Problematik Pembelajaran Geometri di Sekolah
Disajikan pada Seminar Pendidikan Matematika wacana Pemantapan Konsep dan Pemecahan Masalah Pembelajaran Geometri pada Pendidikan Dasar).
Oleh Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya.
Geometri merupakan belahan Matematika yang membicarakan titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak terang pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan contohnya penjelasannya wacana “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.” Akibatnya, pengajaran Geometri di sekolah memerlukan kompetensi dan semangat guru yang memadai.
Siswa Belajar dengan Ilusi
Seperti diketahui bersama, permasalahan pembelajaran intinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk pengajaran Matematika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedikitnya ada empat faktor penyebab kesulitan. Pertama, krusialitas muatan kurikulum (stndar isi). Dalam konteks ini banyak materi Matematika di SMP mempunyai tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (sebagai contoh stnadar isi wacana “Kesebangunan Segitiga”, “Eksponen”, “Lingkaran”, dan “Barisan dan Deret”). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Sejak SD, siswa telah memperoleh banyak rumus, sesudah di SMP mereka kembali mendapatkan banyak sekali macam rumus, yang jumlahnya tidak sedikit. Akhirnya, untuk mengingat rumus yang demikian banyak itu, merupakan beban tersendiri bagi siswa. Apalagi kalau guru hanya menyodorkan rumus “siap pakai” kepada siswa, maka siswa tidak pernah tahu cara menurunkan rumus tersebut. Akhirnya generasi penerus bangsa ini hanya bersifat menghafal. Ketiga, keterbatasan fasilitas; hingga ketika ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Seperti diketahui bersama, belakangan ini pemerintah nyaris tidak lagi memasok alat peraga matematika ke sekolah. Kalau guru pasif dan hanya bersifat menunggu, maka sanggup dipastikan sekolah tidak mempunyai alat-alat pendukung pembelajaran matematika. Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam membuat metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam membuat pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal-soal berbentuk ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended. Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam berguru Geometri, alasannya hambatan wacana kurikulum dan kemudahan memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.
Khusus dalam pengajaran bidang Geometri, beradasarkan pengalaman eksklusif di lapangan, yang tampak paling secara umum dikuasai sebagai penyebab kesulitan ialah keterbatasan alat pendukung pembelajaran. Dengan kata lain, permasalahan pengajaran Geometri muncul ketika banyak guru tidak sempat atau memandang tidak perlu, serta tanpa perjuangan untuk melaksanakan visualisasi objek-objek Geometri yang abnormal itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan kalau kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melaksanakan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pendekar pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu pertolongan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa berupaya membuat alat sendiri. Apalagi tidak pernah terpikir olehnya untuk menugasi siswa membuat model yang sanggup mempermudah mereka memahami konsep-konsep Geometri.
Sejalan dengan perilaku ”tunggu bola” dan kepasrahan itu, karenanya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih secara umum dikuasai menentukan bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangkit ”kerucut”, guru bukan memperlihatkan model kerucut, namun hanya berwacana wacana bangkit runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita wacana diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan wacana kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang sanggup dijadikan model.
Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebetulnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan usang kelamaan mereka bermetamorfosis menjadi ilusionis. Tentunya dalam konteks yang berbeda dengan pesulap legendaris Dedy Corbuzer maupun ilusionis atraktif mirip Demian, yang dalam perannya menghasilkan banyak uang. Kalau pembelajaran di sekolah terus berwujud ”dunia khayalan”, sanggup dibayangkan betapa banyaknya ilusionis tanpa penonton yang akan memenuhi negeri ini, sementara kiprah besar pembangunan yang menghadang di depan mata tidak tergarap. Keadaan ini sanggup dikatakan fase ”Full illusion and no action”, yang ditakuti setiap negara.
Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang sanggup ditanggulangi guru ialah hambatan yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam membuat cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam membuat model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru menentukan jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, hingga pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.
Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini dibutuhkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melaksanakan penemuan pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang sanggup ditempuh ialah mengajak siswa melaksanakan agresi (action) eksklusif dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai berguru wacana konsep Geometri dengan melaksanakan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, menggunakan “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).
Lebih jauh Meier menegaskan bahwa berguru ialah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan gres ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah ialah membuat makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia gres di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.
