Lelaki berpeci itu menatap Milea. Santri baru yang berasal dari Malang itu tak menjawab pertanyaan lelaki yang tampak slengean.
“Aku ramal kita bakal bertemu!”
Mendengar ucapan itu, Milea sungguh-sungguh ingin menipuk lelaki yang sedang mengendarai sepeda ontelnya itu. Tetapi, keinginan itu tertahan ketika bel sekolah berbunyi begitu kencang.
Di sekolah, Milea segera masuk kelas. Wali kelasnya segera mengenalkan ia ke teman-temannya.
“Hai Milea.”
Teman-teman barunya kompak menyapa, Milea segera mengeluarkan senyum terbaiknya. Bertepatan dengan itu, ia melihat lelaki pagi tadi yang menjumpainya.
“Dilan!” seru teman-teman lainnya begitu kompak bak koor paduan suara.
Dari sana, Milea tahu jika nama lelaki itu Dilan. Nama itu tak membekas dalam hatinya. Benar-benar tidak membekas. Hanya saja semua berubah ketika ia melihat seorang guru yang tampak garang sedang menghukum Dilan.
“Ini adalah contoh perbuatan tak terpuji oleh kaum santri. Tebar-tebar pesona ke santri putri. Itu dilarang!”
Milea mengangguk paham.
Salah Dilan sendiri yang menengok ia dan teman-temannya. Apalagi, hukumannya berat, sekalipun Dilan itu kuat.
*
Waktu pun berjalan begitu cepat secepat musim penghujan berganti kemarau, lalu kemarau menjadi musim salju, daunan pun berguguran, musim semi datang berganti musim duren. Begitulah waktu sulit diprediksi, sama seperti Milea.
Bayang-bayang Dilan selalu muncul dalam pikirannya membuat hafalan Imrithi, Bidayah, dan kitab kuning lainnya meluap seketika. Ia bingung benar-benar bingung.
Kebingungan Milea segera ditransfer ke ibunya, Ibu yang berada di Malang pun mengunjungi Milea di Ponpes. Jarak Malang-Jember memang lima jam lebih, tetapi jarak waktu itu apalah artinya jika Ibu merasa Milea membutuhkannya. Dan waktu mengungkapkan rindu pada Ibunya pun segera Milea keluarkan.
Milea mula-mula cerita usaha Dilan padanya. Diawali dengan perjumpaan pertama lalu Dilan memberinya kado saat ulang tahunnya yang kedelapanbelas tahun beberapa lalu.
“Kamu tahu mengapa aku beri kado diary?”
Milea menggeleng lemah.
“Biar kamu bisa menulis rindu di setiap hari yang kamu punya.”
Milea tersenyum mendengar itu. Tetapi, senyum yang terkembang itu hanya sesaat. Apalagi Ustaz Adi seperti melihat ia dan Dilan berbicara.
“Kalau Ibu masih muda suka nggak sama dia?”
“Mungkin.” Jawaban Ibunya, pendek, tapi sanggup membuat jiwa Milea terbang.
Ibu hanya senyam-senyum melihat ekspresi bahagia Milea. Selepas itu, ibu mengajak Milea pulang ke Malang lantaran ibu membawa kabar jika nenek Milea sedang sakit keras.
*
Di Malang yang dingin.
Milea disambut oleh Nenek yang sakit tua. Batuk-batuk, panas-dingin, dan berbagai penyakit lainnya. Nenek yang begitu mencintai Milea pun sempat ngobrol barang sebentar sebelum mengembuskan napasnya yang terakhir.
Saat itu Milea seperti kehilangan separuh dunianya. Ia menangis kencang. Dan merasa jika tak ingin lagi kembali ke pesantren. Apalagi sebagai cucu satu-satunya, Milea merasa tak dapat berbakti pada Nenek dengan menjaganya semasa sakit.
Kegalauan yang menimpa Milea pun tertular pada Dilan. Lelaki berwajah tampan maksimal khas kids jaman now itu mengunjungi rumah Milea di Malang. Tentu lelaki itu tak menggunakan sepeda pancal seperti saat di Pesantren, melainkan menaiki sepeda serupa milik Boy Anak Jalanan.
“Kok kamu bisa tahu rumahku?” tanya Milea takjub melihat Dilan.
Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Dilan. Malah lelaki itu memiliki pertanyaan yang bersifat retoris.
“Aku juga tahu siapa Tuhanmu.”
“Allah.”
Dialog yang sebentar itu ternyata membuat ibu penasaran dari dalam rumah.
“Ada tamu, Lia? Suruh masuk saja!” perintah ibunya.
“Iya, Bu.”
Dilan pun masuk rumah bergaya minimalis itu. Ia disambut ramah oleh Ibu Milea, tetapi tidak oleh Ayah Milea.
“Jauh-jauh dari Jember ke Malang, kamu hanya ingin ketemu Milea? Apa kamu bawa surat izin dari pondok?”
Pertanyaan Ayah Milea benar-benar diluar perkiraan Dilan. Lelaki itu tak berani menjawab, apalagi ia menggunakan izin tidak pada tempatnya. Ia jadi teringat kejadian sebelum ke rumah Milea jika ia bilang ada kepentingan keluarga. Hanya saja, selepas kepentingan keluarga, bukannya kembali ke pondok. Dilan malah terbang ke Malang.
