Dalam surat terbuka yg ke #2 kalinya kali ini, saya akan menyajikan satu counter arguments dan counter analaisa terhadap dalih atau theori serta arguemntasi yg digunakan sebagai contoh penyalamatan Bank Century unutk bisa dipahami dan didefinisikan secara jelas, benar atau salahnya menurut fakta dan data yg ada on the ground!
(I am presenting counter arguments and analysis in response to the analysis, theory and arguments used to justify the policy Bail-OUT toward Bank Century to a point that the issue can be clearly defined and understood wthether the policy was right or wrong; whether it was justified, applicable or not, based on facts and reality on the ground, and not simply academic arguments, merely economic theory, generalization and speculations).
Tulisan saya berikut ini yakni lanjutan dari goresan pena saya sebelumnya dalam menanggagi argumentasi yg diberikan oleh Wapres Boediono yg diberikan kepada anggota PANSUS tanggal 12 Desember, 2009 (Copy dari goresan pena itu terlampir dibawah).
Kali ini goresan pena saya yakni sebagai jawaban dari Article yg ditulis oleh pakar Ekobnomi Indonesia lain, Muhammad Chatib Basri Ph.D Executive Director, Institute for Economic and Social Research, Indonesia and lecturer at Faculty of Economics, University of Indonesia (LPEM-FEUI) bersama Dr. Hadi Soesastro. Article tersebut dimuat dalam majalah Tempo Interaktif dan copy serta link-nya ada dibawah ini.
Boediono, Sri Mulyani, dan Penyelamatan Ekonomi
by, Muhammad Chatib Basri Ph.D. Executive Director, Institute for Economic and Social Research, Indonesia and lecturer at Faculty of Economics, University of Indonesia (LPEM-FEUI). Together with Dr. Hadi Soesastro
“Segera sesudah saya diambil sumpah, saya tetapkan untuk mengambil beberapa langkah sulit demi menyelamatkan perekonomian dari krisis. Saya lakukan itu bukan lantaran saya ingin populer. Ketika pertama kali saya melangkahkan kaki untuk memulai pekerjaan ini, langkah evakuasi bank dan industri otomotif tidak ada dalam jadwal saya. Bahkan tak ada di dalam cita-cita saya. Tetapi evakuasi bank dan industri otomotif dibutuhkan untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang lebih dahsyat.”
Kalimat itu disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidatonya di Allentown, Desember lalu. Tentu ia tak merujuk pada Bank Century. Situasi dan teknis denah evakuasi di Amerika Serikat tentu berbeda dengan Indonesia. Tetapi pesannya jelas: tindakan evakuasi perbankan dibutuhkan dalam situasi krisis. Obama secara tak pribadi bicara ihwal systemic risk atau risiko sistemik. Apa itu? Mudahnya, bangkrutnya satu perusahaan sanggup membawa dampak yang amat serius terhadap perekonomian.
Pemenang Nobel Ekonomi Joe Stiglitz and George Akerlof yakni dua ekonom yang berjasa menjelaskan fenomena informasi yang tak simetris atau asymmetric information, yang merupakan penjelas utama kenapa risiko sistemik bisa terjadi di pasar keuangan. Tengok contoh ini: deposan tak memiliki—dan tak akan pernah memiliki—informasi yang tepat mengenai kondisi bank kawasan ia menyimpan tabungannya.
Yang lebih tahu mengenai kondisi banknya tentu yakni manajemen dan sang pemilik bank. Karena itu, kalau satu bank jatuh, dalam situasi krisis dan kepanikan, ada kemungkinan deposan yang tak mempunyai informasi yang tepat ini mulai khawatir akan nasib tabungannya. Akibatnya, tutupnya satu bank sanggup membawa dampak penarikan massal oleh para deposan di bank lain. Alasannya sederhana: mereka tak mau ambil risiko. Bukankah ada kemungkinan bank mereka kawasan menabung juga bisa bangkrut?
Ingat, pada Oktober dan November 2008, kekhawatiran begitu tinggi. Berbagai rumor melalui SMS beredar ihwal bank yang terancam lantaran ada penarikan massal. Bahkan ada yang ditangkap lantaran dianggap membuatkan gosip bohong. Dalam situasi normal, orang tak khawatir. Karena itu, dalam situasi normal, penutupan bank tak akan punya imbas besar. Itu hanya terjadi dalam situasi ketika kepanikan muncul.