Aneka “Aksi” yang Dapat Diangkat
Aksi (action) apa yang sanggup dijadikan pola dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya sanggup dibedakan menjadi tiga macam acara nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir wacana konsep. Kedua, acara memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau mengambarkan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.
1. Membuat bagan atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002) menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat gambar yang abstrak. Saya gres menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi ketika saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, kemudian apa yang diperkirakan sebagai belahan esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, gres kemudian teknik analitis sanggup diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita sanggup menentukan salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan seni administrasi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya mencakup unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan problem matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu terang bahwa begitu pentingnya kiprah gambar dalam belajar. Dengan demikian acara melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan bagan atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abnormal sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya sanggup divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abnormal sekalipun, mirip halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih sanggup digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibentuk hendaknya jangan hingga menyesatkan, mirip pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangkit Geometri haruslah sanggup membantu memperlihatkan klarifikasi dalam rangka perjuangan menanamkan pengertian wacana bangkit itu. Misalnya kalau Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan supaya gambar yang Anda buat itu sanggup membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga sanggup dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abnormal itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit perjuangan tidak tidak mungkin guru sanggup menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” contohnya sanggup dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, mirip yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses acara belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abnormal itu, contohnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk aktual sanggup diamati sehingga lebih gampang dipahami. Bentuk aktual dari suatu benda pikiran sanggup berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan wacana kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian wacana kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan pertolongan benda-benda aktual yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam mengambarkan bahwa volum kerucut ialah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari ganjal dan tinggi kedua bangkit itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan membuat atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari acara berguru tentunya menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan membuat suatu karya tertentu, siswa dibutuhkan akan bisa menyebarkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang gres saja berguru jaring-jaring kubus dan balok kemudian mempunyai gagasan untuk membuat suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan sanggup dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang renta siswa. Apalagi contohnya hasil ciptaan anak bersangkutan hingga menang dalam lomba karya ilmiah dan mempunyai hak paten, tentu saja akan mengangkat gambaran dan martabat tempat dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru dibutuhkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah berdasarkan Wiles (1955), guru yang mahir ialah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari banyak sekali pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk bisa memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abnormal dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang bekerjasama dengan alat peraga atau alat praktik yang bisa memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi aneh dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang bisa mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak semenjak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak sanggup mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa mirip itu bagaikan Gatotkaca yang sanggup terbang melangit namun tidak bisa menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melaksanakan “aksi” dalam acara berguru mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat acara nyata (aksi) tersebut. Hal ini dibutuhkan sanggup mengurangi frekuensi imajinasi (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akhir kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu sanggup dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, kalau cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam menentukan padanan objek supaya tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut memperlihatkan terjadinya “kegamangan konsep” akhir adanya agresi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas mengakibatkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran. Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana donasi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, sanggup digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini dibutuhkan sekaligus juga sanggup menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akhir kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangkit dengan rumusnya, kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangkit dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, Rahmani (Penerjemah). 2002. The Accelerated Learning (Dave Meier).
Bandung: Mizan Media Utama.
Iswadji, Djoko, dkk. 1995/1996. Materi Pokok Geometri Ruang, Modul 1-9. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Bagian Proyek Peningkatan Mutu Guru SLTP Setara D-III.
Murtanto, Yudhi. 2002. Sekolah Para Juara, Menerapkan Multiple Intellegences di
Dunia Pendidikan. Bandung: Kaifa.
Oka Yadnya, I Gusti Agung. 2006. Penerapan Model Pembelajaran “Sipitu Berbasis
Gambar” untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika
(Geometri) Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Singaraja (Laporan Penelitian
Tindakan Kelas). Singaraja: /t, p/.
Stein,Edwin I. 1980. Fundamentals of Mathematics. Seventh Edition. Boston: Allyn and
Bacon, Inc.
Penulis:
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya
Guru di SMP Negeri 1 Singaraja
Problematik Pembelajaran Geometri:
Antara ”Action” dan ”Illusion”*)
Oleh
Drs. I Gusti Agung Oka Yadnya**)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Geometri merupakan belahan dari Matematika yang membicarakan hal-hal yang menyangkut titik, garis, bidang, ruang dan keterkaitan satu sama lainnya, sebagaimana diungkapkan oleh Stein (1980) berikut ini:Geometry is the study of points, lines, planes, and space, of measurement and construction of geometric figures, and of geometric facts and relationships. The word “geometry” means “earth measure.” (Stein, 1980: 392).