“Jawab!”
Ayah Milea menunggu jawaban, sementara Milea dan Ibunya juga tampak menunggu.
“Sudah, Om.”
Akhirnya kata itu keluar.
“Walau bagaimanapun di pondok itu jauh lebih penting dibandingkan ke sini!”
Dilan pun undur diri, karena ia merasa situasi rumah Milea tidak kondusif. Lelaki yang memiliki rambut undercut itu pun segera meluncur dengan sepedanya.
*
Di Jember yang basah
Gerbang pondok pesantren terbuka. Dua mobil masuk. Yang satu mobil Ayla BMW berwarna merah dan Ferrari Scopio berwarna putih. Si merah dari gerbang utama berbelok ke arah kanan menuju asrama santri putra, sedang si putih berbelok ke arah kiri menuju asrama santri putri. Kedua mobil itu membawa tokoh utama cerita ini, tentu namanya Milea dan Dilan, sebab jika Boy dan Reva kan tokoh Anak Jalanan.
“Kamu baik-baik ya selama di pondok!” ucap Ibu Milea.
Milea mengangguk, lalu menerima ciuman di pipihnya dari Ibu dan Ayah. Selepas itu, ia melihat si merah melaju kembali ke gerbang.
Pun, perempuan itu mengingat-ngingat jika tadi berpapasan dengan Si Putih. Mobil yang selalu membawa Dilan jika hendak dikirim oleh orang tuanya. Tetapi, perempuan itu tadi tak berani menyapa lantaran takut si ayah memarahinya.
Bukankah ada baiknya jika besok ia tanya langsung kepada orangnya? Hanya saja, sarana berkomunikasi dengan santri putra itu tidak mudah. Pernah sebelum nenek Milea wafat. Milea berkomunikasi dengan Dilan melalui diary. Caranya ketika anak-anak pulang Dilan meletakkan diary-nya di meja tempat duduk Milea di kelas. Keesokan harinya, Milea membawa diary itu ke asrama. Lalu membalas kata-kata yang indah dari Dilan. Semisal:
“Jangan bilang ada yang ghosab sandalmu, nanti santri itu bisa hilang.”
Lalu, begini jawabab Milea.
“Aku tak akan bilang itu padamu, sebab aku selalu cekeran ke masjid.”
Dan Dilan langsung mengubah redaksi kalimat gombalnya, seperti ini:
“Jangan bilang jika ada yang menyakitimu, nanti orang itu bisa hilang.”
Lalu, begini jawaban Milea:
“Aku tak akan bilang itu padamu, sebab tidak ada yang berani menyakitiku. kecuali perasaanmu padaku!”
“Perasaan? Apa yang kamu maksud perasaan rindu?” balas Dilan kesokan harinya.
“Benar sekali!”
“Jangan rindu, takzirannya berat, kamu nggak akan kuat biar aku saja!”
Milea tersenyum mengenang itu. Ia sampai-sampai senyum-senyum tak jelas sebelum sampai di kamarnya.
“Mileaaa.” Sambut teman-teman Milea kompak.
Mereka terlihat begitu merindui Milea. Dan Milea pun merasakan hal yang sama.
“Kamu tahu, kamu terpilih sebagai perwakilan sekolah untuk ikut Olimpiade Fisika.” Jelas teman Milea yang bernama Fulaniah.
“Benarkah?” Milea tampak tak percaya.
“Ya, paling Minggu ini sudah mulai pembinaan.”
Dan benar saja, sepulang sekolah Milea langsung pembinaan dengan Ustaz Adi. Sebenarnya bukan cuma dia, tapi ada 5 teman lainnya. Hanya saja, akibat itu Dilan begitu mencemburuinya.
“Kamu cemburu aku sama Ustaz Adi.”
“Cemburu hanya milik orang-orang yang tidak percaya diri.”
“Lalu?”
“Dan aku sedang tidak percaya diri!”
Begitulah dialog Dilan melalui diary. Sungguh Milea benar-benar tergilai godaan maut Dilan. Tetapi, rasa cinta itu akhirnya terendus pihak keamanan pondok. Kedua santri itu pun dipanggil dan menghasilkan takziran yang berat. Dilan harus digundul habis, sementara Milea harus mengenakan kerudung merah selama tiga Minggu.
Hukuman yang berat itu ternyata tak membuat Dilan menyerah. Diam-diam ia tetap menulis kata-kata indah di diary Milea, sekalipun gadis itu tak membalasnya. Hingga akhirnya, hukuman yang berat itu pun ditambah dengan dikeluarkannya Dilan.
“Dilan, kamu di mana?” tanya Milea suatu ketika.
Tak ada jawaban, sekalipun dalam diary apalagi Dilan sudah dikeluarkan dari Pondok. Tak ada yang tahu jawaban apa yang akan didapatkan Milea, tidak jua penulis sendiri dalam cerita ini. Mari kita nantikan jawabannya bersama-sama!
Catatan: Cerita ini merupakan parodi atas trailer Dilan 1990 tetapi versi dari Dilan ala Santri. Semoga suka dengan ceritanya ya!
Salam,
Gusti Trisno
0 Komentar untuk "Dia Adalah Dilanku dari Pesantren (2018) "