Lebih dari 70 tahun lalu, ekonom besar John Maynard Keynes bicara ihwal animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Ini yang disebut herd behaviour. Ingat bagaimana rombongan hewan berlari gotong royong mengikuti kepala kelompoknya? Dalam situasi panik, ketika sebuah bank tutup, berduyun-duyun orang akan menarik uangnya dari perbankan—sering tanpa sepenuhnya mempunyai informasi lengkap ihwal situasi perbankan tersebut. Animal spirits dengan kata lain yakni komponen emosional yang tecermin dalam kepercayaan konsumen (consumer confidence). Di sini tugas confidence—akar katanya yakni fido dari bahasa Latin, yang artinya saya percaya—menjadi amat penting.
Itu sebabnya banking, panics sangat berbahaya. Penarikan oleh deposan besar akan membuat bank gagal dan lumpuhnya sistem pembayaran. Dalam situasi panik, kita tidak bisa mengambil risiko. Itu sebabnya, dalam situasi krisis, kepercayaan harus tetap dijaga. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Singapura, Malaysia, dan Australia, memberlakukan blanket guarantee atau penjaminan untuk seluruh deposito. Lebih jauh dari itu, 12 negara anggota G-20, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, menjamin bukan hanya deposito tetapi juga wholesale borrowing.
Di Indonesia, kita tak menjalankan kebijakan ini. Wapres waktu itu Jusuf Kalla menolak keras pandangan gres ini. Implikasinya, perbankan ada dalam risiko. Mungkin kalau blanket guarantee waktu itu diberlakukan, Bank Century tidak perlu di-bail out (diselamatkan). Dibiarkan saja tutup. Sayangnya, kita tak punya itu, sehingga untuk mencegah risiko sistemik, tindakan evakuasi terhadap bank yang gagal—apakah itu Century atau bank apa pun—harus dilakukan. Mengapa tindakan evakuasi perlu?
Ada sebuah analogi yang baik sekali dari Menteri Keuangan Sri Mulyani: di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut yakni orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi karenanya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia.
Lalu apakah benar ini sistemik? Bukankah faktanya krisis perbankan tak terjadi? Bagaimana kalau waktu itu tidak dilakukan bailout?
Sayangnya, kita tidak bisa tahu persis apakah lantaran bail out maka krisis perbankan tidak terjadi, atau memang situasi krisis tidak parah sehingga tidak perlu dilakukan bailout. Jika dua argumen mengenai soal yang sama tiba dengan kesimpulan yang berbeda, mana yang paling mendekati ”kebenaran relatif”?
Dalam risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi Milton Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya lantaran model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model sanggup dikatakan salah—atau belum mengambarkan kebenarannya—jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya.
Dalam kasus Bank Century ada dua fakta empiris: pertama, ada bailout, dan kedua: tidak ada krisis perbankan.
Amat naif bila kita menyimpulkan bahwa lantaran bailout terhadap Century, krisis perbankan tidak terjadi. Sangat mungkin situasi perbankan yang kondusif disebabkan juga oleh faktor lain.
Artinya, evakuasi Century punya probabilitas untuk benar dan sekaligus juga salah. Artinya pula, kondisi perbankan yang kondusif mungkin disebabkan oleh evakuasi Century, tetapi bukan niscaya lantaran itu.
Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris bahwa dengan menutup atau tidak memperlihatkan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak terjadi. Karena faktanya: pemerintah tidak pernah menutup Bank Century, dan krisis perbankan tidak terjadi. Karena itu, argumen bahwa kalau toh Century tidak di-bail out, ekonomi Indonesia akan selamat, tidak punya bukti empirisnya.
Lalu bagaimana soal anutan dana? Atau soal penyalahgunaan? Jawabannya sederhana: buktikan saja melalui data PPATK dan penyidikan KPK. Jika memang ada bukti dan kesalahan: aturan saja mereka yang bertanggung jawab. Siapa pun dia. Apa pun posisinya.
Tetapi soal menjadi lain kalau ia masuk ranah politik. Di sini terbuka semua kemungkinan, termasuk pengadilan terhadap kebijakan, termasuk kemungkinan mendapatkan jabatan. Jika kebijakan bisa diadili, tak ada orang yang berani mengambil risiko kebijakan. Lalu, kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko sistemik atau terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia berani mengambil langkah-langkah yang diharapkan untuk menenangkan sektor keuangan?