Menurut Stein, objek Geometri bersifat abstrak. Hal ini tampak terang pada pendapatnya tentang, titik, garis, bidang, dan ruang. Perhatikan contohnya penjelasannya wacana “ruas garis”, berikut ini: “… A definite part of a line has length but no width or thickness. We cannot see a geometric line.”
Masalah pembelajaran Geometri pada jenjang Pendidikan Dasar muncul ketika banyak guru tidak sempat, memandang tidak perlu, atau tanpa perjuangan untuk melaksanakan visualisasi objek-objek Geometri yang abnormal itu. Bahkan, sangat dikhawatirkan kalau kelompok guru yang telah menyadari betul pentingnya alat peraga juga melaksanakan “pelanggaran” dalam tugasnya sehari-hari. Artinya, mereka ”terseret” untuk ikut-ikutan ke kelas tanpa alat bantu pembelajaran. Tidak jarang juga sebagian pendekar pendidikan ini bersikap ”cuek” dan pasrah terhadap kondisi sekolah. Mereka cenderung menunggu pertolongan alat dari pemerintah atau pihak-pihak lainnya, tanpa upaya untuk membuat alat sendiri atau tidak menugasi siswa untuk membuat model yang sanggup mempermudah pemahaman konsep.
Sejalan dengan perilaku ”cuek” dan kepasrahan itu, karenanya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru lebih secara umum dikuasai menentukan bentuk verbalitas (talk only). Sebagai contoh dalam pembahasan bangkit ”kerucut”, guru bukan memperlihatkan model kerucut, namun hanya berwacana wacana bangkit runcing itu. Contoh lain, ada oknum guru hanya bercerita wacana adanya diagonal ruang dan bidang diagonal dalam pembahasan wacana kubus atau balok, serta tidak pernah memperlihatkan benda-benda nyata yang sanggup dijadikan model.
Akibat dari pembelajaran yang hanya bersifat verbalitas itu, siswa selanjutnya menjadi pengkhayal yang ”ulung”. Mereka memaksa dirinya untuk ber-”mimpi” dan membayangkan hal-hal yang sebetulnya tidak pernah mereka ketahui. Jika siswa setiap hari diajak berhalusinasi dan usang kelamaan mereka bermetamorfosis menjadi ilusionis. Keadaan ini sanggup dikatakan fase ”No action and Full Illusion”.
B. Pembatasan Masalah
Permasalahan pembelajaran intinya dipengaruhi oleh banyak faktor. Berdasarkan pengalaman nyata, sedikitnya ada empat faktor penyebab munculnya permasalahan dalam pembelajaran Geometri di tingkat pendidikan dasar, khususnya pada SMP (SMP) atau yang sederajat. Pertama, muatan kurikulum. Dalam konteks ini banyak materi Geometri di SMP mempunyai tingkat kesulitan relatif tinggi, yang melebihi tingkat intelektual siswa rata-rata (beberapa contoh materi krusial disajikan pada lampiran 1). Kedua, ketidaksiapan siswa secara individu, terutama dalam memahami konsep-konsep yang pelik dan menghafalkan (mengingat) rumus-rumus yang demikian banyak. Ketiga, keterbatasan fasilitas; hingga ketika ini sebagian besar sekolah masih terkendala pada alat bantu pembelajaran, seperti: alat peraga, dan media pendukung lainnya. Keempat, kesulitan yang bersumber dari guru; antara lain: (1) kurangnya inisiatif guru dalam membuat metode penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, (2) tidak berupayanya guru dalam membuat pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), (3) kecenderungan guru untuk mengambil jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa, (4) dan kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ dan soal bersifat open-ended.
Dalam kesempatan ini, pembahasan akan difokuskan pada permasalahan yang bersumber dari guru dan ketidaksiapan siswa dalam berguru Geometri, alasannya hambatan wacana kurikulum dan kemudahan memerlukan “sentuhan” pemerintah atau pihak-pihak lain yang berkompeten dalam pengambilan kebijakan dalam bidang pendidikan.
