Dampak Bunga Terhadap Ekonomi Indonesia

Instrumen Pengganti Bunga : Sistem Bagi Hasil

Sebagai dimaklumi bahwa dalam ekonomi kapitalisme,  bunga bank (interest rate) merupakan nadi dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang luput dari prosedur kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal pada semua struktur ekonomi negara, sampai perdagangan internasional.
Salah satu sebab  ketertarikan pasar terhadap bunga bank ialah kepastian hasil. Sedangkan setiap perjuangan tidak sanggup dipastikan harus berhasil sejumlah sekian, lantaran pada kenyataannya, setiap perjuangan niscaya berhadapan dengan resiko yang mengandung kemungkinan rugi, untung, dan pulang modal. Keuntungan pun sanggup besar, sedang dan kecil. Namun, selama berabad-abad, ekonomi dunia telah didominasi  sistem bunga, sehingga telah mengkristal dalam setiap kegiatan bisnis masyarakat dunia.

Karena mengkristalnya sistem bunga tersebut, terbentuklah dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional, terutama pada sektor moneternya. Bahkan sekarang pasar moneter konvensional tidak lagi terbatas pada pasar modal, uang dan obligasi, tapi bertambah dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari ketiga pasar tersebut. Kesemuanya tetap menggunakan bunga bank sebagai harga dari produk-produknya. Maka tak heran kalau perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler. Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil US$ 6 triliun setiap tahun. Bayangkan dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun.

Dampak perkembangan yang begitu besar pada sektor moneter terang menghambat perkembangan sektor riil. Jika diasumsikan money supply (uang beredar) tetap, maka sistem kredit dengan bunganya yang ada pada pasar-pasar moneter akan menyedot uang beredar. Sehingga bukan hanya ketidakstabilan moneter yang terjadi, tetapi juga kemerosotan sektor riil. Secara global kemerosotan ini akan besar lengan berkuasa pada returns yang diperebutkan pada sektor moneter. Sehingga kalau ini terus yang menjadi kecenderungannya, maka masuk akal sebagian pakar memprediksi terjadinya krisis ekonomi yang besar, tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, tetapi juga negara-negara maju (negara pemilik modal).
Syari’ah Islam dengan tegas  meyakini bahwa bunga bank yang bersifat pre-determined akan mengeksploitasi perekonomian, cenderung terjadi misalokasi sumber daya dan penumpukan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Hal ini akan membawa pada ketidakadilan, ketidakefisienan, dan ketidakstabilan perekonomian. Seperti dikemukakan Umer Chapra (1996), bungalah yang telah menimbulkan semakin jauh jarak antara pembangunan dan tujuan yang akan dicapai. Bunga juga merusak tujuan-tujuan yang ingin didapat, pertumbuhan ekonomi, produktivitas dan stabilitas ekonomi.Bahkan Roy Davies dan Glyn Davies, dalam bukunya A History of Money from Ancient Times to the Present Day (1996) menyampaikan bahwa bunga telah memberi andil besar dalam lebih dari 20 krisis yang terjadi sepanjang kurun 20.
Dalam  ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam ialah prosedur pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga kalau menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam ialah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam,”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Jual beli atau perdagangan ialah kegiatan bisnis sektor riel.
Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga. Karena sesungguhnya, bagi hasil sebetulnya sesuai dengan iklim perjuangan yang mempunyai kefitrahan untung atau rugi. Tidak menyerupai karakteristik bunga yang memaksa supaya hasil perjuangan selalu positif. Makara penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.
Jadi, solusi ekonomi Islam terhadap bunga (riba) dalam sistim pinjam meminjam dana yang dipakai untuk berbisnis ialah “Sistim Bagi Hasil” (Profit-Loss Sharing), baik melalui skim mudharabah atau musyarakah. Dalam kasus pertanian sanggup dalam bentuk muzara’ah.  Selain dalam bentuk bagi hasil, solusi Islam untuk menggantikan bunga juga  sanggup menggunakan produk jual beli (bai’), menyerupai ba’i murabahah, salam dan istishna’.
Secara umum, sistim bagi hasil ini ada yang disebut dengan mudharabah, yaitu bentuk perjuangan bisnis yang dilakukan oleh dua pihak dimana dalam menjalankan perjuangan bisnis ini satu pihak bertindak sebagai pemodal dan pihak lainnya bertindak sebagai pelaksana bisnis (enterpreneur).
Sementara itu, musyarakah dimaksudkan sebagai suatu bentuk perjuangan bisnis/syarikat yang modalnya di biayai oleh semua partai yang terlibat dalam bisnis tersebut. Kedua bentuk bisnis ini, jauh lebih berkeadilan dibandingkan dengan bentuk bisnis dalam ekonomi konvensional, lantaran apapun laba atau resiko yang terjadi terhadap bisnis ini, ke semua partai yang terlibat dalam bisnis ini mempunyai hak yang sama terhadap hasil perjuangan yang diperoleh.
Bila bisnis merekaberhasil, maka semua pihak akan mendapatkan laba dan sebaliknya, bila bisnis mereka bankrut maka kerugianpun harus ditanggung bersama. Jumlah pembagian laba yang akan diperoleh mereka dalam mudharabah ialah menurut penjanjian bersama, katakanlah 60% untuk pembagi modal dan sisanya, 40% untuk mereka yang memenej bisnis.
Namun, bila perjuangan mudharabah mengalami kerugian, maka pelaksana tidak bertanggung jawab atas kehilangan modal yang diberikan pemodalnya. Ini tidak berarti para pelaksana tidak mengalami kerugian apapun, lantaran ianya juga dirugikan atas jasa dan jerih payahnya yang disumbangkan untuk memajukan bisnis mereka. Dengan kata lain, pemodal rugi atas modalnya, dan pelaksana rugi atas perjuangan dan jerih payahnya.
Bila kita melihat dalam sistim ekonomi ribawi (bunga), peminjam sudah ditentukan besarnya jumlah bunga yang harus dibayarkan ke bank dengan tidak mempertimbangkan apakah dana yang dipinjam itu berhasil dibisniskan atau tidak. Dengan kata lain, berhasil atau tidak bisnis para peminjam modal, peminjam harus membayar pinjaman plus bunganya. Sedangkan dalam ekonomi Islam baik dalam bentuk perjuangan mudharabah mahupun musyarakah, jumlah pembagian hasil yang diterima belumlah diketahui secara niscaya sebelum perjuangan itu berhasil atau gagal.
Mereka hanya tahu persentase pembagian hasil, tetapi mereka tidak pernah tahu berapa jumlah pembagian hasil sebetulnya yang akan mareka terima sebelum perjuangan itu berhasil atau tidak. Dalam sistim ini, laba dan kerugian ialah menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan pembagian hasil yang pre-determined (ex-ante) dalam sistim ekonomi ribawi inilah yang menimbulkan terjadinya ketidakadilan dalam ekonomi umat sehingga ia dihentikan oleh Islam dibandingkan dengan sistim ekonomi Islam yang pembagian jadinya menurut post-determined (ex-post) yang jauh lebih adil dan mensejahterakan umat
Selain  sistem bagi hasil, Islam mensyaratkan prosedur zakat dalam perekonomian, serta proteksi dari istrumen sejenisnya menyerupai infaq, shadaqah dan wakaf. Mekanisme zakat memastikan kegiatan ekonomi sanggup berjalan pada tingkat yang minimal, yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer. Sedangkan infaq, shadaqah dan instrumen sejenis lainnya mendorong ajakan secara agregat, lantaran fungsinya yang membantu umat untuk mencapai taraf hidup di atas tingkat minimum. Selanjutnya oleh negara, infaq-shadaqah dan instrumen sejenisnya, serta pendapatan negara lainnya dipakai untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-programpembangunan.

