Dampak Kekeringan Di Indonesia

Kekeringan merupakan keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam periode waktu yang berkepanjangan, bisa beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Biasanya peristiwa ini muncul kalau suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Musim kemarau yang panjang akan mengakibatkan kekeringan lantaran cadangan air tanah akan habis akhir evaporasi, transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia.

Kekeringan dianggap salah satu musibah yang dampaknya sangat dirasakan oleh masyarakat terutama petani. Terlebih lagi tragedi kekeringan menimbulkan kurang tersedianya air higienis untuk keperluan sehari-hari bagi masyarakat. Pada tahun 1997 pada dikala fenomena EL-Nino kuat sekali, menimbulkan kekeringan diseluruh wilayah Indonesia. Bencana kekeringan, selain diakibatkan oleh kurangnya curah hujan, juga sanggup diakibatkan oleh kurangnya daya serap air. Kurangnya daya serap air dipicu oleh perubahan tata guna lahan dari daerah hutan bermetamorfosis daerah industri, perumahan dan lain-lain. Sehingga kadar air tanah pada satu daerah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pertanian dan kebutuhan air higienis sehari-hari.

Di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini mengalami peningkatan pertumbuhan penduduk yang signifikan. Banyaknya jumlah penduduk tersebut mengahsilkan demand terhadap tempat tinggal untuk kelangsungan hidupnya. Dari sinilah muncul banyak sekali permasalahan, diantaranya ialah meningkatnya konversi penggunaan lahan dari lahan pertanian bermetamorfosis lahan permukiman. Lahan yang seharusnya difungsikan sebagai daerah tangkapan air hujan bermetamorfosis perumahan elit, sehingga meningkatkan debit fatwa permukaan (overlandflow) di daerah tersebut dimana air hujan tidak bisa lagi berinfiltrasi ke dalam tanah lantaran tanah tersebut sudah tertutup oleh bangunan.

Selain itu, maraknya deforestasi besar-besaran disejumlah daerah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, terutama di Kalimantan dan Sumatera, yang berimbas pada semakin berkurangnya lahan hutan. Sehingga air hujan tidak bisa lagi berintersepsi ke tajuk vegetasi lantaran lahan tersebut sudah menjadi lahan gundul. Padahal eksistensi hutan tersebut, selain sanggup menunjukkan suplai O2 ke atmosfer tetapi juga sanggup menampung air hujan dari proses presipitasi. Efek dari kegiatan tersebut dirasakan ketika ekspresi dominan kemarau panjang menyerupai kini ini, dimana kelangkaan air tanah sanggup kita rasakan disejumlah daerah. Para pemerhati lingkungan dalam hal ini sangat prihatin dengan kondisi yang demikian.

Berbagai kegiatan pertambangan dan perindustrian juga menunjukkan sumbangan terhadap degradasi lingkungan, dimana kaidah-kaidah lingkungan yang seharusnya ditaati, tidak diindahkan lagi, akan tetapi faktor hemat yang menjadi tujuan utamanya. Alhasil, pembuangan limbah tidak terorganisir dengan baik, yang pada gilirannya memicu pencemaran lingkungan. Selain itu, pencemaran logam berat dan materi kimia yang berbahaya lainnya ikut mencemari lingkungan sekitar. Hal inilah yang mengakibatkan kualitas air semakin menurun, sehingga tidak sanggup lagi dikonsumsi oleh manusia.

Dampak Kekeringan
Kementerian Pekerjaan umum mencatat sebanyak 13 waduk kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami kekeringan. Dari 13 waduk tersebut, delapan waduk diantaranya ada di Jawa Tangah yaitu Krisak, Plumbon, Kedunguling, Nawangan, dan Ngancar di Wonogiri. Kemudian Delingan dan Gebyar di Karanganyar serta waduk Botok di Sragen. Sedangkan lima waduk lainnya ada di Jawa Timur yaitu waduk Prijetan di Lamongan dan waduk Notopuro dan Dawuhan di Madiun. Serta waduk Ranu Plakis dan waduk Ranu Klakah di Lumajang (Tempo, 07/09/2012). Dari total sekitar 5.000.000 hektar sawah di Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umun mencatat ada 120.000 hektar sawah yang mengalami kekeringan. Sawah yang paling banyak mengalami kekeringan ada di Jawa Barat yakni sekitar 55 ribu hektar sawah yang mengalami kekeringan terdapat di Cirebon, Sukabumi, dan Subang (Tempo, 06/09/ 2012).

Musim kemarau yang panjang dan kekeringan di sejumlah wilayah Pulau Jawa mengakibatkan sebagian besar petambak mengalami kerugian sedikitnya mencapai Rp 10.000.000-15.000.000, lantaran para petambak tergantung pada air tawar, hal ini disampaikan oleh Organisasi tani dan nelayan, Kontak Tani dan Nelayan Andalan KTNA (BBC 15/09/2012). Akibat dari kemarau panjang yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia dikala ini, berdampak pada menyusutnya cadangan air waduk, dimana berdasarkan pemantauan Kementerian PU terhadap 71 waduk yang tersebar di Indonesia, hingga simpulan Agustus 2012 terdapat 19 waduk normal, 42 waspada, dan 10 kering (Inilah.com 07/09/2012).