II. PEMBAHASAN
A. Pentingnya Aksi dalam Pembelajaran Geometri
Seperti disinggung sebelumnya, permasalahan yang menyangkut pembelajaran Geometri, yang sanggup ditanggulangi guru ialah hambatan yang bersumber dari guru itu sendiri: mulai dari kurangnya inisiatif guru dalam membuat cara-cara penurunan rumus yang sesuai dengan tingkat intelektual siswa, tidak berupayanya guru dalam membuat model pembelajaran yang KE-EMAS-AN (Kreatif, Efektif, Efisien, Menyenangkan, Aktif, Solutif, dan Antisipatif), kecenderungan guru menentukan jalan pintas dengan hanya memberi rumus siap pakai kepada siswa tanpa dibarengi sajian cara penurunan rumus itu, hingga pada kurangnya kesadaran guru akan pentingnya soal model ‘problem solving’ serta soal-soal open-ended.
Bertolak dari permasalahan itu, dalam konteks ini dibutuhkan guru mau untuk mengubah budaya “ngekoh”, dan siap melaksanakan penemuan pembelajaran. Guru hendaknya mulai beralih dari model pembelajaran konvensional (yang didominasi ceramah) menuju Model Pembelajaran Berdasar Aktivitas (MPBA). Salah satu cara yang sanggup ditempuh ialah mengajak siswa melaksanakan agresi (action) eksklusif dalam pembelajaran sehari-hari. Untuk menemukan konsep-konsep serta memperoleh rumus yang terkandung di dalamnya. Siswa hendaknya memulai berguru wacana konsep Geometri dengan melaksanakan kerja praktik yang melibatkan secara maksimal panca indranya.. Hal ini senada dengan pendapat Meier yang disitir Astuti (2002), sebagai berikut: “Dalam belajar, siswa perlu melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak hanya menggunakan “otak” (sadar, rasional, menggunakan “otak kiri”, verbal), tetapi juga melibatkan seluruh tubuh/pikiran dengan segala emosi, indra dan sarafnya.” (Astuti (2002: 54).
Lebih jauh Meier menegaskan bahwa berguru ialah berkreasi, bukan mengonsumsi. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang diserap oleh pembelajar, melainkan sesuatu yang diciptakan pembelajar. Pembelajaran terjadi ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan gres ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara harfiah ialah membuat makna baru, jaringan saraf baru, dan pola interaksi elektrokimia gres di dalam sistem otak/tubuh secara menyeluruh.
B. Jenis “Aksi” dalam Pembelajaran Geometri
Aksi (action) apa yang sanggup dijadikan pola dalam pembelajaran Geometri? Sedikitnya sanggup dibedakan menjadi tiga macam acara nyata yang mesti dilakukan siswa. Pertama, membuat seketsa atau gambar-gambar untuk memudahkan proses berpikir wacana konsep. Kedua, acara memanipulasi objek atau praktik untuk menyusun rumus atau mengambarkan rumus yang telah ada. Ketiga, membuat suatu produk atau benda dengan menerapkan konsep-konsep yang telah dipelajari.
1. Membuat bagan atau gambar
Banyak pemikir menggunakan perumpamaan dan bahasa gambar (kecerdasan spasial) untuk membantu proses kerja mereka. Ahli fisika John Howarth (dalam Murtanto, 2002) menggambarkan proses pemecahan masalahnya sebagai berikut:
Saya membuat gambar yang abstrak. Saya gres menyadari bahwa proses abstraksi gambar di benak saya menyerupai proses abstraksi ketika saya menghadapi soal-soal fisika secara analitik. Jumlah variabel direduksi, kemudian apa yang diperkirakan sebagai belahan esensial masalah tersebut disederhanakan dan dibahas, gres kemudian teknik analitis sanggup diterapkan, ketika membuat gambaran visual, kita sanggup menentukan salah satu yang mengandung representasi unsur-unsur dasar – gambar yang disederhanakan, diabstraksi dari sejumlah gambar lain, dan berisi unsur-unsur yang sama (Murtanto, 2002: 225).
Menurut Murtanto, pemikir lain juga menggunakan seni administrasi pemecahan masalah dengan menggabungkan imaji spasial-visual dengan aspek kinetik atau kinestetis-jasmani pikiran. Einstein pun megatakan bahwa proses berpikirnya mencakup unsur visual. Hal yang sama juga berlaku pada Henri Poincare , yang mengisahkan pengalamannya berjuang memecahkan problem matematika yang membingungkan selama lima belas hari, juga berakhir dengan gambar (Murtanto, 2002: 225).
