Antara Drama Dan Film

PADA ekspresi dominan semi 1942, Hinatsu Eitaroo tiba di Jawa sebagai bab dari rombongan andal kebudayaan Jepang yang bekerja untuk Kantor Propaganda Jepang (Sendenbu).
Sendenbu, yang merupakan organ utama pemerintah militer (Gunseikanbu) Jepang, dibuat pada Agustus 1942. Ia bertanggung jawab atas propaganda dan info yang menyangkut pemerintahan sipil. Beberapa orang berbakat dan seorang andal di bidang kesenian tertentu, menyerupai Hinatsu, direkrut.
Pendudukan Jepang membawa perubahan besar-besaran dalam produksi film dan sandiwara di Jawa. Pembikinan film (propaganda) dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah. Film-film Jepang, terutama yang berkhasiat untuk propaganda, diimpor. Dalam bidang drama, Sendenbu membentuk sekolah dan mendorong pembentukan kelompok-kelompok teater baru, yang kemudian berkumpul dalam Jawa Engeki Kyokai atau Perserikatan Oesaha Sandiwara di Djawa (POSD). Produksi drama meningkat, lahir dari karya seniman Indonesia menyerupai Abu Hanifah, Usmar Ismail, Armijn Pane, Idrus, Kotot Sukardi....
Hinatsu bertugas memimpin POSD, yang menggalakkan penulisan dan pementasan drama. Kelompok sandiwara yang semula bermain tanpa naskah diharuskan mementaskan dongeng tertulis, sehabis melalui sensor POSD. Hinatsu akan murka kalau ada seniman yang menyalahi aturan. Kamadjaja, misalnya, pernah kena semprot alasannya yakni nekat mengubah isi lakon teater “Petjah sebagai Ratna” karya Kotot Soekardi yang dipentaskan kelompok sandiwara Tjahaja Timoer. Tapi akibatnya Hinatsu membisu saja sehabis menonton pementasan.
Usaha lainnya melalui sayembara penulisan skenario film, lakon sandiwara, syair, dan semboyan yang bertemakan pengerahan Romusha. Hasil sayembara akan dibikin film, pementasan, dimuat di majalah dan suratkabar. Mohammad Hatta menjadi ketua panitia, dan Hinatsu menjadi wakilnya.
“Sayembara serupa ini perlu diadakan sebagai tindakan untuk menyempurnakan pengerahan Romusha dan untuk menyatakan penghargaan pada mereka,” ujar Hinatsu menyerupai dikutip Asia Raya, 4 Juni 1945.
Hinatsu sendiri rajin menulis naskah drama, yang kemudian dipentaskan di beberapa kota. Lakon-musiknya “Asia Gembira” dipentaskan kelompok sandiwara Warnasari di Jakarta, yang menampilkan tarian, nyanyian, dan musik dari aneka macam wilayah Asia Timur Raya. Ada juga pementasan akbar lakonnya “Boenga Rampai Djawa Baroe”, yang merangkai tarian, nyanyian, lelucon, sandiwara, dan pencak silat, untuk menyambut peringatan tiga tahun koran Djawa Baroe.
Karya terpopulernya, “Fadjar Telah Menjingsing”, dipentaskan di Jakarta dan Surabaya untuk menyambut kesepakatan Indonesia merdeka di kemudian hari –yang disampaikan Panglima Tertinggi Tentara Jepang di Asia Tenggara Marsekal Terauci dikala bertemu Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat di markasnya di Dalat, Vietnam– sekaligus peringatan hari jadi POSD. Pemainnya: bintang-bintang sandiwara kenamaan dari aneka macam kelompok sandiwara menyerupai Tjahaja Timoer, Warnasari, Noesantara, Bintang Soerabaja, dan Dewi Mada.
“POSD dengan demikian ingin menerangkan adanya adonan dan persatuan di antara aneka macam sandiwara di Jawa, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam riwayat sandiwara di Indonesia,” tulis Soeara Asia, 6 September 1944.
Hinatsu juga mengarang syair lagu “Kirikomi no Uta” karya Kusbini. Keahliannya dalam bidang film beliau terapkan dalam penyutradaraan film dokumenter Calling Australia (Goshu no Yobigoe, 1944) untuk menjawab kritik Sekutu soal kamp tahanan Jepang. Pembuatannya dilakukan di salah satu kamp, dengan pemain film tahanan perang sungguhan.
Film ini menggambarkan bagaimana para tahanan menikmati kehidupan yang nyaman di kamp-kamp tahanan. Mereka menerima perawatan kesehatan yang baik, bebas menyiapkan makanan di dapur, minum bir, dan main bilyar. Tahanan wanita mengeluhkan kenaikan berat tubuh mereka. Ketika pembuatan film hampir rampung, pamflet wacana film itu dijatuhkan ke seantero Australia. Harapannya, semangat tentara Australia kendor dan mendorong mereka mengalah kepada Jepang.
Propaganda Jepang ternyata tak sebanding dengan kemampuan tempurnya dalam Perang Pasifik. Pada 1945, Jepang kalah perang. Film Calling Australia karya Hinatsu dirampas kemudian dibikin ulang oleh sutradara Belanda Jaap Speyer untuk mengatakan perlakuan kejam tentara Jepang dengan judul Nippon Presents. Calling Australia juga diputar di Pengadilan Kejahatan Perang di Tokyo pada 1945 sebagai bukti yang memberatkan para pemimpin militer Jepang.
Dalam situasi ini, sekali lagi Hinatsu mengambil keputusan sulit. Kepada seorang teman dekatnya, Hinatsu berkata: “Kalian (orang-orang Korea) semua tiba ke sini (Indonesia) dalam sebuah kelompok yang bekerja untuk militer Jepang. Tapi saya atas inisiatif sendiri mencoba membujuk pemerintah kolonial Korea untuk menciptakan You and I dengan pinjaman militer kolonial. Semua orang tahu wacana You and I. Semua orang tahu bahwa Hue Yong dan Hinatsu Eitaroo yakni orang yang sama. Ditambah lagi bahasa Korea saya tak begitu bagus. Saya yakni seorang Korea yang hampir tak mengetahui apapun wacana sejarah Korea selain apa yang saya pelajari di Tokyo… Apabila saya kembali ke Korea, saya akan dicap sebagai antek Jepang,” ungkapnya menyerupai ditulis Michael Baskett dalam The Attractive Empire: Transnational Film Culture in Imperial Japan.
Hinatsu Eitaroo menentukan tetap tinggal di Indonesia dan mengganti namanya menjadi Dr Huyung. Dia juga menikahi seorang wanita Indonesia, dan mulai membangun dunia teater dan film Indonesia yang sedang berkembang.

Related : Antara Drama Dan Film

0 Komentar untuk "Antara Drama Dan Film"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)