Sebagai dua ketentuan asli dalam sistem ekonomi Islam, prosedur zakat dan pelarangan riba mempunyai fungsi saling mengokohkan sistem perekonomian. Di satu sisi zakat menjaga supaya kegiatan ekonomi tetap berjalan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan hidup seluruh masyarakat negara, di sisi lain pelarangan riba – diganti prosedur bagi hasil – menjaga keseimbangan, keadilan dan kestabilan segala kegiatan ekonomi di dalamnya. Dengan abjad khasnya, ekonomi Islam diperkirakan akan lebih stabil dibandingkan sistem konvensional..
Bagi perekonomian Indonesia, landasan konvensional sudah terbukti tidak menawarkan “pelayanan” yang baik. Makara sudah waktunya pemerintah memikirkan untuk beralih pada perekonomian Islam dengan segala perangkatnya, dan menjadikannya sebagai sebuah kebijakan yang sistematis di semua sisi pembangunan ekonomi. Bukan menimbulkan ekonomi Islam sekadar kebijakan yang merespon pasar menyerupai yang dilakukan pada dunia perbankan.
Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah berkembang menjadi menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak sanggup diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu. Dalam hal ini oleh ekonomi Islam dengan sistem bagi jadinya dalam dunia perbankan dan forum finansial lainnya

Related : Dampak Bunga Terhadap Ekonomi Indonesia

0 Komentar untuk "Dampak Bunga Terhadap Ekonomi Indonesia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)