Dari beberapa pendapat itu terang bahwa begitu pentingnya kiprah gambar dalam belajar. Dengan demikian acara melibatkan siswa dalam kreativitas pembuatan bagan atau gambar dalam rangka memvisualisasikan dan menyederhanakan konsep-konsep pelajaran yang abnormal sangatlah penting.
Walaupun konsep-konsep yang diacu Geometri bersifat abstrak, namun, unsur-unsur penting Geometri pada umumnya sanggup divisualisasikan dengan gambar atau diperagakan dengan model tiga dimensi. Jika mau jujur, objek yang paling abnormal sekalipun, mirip halnya ”keinginan”, ”kemajuan”, dan sebagainya masih sanggup digambarkan, minimal sesuai dengan bayangan dan imajinasi masing-masing. Itu artinya, kalau guru mau berusaha untuk memvisualisasikan objek bahasan dari Geometri, sangat memungkinkan untuk divisualisasikan. Hanya saja gambar yang dibentuk hendaknya jangan hingga menyesatkan, mirip pesan Iswadji, dkk. Berikut ini:
Gambar dari suatu bangkit Geometri haruslah sanggup membantu memperlihatkan klarifikasi dalam rangka perjuangan menanamkan pengertian wacana bangkit itu. Misalnya kalau Anda membuat gambar sebuah balok haruslah sejauh mungkin diusahakan supaya gambar yang Anda buat itu sanggup membantu memahami pengertian dan sifat balok yang dimaksudkan (Iswadji, 1995/1996: 6).
2. Kegiatan manipulasi objek
Tentang objek Geometri yang bersifat abstrak, tidaklah perlu menjadi alasan akan susahnya mencari padanan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pembelajaran “garis” misalnya, selain bisa digambarkan juga sanggup dimodelkan. Gambar garis hanyalah sebagai representasi dari garis yang bersifat abnormal itu. Perhatikan penegasan Stein berikut: “A geometric line is a set of points. The pencil or chalk lines we draw are only representations of geometric lines.”
Lebih jauh dari itu, dengan sedikit perjuangan tidak tidak mungkin guru sanggup menemukan aplikasinya atau relevansinya ke dalam kehidupan nyata. Model “garis” contohnya sanggup dicontohkan tongkat, tiang rumah, benang yang dibentangkan, dan sebagainya. Bahkan, Iswadji, dkk. (1995/1996) mewajibkan guru untuk mencari padanan bangun-bangun Geometri ke dalam benda konkret, mirip yang diungkapkan berikut ini:
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek itu, khususnya pada proses acara belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abnormal itu, contohnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk aktual sanggup diamati sehingga lebih gampang dipahami. Bentuk aktual dari suatu benda pikiran sanggup berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan wacana kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya (Iswadji, dkk., 1995/1996: 6).
Untuk suatu pembuktian wacana kebenaran rumus atau penyusunan rumus baru, dengan pertolongan benda-benda aktual yang relevan akan mempercepat pemahaman siswa dan menuntun mereka dalam proses pemahaman konsep itu sendiri. Sebagai contoh dalam mengambarkan bahwa volum kerucut ialah sepertiga dari volum tabung yang jari-jari ganjal dan tinggi kedua bangkit itu sama, maka siswa perlu dilibatkan dalam kerja praktik menuangkan pasir dari kerucut ke dalam tabung secara berulang-ulang.
3. Membuat produk (karya nyata)
Kegiatan membuat hasil karya atau produk merupakan tingkatan tertinggi dalam proses belajar. Mengapa? Dengan kemampuan membuat atau menghasilkan suatu karya nyata berarti siswa telah memahami dengan baik konsep-konsep yang terkandung di dalamnya. Memang muara dari acara berguru tentunya menghasilkan sesuatu yang mempunyai kegunaan bagi diri sendiri dan masyarakat luas. Dengan kemampuan membuat suatu karya tertentu, siswa dibutuhkan akan bisa menyebarkan kemampuannya itu untuk mengarungi kehidupan ini, yang mana ke depan semakin kompetitif.
