Pembagian Kemiskinan Di Pedesaan

Ketimpangan pedesaan menurun drastis selama Maret-September 2015 (Kompas, 5/2). Rekor jatuhnya indeks gini dari 0,33 menjadi 0,27 seakan mengembalikan masa konvergensi pertengahan 1980-an hingga permulaan 1990-an. Sayang, pemerataan kali ini lebih terbaca selaku pembagian kemiskinan.

Kala menyambut Pembangunan Semesta Berencana, Bung Karno memberikan gotong royong warga desa selaku penangkal imbas negatif pembangunan. Dalam pidato Rencana Pembangunan Lima Tahun I, Soeharto juga mengandalkan swadaya desa guna menambal ketimpangan ekonomi perkotaan.

Peran selaku ganjal ketimpangan ditunjukkan oleh konsistensi posisi indeks gini pedesaan di bawah perkotaan sejak 1980. Bantalan kebersamaan di pedesaan semakin tegas dikala krisis menjelang perkotaan, seumpama penerimaan desa kepada warga kota yang dipecat dan gagal kerja keras selama krisis 1997-1998.

Pemerataan camilan cantik pembangunan terbaca di saat penurunan indeks gini setara dengan penurunan persentase atau jumlah orang miskin. Contohnya, indeks gini pedesaan jatuh dari 0,34 pada 1978 menjadi 0,29 pada 1981, atau menurun 5 persen. Ini setara dengan anjloknya kemiskinan dari 33,4 persen ke 26,5 persen, atau menurun 7 persen.

Artinya, warga miskin terentaskan seraya mempergunakan pembangunan bahu-membahu warga yang lebih kaya. Pemerataan dipicu oleh lebih banyak lapisan bawah yang mengalami peningkatan mobilitas sosial.

Sayang, dikala ketimpangan pedesaan menurun pada Maret-September 2015, kemiskinan tak beranjak sama sekali. Sementara indeks gini meluncur hingga 6 persen, kemiskinan cuma bergeser 0,12 persen. Lebih tegas lagi, jumlah orang miskin cuma menyusut 50.000 jiwa, kapasitas menggapai garis kemiskinan cuma naik 0,15 persen, dan ketimpangan di antara orang miskin sekadar turun 0,04 persen.

Sumber ketimpangan

Saat proporsi orang miskin tetap, kondisi yang semakin merata cuma mungkin dibaca selaku penurunan pengeluaran atau pendapatan kelompok yang lebih tinggi. Pemerataan disumbang oleh lebih banyak lapisan atas desa yang mengalami penurunan mobilitas sosial.

Clifford Geertz membaca pemerataan atas sejumput remah pembangunan selaku pembagian kemiskinan. Wujudnya selama Maret-September 2015 ditunjukkan tersendatnya dana desa. Saat itu, kemarau panjang menyusahkan bertani, sedangkan proyek pertanian belum berjalan. Komoditas perkebunan terbakar atau jatuh nilainya. Tenaga kerja konstruksi dari desa belum terserap proyek infrastruktur. Pertumbuhan ekonomi masih digerakkan konsumsi rumah tangga, tetapi tak hingga menumbuhkan kesemarakan sektor informal sebagaimana permulaan krisis moneter.

Angka pemerataan pedesaan sanggup saja berbalik, Maret 2016, alasannya satu semester sebelumya dana desa mulai mewujud proyek pembangunan. Proyek pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten pun meriah pada September-Desember 2015.

Alih-alih berteka-teki atas penyebabnya, lebih sempurna pemerintah bergerak menyusun dekomposisi sumber ketimpangan eksklusif dari data berkala yang digunakan selama ini, yakni Survei Sosial Ekonomi Nasional edisi Maret dan September. Analisis lebih lanjut sanggup menyita informasi statistika yang lebih presisi sekaligus dinamis wacana aspek penyebab, besaran, dan kisaran wilayah ketimpangan.

Becermin dari alur dekomposisi Armida Alisjahbana dan kawan-kawan (2003), meski cuma menyumbang 8 persen ketimpangan nasional, kesenjangan desa-kota menjadi satu-satunya gerbang pembuka bagi berjenis-jenis ketimpangan lainnya! Artinya, selisih kedua wilayah yang meningkat dari 9 persen jadi 20 persen pada Maret-September 2015 menjadi lonceng perayaan potensi merebaknya ketimpangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan budaya.

Sumber ketimpangan utama adalah perbedaan honor direktur dan buruh (43 persen), utamanya di perkotaan. Perlu dicatat, di pedesaan kerja pertanian cuma mencipta 7 persen ketimpangan sosial-ekonomi, sedangkan penghasilan dari luar pertanian menyumbang 19 persen.

Beda kepemilikan aset bikinan antar-wargalah yang menyulut 45 persen ketimpangan di pedesaan. Kerap tak disadari, sejak 1985 laju peningkatan bikinan padi berbasis lahan selalu disertai laju penurunan nilai tukar atau kemakmuran petani. Perbandingan Sensus Pertanian 2003-2013 mengabarkan, 5 juta rumah tangga petani gurem terpaksa keluar dari pertanian, digantikan 298.803 tuan tanah pemilik lahan di atas 30 hektar.

Tiga kebijakan

Tiga poros kebijakan pedesaan mendesak dijalankan. Pertama, konsentrasi penanggulangan kemiskinan untuk mengembangkan aset bikinan rumah tangga. Boleh saja kartu miskin serta jaminan kesehatan memulai program. Selanjutnya, mesti dicanangkan aktivitas peningkatan aset, seumpama modal kerja khusus sektor informal, bervariasi wujud reforma agraria, proteksi kepastian asupan, hingga pasar hortikultura dari lahan sempit.

Kedua, pengarusutamaan risiko ketimpangan sosial-ekonomi dalam perumusan kebijakan. Di antaranya, 62,39 persen dana desa yang tersalur lebih banyak didominasi di Jawa dan Sumatera pada 2015 dikoreksi lewat penghitungan ulang berbasis luas desa agar beralih lebih banyak didominasi ke desa-desa di timur Indonesia.

Ketiga, mempersyaratkan investasi pembangunan desa sekaligus menguatkan ikatan sosial dan budaya setempat. Adat dan norma setempat Bali menjadi pola pengontrol teguh modernisasi desa sehari-hari.[]

Oleh Ivanovich Agusta, Sosiolog Pedesaan IPB Bogor
Sumber: Kompas

Related : Pembagian Kemiskinan Di Pedesaan

0 Komentar untuk "Pembagian Kemiskinan Di Pedesaan"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)