Penulis : Gusti Trisno
Penerbit : AE Publishing
Tahun Terbit : Pertama, 2017
Jumlah Halaman : 86 halaman
ISBN : 978-602-6325-37-2
Peresensi : Muhammad Rasyid Ridho, Pengajar Kelas Menulis SMKN 1 Tapen Bondowoso
Suatu ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. “Wahai Rasulullah, siapa yang harus dan paling berhak aku perlakukan baik?” “Ibumu,” jawab Rasulullah. “Siapa setelahnya wahai Rasul?” “Ibumu,” “Siapa lagi wahai Rasul?” “Ibumu.” “Siapa lagi wahai Rasul?” “Bapakmu.”
Dalam hadits di atas, Rasulullah Saw sampai menyebut Ibu sampai tiga kali. Kedua orangtua adalah yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan ketaatan dari seorang anak. Dan jika mengacu pada hadits di atas, maka memang porsi kepada Ibu lebih besar. Memang, jika melihat perjuangan seorang ibu sangatlah besar. Mengandung sembilan bulan, lalu menyusui dan menemeni serta menjadi sekolah pertama kepada anaknya.
Bagi seorang anak, seorang ibu memang tidak tergantikan. Mungkin memang awalnya ada yang menganggap sikap orangtua, kadang salah dan tidak mengenakkan bagi sang anak. Sehingga harus curhat kepada orang lain. Seperti tokoh dalam cerpen dalam buku yang berjudul Museum Ibu dengan judul cerpen yang sama.
Karena tidak ada kemesraan dalam kehidupan keluarga, bahkan orangtuanya berbicara tentang hutang di depannya yang masih sekolah. Sang anak menganggap itu tidak pantas karena membebani sang anak. Sehingga dia harus curhat kepada guru biologinya saat masih SMP. Guru yang biasa dipanggil Ummi itu mengatakan bahwa semua orangtua pasti sayang pada anaknya. Jadi, untuk masalah ini, Ummi menyarankan pada sang anak agar banyak berdoa (halaman 36).
Tetapi, sang anak tokoh utama dalam cerpen ini, sudah merasa bosan dengan saran untuk berdoa dan menganggap ummi tidak asyik lagi. Akhirnya, dia mencari tempat curhat lainnya. Dia pun mendapatkan, masih seorang guru. Yaitu wali kelasnya saat SMA. Sang anak banyak dipuji oleh wali kelasnya. Sehingga, dia semakin percaya untuk curhat kepada wali kelasnya tersebut. Bahkan, wali kelasnya pun curhat kepadanya soal rumah tangga yang semakin hari semakin dekat dan erat lagi. Hingga suatu ketika, saat kelas memasuki kelas akhir, wali kelas tersebut harus mengucapkan perpisahan kepada murid kesayangannya tersebut. Karena harus pindah ke luar kota.
Akhirnya dia dekat lagi dengan seorang yang dipanggil Ummi lagi. Meski awalnya, dipertanyakan karena menjauh dari Ummi, akhirnya mereka dekat seperti ibu dan anak lagi. Namun, lagi-lagi Ummi harus pergi darinya karena meninggal. Begitu pun dengan ibu yang dekat dengannya kali ini. Suaminya tidak mau, didekati dengan lelaki lain meski hanya berteman di facebook dan mereka terpaut jauh umurnya. Akhirnya, kesadaran datang pada sang anak, “Bukankah ibu bisa menjadi siapapun, tapi tak bisa digantikan siapapun?” (halaman 41)
Seperti judul buku kumpulan cerpen ini, hampir keseluruhan cerpen ini ada kaitan dengan ibu, baik ibu kandung atau seseorang yang dianggap sebagai ibu. Ada empat belas cerpen dalam buku ini, cerpen pertama, ke delapan dan ke sembilan yang saya baca tidak ada kaitannya dengan ibu. Dua belas cerpen lainnya, ada kaitan dengan ibu, bahkan ada yang mirip. Cerpen pertama kisahnya unik, memodifasi kisah timun emas. Kemudian cerpen ke depalan yang berjudul Mencari Ustadz pun cukup berbeda dalam buku ini, baik dari penulisan, cerita dan juga ending yang asyik. Sedangkan, cerpen ke sembilan berkisah dengan gaya dongeng kerajaan.
Kemiripan yang banyak terlihat adalah, kisah yang menganggap guru sebagai ibunya. Baik guru sekolah, ataupun guru di dunia maya. Cerpen-cerpen karya Gusti Trisno penulis muda asal Situbondo ini, bisa dibaca sekali duduk. Karena memang banyak ditulis tentang keseharian. Tentang sekolah dan pantai Pathek yang ada di Situbondo bisa dibaca dalam cerpen yang berjudul Pathek Siang Itu. Tentang kehidupan kampus ada dalam cerpen Kampus Para Penghujat. Selain dalam cerpen Museum Ibu tentang ibu ada dalam beberapa cerpen salah satunya yang kental adalah cerpen Seputih Kerudung Ibu, dan tentang cita-cita menjadi penulis ada dalam cerpen Tangguh Dalam Impian. Sedangkan dua cerpen yang tidak ada tentang ibu
Dalam buku ini Gusti tidak menulis panjang-panjang, ada yang hanya cuma dua halaman. Meski, ada beberapa kesalahan tulisan (typo) dan kekurangan yang perlu ditambal atau ditambah halaman dalam beberapa cerpen. Namun, secara keseluruhan isinya cukup mengena. Mungkin karena memang cerpen-cerpen di dalamnya di tulis dengan penuh cinta, dan berdasarkan kenangan yang tak bisa dilupakan kepada Ibunda. Ya, buku ini mengabadikan satu nama bernama ibu. Sebuah buku yang layak dibaca oleh semua manusia di bumi, karena kita semua lahir karena ibu. Selamat membaca!
Disalin ulang dari tulisan Muhammad Rasyid Ridho yang dimuat di Jateng Pos 28 Januari 2018. Peresensi juga memosting ulang di blog Ridho dan bukunya (klik di sini!).
0 Komentar untuk "Mengabadikan Ibu Dalam Buku"