lalu kematian malik, pencalonan petinggi, kekalahan dalam pencalonana, serta pengkauan Solikin atas misteri kekalahan Yudho dan kematian Malik.
3.      Solusi yang digunakan Yudho dalam menghadapi konflik batinnya dengan menggunakan pengalihan, sublimasi, reaksi formasi, agresi, dan rasionalisasi.
4.      Kepribadian Yudho didominasi oleh superego, peran superego dalam kepribadiannya dapat dipahami melalui cara-cara yang dilakukan Yudho untuk mencegah terjadinya konflik antara dirinya dengan lingkungan sosial. Usaha-usaha untuk mendapatkan keselarasan dalam hidup yaitu keselarasan antara keinginan untuk mempertahanakan hidup, keinginan mendapat rasa aman, dan keinginan untuk menjadi pemimpin, menunjukkan adanya konflik id, ego, dan superego.



DAFTAR PUSTAKA
Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Madjah Press.
Nurjanah, Rachma. 2011. Konflik Batin Tokoh Utama dalam Cerpen “Perempuan” Karya Syarif Hidayatullah Kumpulan Cerpen Pemenang Lomba Tingkat Mahasiswa se-Indonesia 2009-2010 Kajian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan.
Sofa, Ella. 2013. Temui Aku di Surga. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Windiyarti, Dara. 2005. Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Kenanga Karya Oka Rusmini: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud. Semarang: Univesitas Diponogoro.






LAMPIRAN

A.        SINOPSIS
            Demi kepentingan agar tidak spoiler isi cerita dalam novel ini, jadi saya hapus. J Jika penasaran, silakan dibaca novelnya ya. Bisa pesan ke penulisnya. J
B.        Biografi Penulis
Ella Sofa adalah seorang ibu rumah tangga yang gemar menulis. Karyanya telah terbit pada 20 buku antologi dan dua novel yaitu Rena, Masih ada Cahaya (pemenang lomba Leutika Prio) dan Temui Aku di Surga (Quanta, Elex Media Komputindo).
Ibu yang satu ini juga sangat senang mempelajari seluk-beluk dunia pendidikan serta pernah berkecimpung sebagai tenaga pengajar di sebuah SD swasta. Kini ia juga menjadi pembina ekstrakurikuler menulis untuk anak-anak SD.

Ia menuangkan ide-idenya dalam blog sederhana: http://ellasofa.blogspot.com dan http://anakanakkehidupan.blogspot.com. Jika ingin menghubunginya, bisa via FB Ella Sofa atau e-mail irkhamna.ela@gmail.com.

Related : Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Temui Aku di Surga Karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud

0 Komentar untuk "Konflik Batin Tokoh Utama dalam Novel Temui Aku di Surga Karya Ella Sofa: Sebuah Pendekatan Psikoanalisis Freud"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)