Ambil contoh, siswa yang gres saja berguru jaring-jaring kubus dan balok kemudian mempunyai gagasan untuk membuat suatu karya ”kemasan produk” yang bentuknya unik, menarik, dan hemat bahan, maka yang bersangkutan sanggup dikatakan telah menghasilkan suatu produk hasil ciptaannya sendiri. Hal ini tentu saja akan membanggakan baik bagi guru, sekolah maupun orang renta siswa. Apalagi contohnya hasil ciptaan anak bersangkutan hingga menang dalam lomba karya ilmiah dan mempunyai hak paten, tentu saja akan mengangkat gambaran dan martabat tempat dan bangsa. Dengan alasan itu, maka guru dibutuhkan senantiasa melibatkan siswa dalam penciptaan produk yang relevan dengan konsep yang sedang dibahas serta sesuai dengan kemampuan dan tingkat intelektual siswa. Bukankah berdasarkan Wiles (1955), guru yang mahir ialah guru yang memberi inspirasi kepada anak didik untuk menghasilkan sesuatu (tentunya yang berguna).
Bertolak dari banyak sekali pendapat tersebut, guru Matematika, terutama guru di tingkat Pendidikan Dasar dituntut untuk bisa memvisualisasikan objek bahasan yang bersifat abnormal dan selalu mengusahakan alat bantu pembelajaran, terutama yang bekerjasama dengan alat peraga atau alat praktik yang bisa memudahkan dan mempercepat pemahaman siswa. Selain itu, dengan mengajak siswa untuk menghasilkan suatu produk yang didasari konsep-konsep yang sedang dipelajari akan menjadikan pelajaran lebih bermakna.
Kekurangsiapan sebagian guru dalam menyiapkan alat peraga dan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata, yang berakibat siswa menjadi aneh dengan kebermanfaatan pelajaran Geometri, harus segera diantisipasi dengan model pembelajaran yang bisa mengoptimalkan keterlibatan panca indra siswa.
Jika tidak semenjak dini dibiasakan siswa mengaplikasikan teori pelajaran yang diterimanya di kelas ke dalam kehidupan nyata, maka kelak mereka tidak sanggup mengaitkan konsep-konsep pelajaran itu untuk memecahkan permasalahan nyata yang ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari. Kalau diibaratkan, siswa mirip itu bagaikan Gatotkaca yang sanggup terbang melangit namun tidak bisa menapak bumi. Dengan kata lain, guru perlu mengajak siswa melaksanakan “aksi” dalam acara berguru mengajar untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep pelajaran, menemukan keterkaitan materi dengan masalah nyata, serta menguatkan daya ingat siswa terhadap rumus-rumus yang ditemukan lewat acara nyata (aksi) tersebut. Hal ini dibutuhkan sanggup mengurangi frekuensi imajinasi (ilusi) yang telah melanda sebagian siswa, sebagai akhir kurangnya pengetahuan mereka terhadap keterkaitan materi pelajaran dengan objek nyata.
Jika digambarkan, antara “aksi” dan “ilusi” itu sanggup dipandang sebagai dua kutub yang bertolak belakang. Tetapi, kalau cara visualisasi atau pemodelannya salah, maka kedua kutub tersebut bertemu membentuk ruang gelap yang mencerminkan terjadinya “kegamangan konsep” dalam pikiran siswa. Untuk itu, perlu kehati-hatian guru dalam menentukan padanan objek supaya tidak berbalik menyesatkan siswa. Gambar berikut memperlihatkan terjadinya “kegamangan konsep” akhir adanya agresi yang tidak pas.
Gb. 1: Aksi yang belum pas mengakibatkan ”kegamangan”
Jika guru menampilkan gambar/sketsa, maka gambar tersebut harus memenuhi syarat dari segi kesesuaian bentuk dan perbandingan ukuran. Seperti yang telah disebutkan, ”aksi” yang sesuai akan mengurangi terjadinya ”ilusi”. Sejauh mana donasi ”aksi” untuk mengurangi ”ilusi” siswa, sanggup digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut:
Solusi yang ditawarkan dalam kesempatan ini dibutuhkan sekaligus juga sanggup menjawab atau paling tidak meringankan jenis kesulitan siswa yang termasuk kesulitan akhir kondisi awal atau ketidaksiapan siswa secara individu; diantaranya: kesulitan dalam menghubungkan antara gambar bangkit dengan rumusnya, kecenderungan siswa untuk sekedar menghafal rumus dan bukan memahami cara penurunannya, kesulitan dalam mengkonversi bangkit dari bentuk satu ke bentuk lain, serta kesulitan dalam mengubah variabel pokok dari suatu formula.