Kalau sektor keuangan ada dalam risiko lantaran pemerintah dan Bank Indonesia enggan mengambil langkah evakuasi lantaran risiko politik, kemudian siapa yang akan menjaga nasib tabungan di Indonesia. Lebih baik bila penabung menyimpan di negara lain yang lebih memperlihatkan kepastian. Itu artinya arus modal keluar akan terjadi. Ingat: dalam periode September-Desember 2008, cadangan devisa anjlok hampir US$ 7 miliar lantaran modal keluar. Ini yang membuat rupiah anjlok hingga Rp 12 ribu. Saat ini, dengan stabilitas makro yang ada dan dengan likuiditas global yang berlimpah, arus modal masuk masih mengalir ke Indonesia. Tapi bagaimana kalau krisis keuangan global terjadi lagi. Karena kita tahu, dunia belum sepenuhnya pulih dari krisis keuangan.
Jadi, ini bukanlah sekadar soal mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani. Ini yakni soal yang lebih besar: membela nasib Indonesia. Apakah lantaran kasus politik, nasib rakyat harus dikorbankan? Siapa yang dibela? Kepentingan rakyat atau jabatan? Saya tak pintar menjawabnya.
Kekisruhan dan keserakahan politik membuat kita lupa ihwal nilai. Tentang integritas. Padahal kita tahu, negeri ini tak dibangun oleh keserakahan. Tak dibangun oleh perebutan kekuasaan. Ia dibangun oleh niat baik, ia dibangun oleh jutaan orang yang setiap hari bergulat untuk selangkah lebih baik. Ia dibangun oleh integritas, mirip rekam jejak Boediono dan Sri Mulyani selama ini. Integritas mungkin tak lebih besar lengan berkuasa daripada kekuasaan, tetapi ia lebih tinggi. Sejarah menulis: republik ini dibangun oleh orang yang bisa bersikap, walau itu tak populer, walau itu tak ramai dijejaki orang. Mirip bait tamat puisi Rober Frost, The Road Not Taken:
”I took the one less travelled by/And that has made all the difference”.
End
Setelah membaca dan mengamati goresan pena dari Dr. Muhammad Chatib Basri bersama Dr. Hadi Soesastro diatas yg dimuat dalam majalah Tempo Interaktif tanggal 21 Desember, 2009 terkilas bergotong-royong argumenatsi yg disampikan oleh 2 pakar ekonom Indonesia (atau lebih akuratnya ekonom UI) ini tidak lebih atau tidak ada bedanya dengan cara-cara argumentasi yg diberikan oleh Wapres Boediono dan Sri Mulyani.
Sekilas tercermin sekali bergotong-royong apa yg disampaikan 2 pakar ekonom ini tidak lain yakni academical arguments yg begitu theoretical, generalization in nature and full of speculations in their economic approach, bergotong-royong dalam menganalisa kasus atau suatu phenomenon masih mengunakan theori-theori tanpa didukung dengan data dan fakta on the ground secara comprehensive.
Apalagi bila theori-theori itu hanya di backed-up dengan menggunakan asas yg sifatnya masih merupakan barangkali (probability) atau kemungkin (possibility) untuk memprediksi apa yg akan terjadi dimasa depan bila suatu kebijaksanaan tidak segera diambil tanpa melihat factor-faktor lain (the other underlying factors) yg sangat significant secara comprehensive dan menyeluruh yang bisa menimbulkan suatu negara atau perbankan mengalami krisis ekonomi dan keuangan.
Semua pendekatan dan argumentasi ekonomi yang mengetengahkan spekulasi masa depan (foreseeable future prediction) terhadap reaksi pasar atau reaksi public yg mengunakan sekedar theori yg didukung oleh incomplete and incomprehensive FACTS and DATA (data dan fakta yg tidak lengkap dan tidak menyeluruh), dengan menggunakan one-sided-picked and choose arguments menurut rumor SMS (short messging system) yg beredar di masyarakat, yakni suatu argumentasi yg tidak bisa diterima dan gampang dibuktikan ketidakabsahanya (baseless).
