Kita yang berada di Indonesia, ketika ini paling tidak mengenal empat macam tahun yang berbeda-beda, contohnya Tahun Masehi, Tahun Hijriah, Tahun Jawa, dan Tahun Imlek. Tahun Masehi didasarkan atas perputaran bumi mengitari matahari yang dikenal dengan tahun matahari, dan berkaitan dengan musim, sementara Tahun Hijriyah dan Tahun Jawa didasarkan pada perputaran bulan mengelilingi bumi dan tidak berkaitan dengan musim. Tahun yang menurut perputaran matahari dan bulan mempunyai perbedaan jumlah hari setiap tahunnya. Untuk tahun matahari, setiap tahunnya berjumlah 365/366 hari, sementara untuk tahun bulan, mempunyai hari 354 per tahun.
Tahun Masehi mengawali tahun barunya setiap tanggal 1 Januari sementara Tahun Hijriyah mengawali tahun gres pada tanggal 1 Muharram dan Tahun Jawa pada tanggal 1 Suro. Tahun Jawa mempunyai kesamaan dengan Tahun Hijriyah terutama mengawali tanggal dan bulannya. Perbedaannya terletak pada istilah penyebutan nama bulan. Tahun Hijriyah menyebut bulan Muharram atau Asyuro, sementara Tahun Jawa menyebut bulan Suro. Kesamaan keduanya ternyata sanggup ditelusuri dari sejarah kerajaan Mataram Islam di bawah kekuasaan pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi).
Ketika itu di masyarakat Jawa, tahun yang menjadi pegangan masyarakat pada zamannya ialah Tahun Saka yang menurut peredaran matahari. Sementara bagi umat Islam sendiri memakai Tahun Hijriyah. Pada waktu Sultan Agung berkuasa, Islam telah diakui menjadi agama di lingkungan istana Mataram Islam. Maka untuk tetap meneruskan penanggalan Tahun Saka yang berasal dari leluhurnya, dan ingin mengikuti penanggalan Tahun Hijriyah, maka Sultan Agung menciptakan kebijakan mengubah Tahun Saka menjadi Tahun Jawa. Maka ketika tahun 1555 Saka, oleh Sultan Agung diganti menjadi tahun 1555 Jawa dan berlaku untuk masyarakat pengikutnya. Sementara penetapan tanggal dan bulannya disamakan dengan tanggal dan bulan Tahun Hijriyah. Berarti tanggal 1 Suro 1555 Tahun Jawa sama dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah dan bertepatan pula dengan tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Nama-nama bulan pada Tahun Jawa pun dibentuk lain dan berbeda dengan nama-nama Tahun Hijriyah. Tentu saja disesuikan dengan ucapan masyarakat Jawa. Seperti bulan Muharram (Tahun Hijriyah) = bulan Suro (Tahun Jawa), bulan Shafar = Sapar, bulan Rabi’ul Awal = Maulud, bulan Rabi’ul Tsani = Bakda Maulud, bulan Jumadil Ula = Jumadil Awal, bulan Jumadil Tsaniyah = Jumadil Akir, bulan Rajab = Rejeb, bulan Sya’ban = Ruwah, bulan Ramadhan = Pasa, bulan Syawwal = Sawal, bulan Dzulqa’dah = Dulkaidah, dan bulan Dzulhijjah = Besar.
Pada umumnya masyarakat menjelang tahun baru, contohnya Tahun Baru Masehi, banyak melaksanakan aktivitas untuk menyambutnya. Kegiatan tersebut biasanya tidak terlepas dari upaya introspeksi dan harapan-harapan. Introspeksi dilakukan tentunya berkaitan dengan perbuatan-perbuatan di tahun lalu, apakah perbuatannya itu telah bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat atau justru merugikan orang lain. Jika masih banyak merugikan orang lain, tentunya akan diperbaiki pada tahun gres ini, itulah harapan-harapannya. Namun tidak sedikit pula masyarakat yang merayakan tahun gres hanya bertujuan ingin bersenang-senang. Memang karenanya harus dikembalikan kepada masyarakat sendiri sebagai pencipta budaya untuk memahami sebuah arti tahun baru.