Kekeringan yang gres terjadi disejumlah daerah di Indonesia, merupakan salah satu dampak akhir perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Indikasi utama perubahan tersebut ialah adanya anomali cuaca, dimana pada bulan September ini, seharusnya sudah mengalami ekspresi dominan penghujan, akan tetapi berdasarkan laporan dari BMKG bahwa ekspresi dominan kemarau diperkirakan hingga pada bulan Oktober atau Desember. Selain akhir dari perubahan iklim, kelangkaan air juga disebabkan oleh kegiatan manusia. Dimana kegiatan insan juga berkontribusi terhadap permasalahan ini akhir aktivitasnya yang melaksanakan pembalakan hutan besar-besaran, memperbesar sumbangan gas CO2 ke atmosfer melalui emisi gas rumah kaca, serta kegiatan pertambangan yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Akibatnya menyerupai yang kita rasakan dikala ini, beberapa waduk di Pulau Jawa telah mengalami penurunan debit simpanan air yang berdampak pada defisit air untuk kebutuhan irigasi pertanian, serta mengeringnya sumur-sumur penduduk dibeberapa daerah.

Faktor lain yang besar lengan berkuasa ialah tingginya intensitas pembangunan gedung di kota-kota besar, yang berdampak pada semakin meningkatnya fatwa permukaan dikala ekspresi dominan penghujan lantaran sebagian besar lapisan tanahnya sudah terkover oleh aspal dan beton, sehingga air hujan tidak bisa berinfiltrasi ke dalam tanah sebagai simpanan air tanah di dalam akuifer. Selain itu, tingginya kegiatan perubahan penggunaan lahan didaerah pegunungan dan perbukitan dari hutan ke permukiman, juga memperbesar debit fatwa sungai dan juga menimbulkan peningkatan volume sedimentasi waduk dan sungai, akhirnya waduk dan sungai tersebut sudah mengalami pendangkalan dini, dan selanjutnya menimbulkan volume simpanan air dalam waduk menjadi semakin menurun dari kondisi sebelumnya. Hal inilah yang mengakibatkan lahan sawah disejumlah daerah mengalami kekeringan akhir suplay air dari waduk sangat sedikit.

Mitigasi Kekeringan
Sejauh ini belum ada solusi alternatif untuk mengatasi tragedi kekeringan ini secara efektif dan efisien, baik dari kalangan akademisi maupun dari kalangan pemerintah, dimana kebanyakan solusi alternatif yang ditawarkan masih bersifat kontemporer dan hanya sanggup mengatasi permasalahan tersebut dalam jangka waktu yang pendek. Misalnya menyerupai pembuatan hujan buatan di atmosfer, santunan air higienis dari PDAM, pembuatan waduk dan embung sebagai tempat simpanan air, dan pembuatan kolam penampungan air hujan. Solusi tersebut memang sangat membantu masyarakat yang sedang terkena tragedi kekeringan, akan tetapi hanya bersifat kontemporer, lantaran bisa dipastikan pada ekspresi dominan kemarau yang akan tiba juga akan mengalami permasalahan yang serupa.

Padahal anggaran dana yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah hingga beratus-ratus juta, bahkan hingga bermilyar-milyar rupiah, akan tetapi hingga dikala ini masih banyak terjadi tragedi kekeringan dimana-mana. Hal inilah yang menjadi pertanyaan besar dalam benak penulis, kenapa permasalahan tersebut juga belum kunjung berakhir? malahan, semakin bertambahnya tahun, kondisi permasalahannya dan intensitasnya juga semakin meningkat. Atau apakah hal tersebut disebabkan oleh faktor lingkungannya ataukah sumberdaya manusianya?. Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh masyarakat yang terkena dampak kekeringan pada umumnya, dan oleh pemerintah pada khususnya.

Dari banyak sekali dampak yang ditimbulkan oleh kekeringan, diharapkan suatu upaya mitigasi, apabila hal tersebut tidak memungkinkan, paling tidak, ada suatu alternatif untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang demikian. Salah satu upaya mitigasi kekeringan dalam bidang pertanian, yakni perlunya isu spasial wacana indeks kekeringan, lantaran dengan isu ini sanggup ditentukan teladan tanam, pemilihan varietas yang cocok. Informasi indeks kekeringan sanggup dibentuk berdasarkan karakteristik iklim menyerupai teladan hujan bulanan, suhu udara, penguapan dan sifat fisis tanah itu sendiri. Informasi lain yang penting ialah isu ketersediaan air tanah. Dengan isu ini sanggup direncanakan budidaya tumbuhan dan tataguna lahan.

Selain itu, dampak kekeringan juga mengkover kebutuhan masyarakat sehari-hari. Seharusnya ketika ekspresi dominan kemarau tiba, masyarakat dihimbau supaya tidak memanfaatkan air yang tidak higenis, lantaran akan berdampak pada terganggunya kesehatan. Dalam hal ini, pemerintah harus tanggap dengan kondisi emergensi yang demikian, semoga segera menunjukkan suplai air higienis kepada masyarakat yang dilanda kekeringan. Paling tidak, pemerintah sanggup menunjukkan solusi yang sempurna terhadap permasalahan tersebut.
Referensi:
Anonim, 2012, Petambak Merugi Akibat Kekeringan (internet), BBC edisi 15 September 2012, <http://bbc.co.uk>, (Diakses 24 September 2012)
Syailendra, 2012, 13 Waduk di Jawa Mengalami Kekeringan (internet), Tempo edisi 7 September 2012), , (diakses 24 September 2012)
Syailendra, 2012, 120 Ribu Hektare Sawah Kekeringan (internet), Tempo edisi 6 September 2012), , (diakses 23 September 2012)
Yakin F.Q., 2012, 127.788 Hektare Sawah di Indonesia Kekeringan (internet), Inilah.com edisi 7 September 2012, <http://nasional.inilah.com/>, (Diakses 25 September 2012)

Related : Dampak Kekeringan Di Indonesia

0 Komentar untuk "Dampak Kekeringan Di Indonesia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)