At best; kesimpulan itu akan sangat diragukan, dipertanyakan, tidak meyakinkan, bisa salah, bisa tidak mengena dan ada kemungkinan besar hanya sekedar theori ekonomi belaka yg tidak revelan (It was not applicable during that given time and circumstances), mirip yg terjadi ditahun 2008.
Apa yg saya maksukan dengan pernyataan diatas?
Memang benar secara umum bisa dipahami bahwasanya: kalau ada krisis ekonomi melanda dunia atau negara, banking industri mulai merasa stress, kepanikan pasar mulai tampak dan suasana yg explosive, ditambah rumor sana sini ihwal kemungkinan bank ini dan itu akan ditutup, kebijaksaan yg cepat dan tepat memang sangat dibuthkan dan perlu diambil.
Tapi apakah kebijaksanaan itu harus berupa “BAIL-OUT” terhadap bank kecil yg sedang menghadapi sakratul maut mirip Bank Century?
Tidak adakah kebijaksanaan lain yg bisa di ambil oleh BI (Bank Indonesia) dan MENKEU untuk bisa meredamkan potensi kepanikan pasar/ reaksi public/ reaksi nasabah/ deposan kecil dan besar; untuk tetap menjaga consumer confidence terhadap perbankan Indonesia, selain merubah aturan BI atas persyaratan Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) untuk membuat Bank Century qualified mendapatkan dana BAIL-OUT?
Inilah latar kebijaksanaan bail-out yg perlu dipertanyakan?
Disinilah pentingya peranan BI (Bank Indonesia), MENKEU dan Presiden dalam menghadapi potensial krisis ekonomi. Dinegara maju, semua krisis ekonomi yg harus memikul tanggung jawab tertinggi akhirnya yakni Presiden itu sendiri, bukan Chairman BI atau MENKEU. Mereka hanya pelaksana policy saja. The buck stops with the President!
Sekarang saya akan mengomentari satu persatu THEORI-THEORI dan argumentasi lain yang muncul dari Bank Century Gate ini yg diketengahkan oleh para ekonom Indonesia termasuk Wapres Boediono, MENKEU Sri Mulyani, para ekonom dari UI (Universitas Indonesia) mirip Faisal Basri, Muhammad Chatib Basri, Hadi Soesastro dan para ekonom Indonesia lainya dalam membela kebijaksanaan bail-out terhadap Bank Century.
1). Theori Sri Mulyani: (Theori Rumah Kebakaran)
Sri Mulyani mengatakan: “Di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut yakni orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi karenanya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia.”
Alasanya Sri Mulyani membil-out Bank Century menyerupai memadamkan api sebuah rumah yg sedang terbakar; sekecil apapun rumah itu dan sejahat apapun pemilik rumahnya, apinya perlu dipadamkan biar tidak merembet ke rumah-rumah lain disekitarnya yg akhirnya, akan mengkremasi seluruh rumah di perkampungan itu.
Yang menarik dari Theori Sri Mulyani ini yakni kenyataan di lapangan bahwanya rumah yg terbakar waktu itu bukan hanya satu saja, Bank kecil yg punya kasus waktu itu bukan Bank Century saja. Ada sekitar 23 Bank kecil yang mengalami hal yang sama, diantaranya yakni Bank IFI. Tapi kenapa Bank IFI ditutup, dan Bank Century di selamatkan, atau dibailed-out?
Wapres Boediono membantah:
Wapres Boediono bilang kalau Bank IFI itu ditutup waktu krisis ekonomi sudah mereda, tidak explosive, tidak gawat lagi walaupun penutupan bank IFI itu terjadi ditahun yg sama 2008.
Ibarat satu rumah milik Century kebakaran dan dipilih untuk dipadamkan oleh Boediono dan Sri Mulyani, tapi rumah milik IFI yg juga sedang kebakaran tapi tidak dipadamkan oleh Boediono dan Sri Mulyani, lantaran waktu kebakaran terjadi dirumah IFI, anginya tidak kencang, sekencang waktu rumah Century terbakar. Wow…!
Karena itu rumah IFI dibiarkan TERBAKAR, lantaran apinya tidak akan merembet ke rumah orang lain yang ada disekitarnya, yang akan mengkremasi rumah diseluruh desa.
What an interesting analogy! I got the kick out of it. Really! Satu analogy dan theori yang tidak masuk kebijaksanaan dan sulit diterima, even though I have to admit: it is very entertaining!