B. “Sipitu” sebagai Sebuah Model Pembelajaran
Rendahnya prestasi berguru Matematika siswa, khususnya menyangkut pokok-pokok bahasan Geometri, telah memotivasi penulis melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Kelemahan fundamental yang sanggup ditemukan pada siswa yang menjadi tanggung jawab penulis antara lain kelemahan siswa dalam mengingat rumus-rumus Geometri yang demikian banyaknya. Sebagian besar siswa hanya bersifat ”menghafal” rumus dan tidak memahami bagaimana asal mula terbentuknya rumus tersebut. Akibatnya mereka cepat lupa, lantaran kekuatan mengingat insan sangat terbatas, mirip yang dikemukakan Negoro dan B. Harahap (1984) bahwa baik siswa, guru, bahkan profesor pun tidak sanggup mengingat semua rumus yang pernah dipelajarinya.
Bertolak dari fenomena itu, pada semester genap tahun fatwa 2005/2006 penulis mencoba mengajak siswa untuk berpikir bahwa rumus bukanlah satu-satunya cara untuk menghitung. Rumus yang banyak jumlahnya itu tidak perlu dianggap sebagai beban yang harus dihafalkan semuanya. Selanjutnya penulis terapkan model pembelajaran ”Sipitu”, yang merupakan akronim dari aksi-pikir-tulis. Artinya, model pembelajaran ini menekankan pada tiga hal penting, yaitu: kerja praktik (aksi), memikirkan konsep atau rumus yang diperoleh dari kerja praktik (pikir), dan menyusun serta menulis konsep atau rumus tersebut (tulis). Adapun hasilnya cukup positif, selain motivasi berguru siswa meningkat, kelompok siswa yang sebelumnya mempunyai nilai ulangan Geometri rata-rata di bawah 6,5, sesudah dilakukan penemuan pembelajaran menjadi di atas 7,0. Hasil penelitian ini, secara ringkas disajikan pada lampiran 2.
III. PENUTUP
A. Simpulan
Dalam geometri objek yang dibicarakan merupakan benda-benda pikiran yang sifatnya abstrak. Jika objek yang abnormal ini disajikan oleh guru hanya dalam bentuk wacana belaka, maka siswa akan mempelajari Geometri secara khayalan. Mereka berhalusinasi dalam memikirkan konsep yang abnormal tanpa pernah diketahui padanannya dengan benda nyata yang sanggup ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.
Untuk mengantisipasi hal itu, guru perlu melaksanakan penemuan pembelajaran dengan melibatkan siswa secara eksklusif dalam acara kerja praktik. Atau setidaknya, pada waktu guru membicarakan objek Geometri, khususnya pada proses acara belajar-mengajar dalam kelas, objek yang abnormal itu, contohnya balok atau kubus perlu ditunjukkan padanannya dalam bentuk benda konkret. Bentuk aktual sanggup diamati sehingga lebih gampang dipahami. Bentuk konhret dari suatu benda pikiran sanggup berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Pada waktu Anda membicarakan wacana kubus, dalam kelas sebaiknya kita siapkan gambar kubus atau model kubus, atau mungkin juga perlu disiapkan keduanya.
Satu penawaran wacana model pembelajaran yang telah terbukti memperlihatkan hasil positif di SMP Negeri 1 Singaraja ialah “Model Pembelajaran Sipitu”. Model pembelajaran ini telah diujicobakan beberapa kali dan ternyata berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dan prestasi berguru siswa.
B. Saran-saran
Seiring dengan simpulan tersebut di atas, dalam kesempatan ini dikemukakan beberapa saran, yaitu:
- Kepada guru Matematika dibutuhkan segera melaksanakan pembaharuan pembelajaran, terutama untuk pokok-pokok bahasan Geometri, mengingat materi ini relatif sulit bagi siswa pada umumnya.
- Kepada kepala sekolah dibutuhkan senantiasa mendukung upaya yang dilakukan guru untuk memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bnetuk moril maupun material sesuai dengan kemampuan forum yang dipimpinnya.
- Kepada pihak-pihak terkait, yang berkompeten dalam bidang pendidikan, mirip Dinas Pendidikan dan jajarannya, dibutuhkan menyediakan anggaran bagi guru untuk melaksanakan acara penemuan pembelajaran dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, terutama pada jenjang Pendidikan Dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Kontak 081333052032
Sumber: http://www.infodiknas.com
0 Komentar untuk "Problematik Pembelajaran Geometri Di Sekolah"