Begitu juga ketika menjelang Tahun Baru Jawa, tentunya masyarakat Jawa pun ingin mempunyai harapan-harapan yang lebih baik di tahun gres dan tentunya juga melaksanakan introspeksi terhadap tindakan di masa silam. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bulan Suro, baik menjelang maupun selama bulan Suro terperinci tidak terlepas dari introspeksi dan harapan-harapan itu. Namun dalam perkembangannya pun sanggup saja mengalami pergeseran persepsi.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung semenjak berabad-abad yang lalu. Kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang tersebut karenanya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan. Itulah yang kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ialah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya biar selalu tetap eling lan waspada. Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi ‘asal mulanya’, kedudukannya sebagai makhluk Tuhan, tugasnya sebagai khalifah insan di bumi baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena sebetulnya godaan itu sanggup menjauhkan diri dari sang Pencipta, sehingga sanggup menjauhkan diri mencapai manunggaling kawula gusti ‘bersatunya makhluk dan Khalik’.
Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya, juga disebut bulan yang sakral, alasannya ialah dianggap bulan yang suci, bulan untuk melaksanakan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang tulus untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Itulah esensi dari aktivitas budaya yang dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Pasa (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yang memeluk agama Islam.
Laku yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak caranya. Ada yang melaksanakan laris dengan cara nenepi ‘meditasi untuk merenung diri’ di tempat-tempat sakral (di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon tua, dan sebagainya), dan ada juga yang melaksanakan dengan cara lek-lekan ‘berjaga hingga pagi hari’ di tempat-tempat umum (tugu Yogya, Pantai Parangkusumo, dan sebagainya). Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melaksanakan cara sendiri yaitu mengelilingi beteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yang sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melaksanakan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melaksanakan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yang baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain melaksanakan aktivitas pencucian barang-barang berharga, menyerupai jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam Imogiri, dan sebagainya. Ada juga yang melaksanakan aktivitas sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa kemudian dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowong, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yang dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya ialah perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.
Namun, akhir perkembangan zaman, semakin heterogennya masyarakat satu komunitas dan juga alasannya ialah efek dari banyak sekali kepentingan yang sangat kompleks, lambat laun, banyak masyarakat terutama yang awam terhadap budaya tradisional tidak lagi mengetahui dengan terperinci di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, menyerupai beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi beteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka tidak heran kalau mereka menganggap bahwa bulan Suro tidak ada bedanya dengan bulan-bulan lainnya.
Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro menciptakan masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melaksanakan aktivitas yang bersifat sakral, contohnya hajatan pernikahan. Hajatan ijab kabul di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah keyakinan ini muncul semenjak kapan, kita tidak tahu. Namun yang jelas, hingga kini pun lebih banyak didominasi masyarakat Jawa tidak berani menikahkan anak di bulan Suro. Ada sebagian masyarakat Jawa yang percaya dengan dongeng Nyi Roro Kidul, penguasa bahari selatan (Samodra Hindia). Konon, ceritanya, setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (tidak diketahui jumlah anaknya berapa). Setiap masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini, diyakini penganten atau keluarganya tidak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik bencana cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yang terperinci masyarakat Jawa secara bebuyutan menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Kita sanggup menandakan kejadian ini kepada penjual jasa, menyerupai penyewa alat-alat resepsi atau sejenisnya, mereka niscaya akan menyampaikan sepi order. Adapun disewa, niscaya untuk aktivitas lain, menyerupai sunatan, kelahiran, atau kematian. Padahal bagi pemeluk agama Islam dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melaksanakan aktivitas apapun termasuk pernikahan.
Aneh memang, itulah kepercayaan! Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang akan lain lagi memaknai bulan Suro? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.
Sumber: sosbud.kompasiana.com
0 Komentar untuk "Kalender Jawa"