Begitu cepatkah peredaan krisis ekonomi disuatu negara mirip Indonesia, khususnya yg terjadi pada perbankan di Indonesia?
Di Amerika sendiri, sesudah 2 tahun dari kebijaksaan bail-out terhadap perbankan dikeluarkan, krisis perbankan di Amerika masih terasa sekali, ribuan orang tiap bulan masih harus kehilangan rumah lantaran tidak bisa membayar mortgage, banyak orang kena PHK, kehilangan pekerjaan tiap bulanya, banyak usahanya yang gulung tikar, sepi dan tidak mengahasilkan penghasilan yg cukup, housing foreclosure masih terdengar tiap bulan ribuan rumah dalam presentase yang jauh lebih tinggi dari bulan yg sama dari tahun sebelumnya, banyak pensiunan yg kehilangan dana pensiun mereka entah itu berupa investment dan equity dan pengangguran di Amerika hingga ketika ini (December 2009) mencapai double digit (12%).
Dari sini terperinci bahwasanya, untuk mengembalikan krisis ekonomi atau krisis perbankan di suatu negara pada situasi atau level yang sama mirip dimasa sebelum krisis itu terjadi, perlu waktu yang usang dan adakala perlu tahunan. Bisa dibilang mustahilah (highly unlikely) bila kriris ekonomi itu bisa dilakukan dalam waktu beberapa ahad saja (mingguan) atau beberapa bulan saja (bulanan.) mirip yang di klaim oleh Wapres Boediono! Bila hal itu terjadi ada kemungkinan besar, krisis itu belum terjadi atau, tidak terjadi dan yang ada hanya potensi atau spekulasi belaka!
Benarkah alasan Wapres Boediono yg menyampaikan ketika Bank IFI ditutup, krisis ekonomi dan perbankan di Indonesia sudah mereda? Atau krisis ekonomi itu hanya sebuah potensi yg belum pasti, belum terjadi dan hanya spekulasi mirip yang disampaikan diatas?
Krisis ekonomi terhadap kehidupan perbankan tidak bisa dianologikan mirip itu. It’s just a different ball game lantaran terlalu banyak hal-hal lain yg sngat dominant (there are many UNDERLYING ISSUES and FACTORS) yg melatarbelakangi krisis perbankan, apalagi impactnya terhadap perekonomian di suatu negara!
Dan krisis perbankan itu kalau ada; kalau memang terjadi, perlu waktu yg panjang untuk MEREDA, lantaran proses pembail-outan itu perlu WAKTU to kick in (untuk menghasilkan effectnya), untuk mengakibatkan dan membuat kegiatan pasar yg positive dan tenang, untuk menarik consumer confidence kembali. Semuanya ini perlu waktu, (it takes time)! Saya sangat mencurigai sekali argumentasi Wapres Boediono yg menyampaikan kiris ekonomi Indonesia sudah mereda waktu BANK IFI ditutup! It’s too short of time bagi suatu krisis ekonomi atau krisis perbankan di suatu negara untuk bisa diatasi.
Untuk lebih jelasnya, silahkan dianalisa goresan pena saya dibawah yg saya tulis untuk menanggapi argumentasi Wapres Boediono yg diberikan kepada anggota Pansus Desember 12, 2009 yang ada pada edisi ke-1.
2). Theori Wapres Boediono: (Theori Ikan)
"Bank itu mirip ikan yang berenang di air likuiditas. Apalagi uang mengalir terus ke luar Indonesia. Kalau airnya kering, ikannya mati," kata Boediono.
In short, memang benar theori Wapres Boediono ini bahwasanya: “Bank itu mirip ikan yg berenang di air likuiditas. Kalau airnya kering, ikanya mati!”
Tapi kalau ikanya berenang di kolam, sedangkan air yg hilang itu nilainya hanya se-ember, apakah kolamnya akan kering dan ikanya mati?
Bahkan, kalau kolamnya itu kehilangan banyak air dan hanya tinggal seember air yg tersia di kolam, ikanya pun masih akan bisa memperhatankan hidup.
Fakta dan data on the ground tidak separah itu. Bank Century is too small in term of size, asset, liability dan tidak terdaftar sebagi bank sistematik untuk bisa membuat perbankan dan perekonomian Indonesia jungkir balik. Banyak other underlying factors yg tidak mendukung claim itu.
0 Komentar untuk "Kasus Bank Century"