Ustadz, ada teman saya non muslim menanyakan kenapa dalam Islam babi itu haram dimakan? Saya hanya bisa menjawab bahwa hal itu dihentikan dan tersirat dalam al-Quran tapi beliau kurang puas atas tanggapan saya. Apakah ada dongeng atau riwayat yang menjelaskan sehingga babi itu haram dimakan?
Muhamad Rahmat
Jawaban
Assalamu ‘laikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan antara seorang mukmin dengan kafir dalam amal perbuatannya terutama didasarkan dari niatnya. Seorang yang beriman ketika mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, selalu mendasarkan tindakannya itu atas perintah dan larangan dari Allah SWT. Sebaliknya seorang kafir tidak pernah menimbulkan perintah dan larangan Allah SWT sebagai landasan amalnya.
Misalnya, ketika seorang muslim melaksanakan shalat dan ditanyakan kepadanya, mengapa beliau shalat?, maka jawabannya yaitu bahwa karena Allah SWT telah memerintahkannya untuk shalat. Tentang shalat itu ada keuntungannya buat kesehatan atau ketenangan jiwa dan sebagainya, tidaklah menjadi landasan dasar atas shalatnya. Dan di situlah tugas niat yang sesungguhnya.
Demikian juga ketika seorang mukmin meninggalkan khamar, zina, judi dan makan babi, niatnya semata-mata karena beliau tunduk, taat dan patuh kepada larangan dari Allah SWT. Bukan sekedar mengejar nasihat dan tujuan yang bersifat duniawi. Tidak minum khamar bukan karena sekedar tidak mau mabuk, melainkan semata-mata karena Allah SWT mengharamkannya. Tidak mau zina bukan karena takut kena sipilis atau HIV, tetapi karena ada larangan dari Allah SWT. Demikian juga, tidak makan babi bukan karena takut ada cacing pita, melainkan karena Allah SWT sudah mengharamkannya.
Adapun orang kafir tidak pernah mendasarkan tindakannya itu karena dogma dan ketundukan kepada hukum yang tiba dari Allah SWT. Paling jauh, landasannya sekedar logika dan inovasi ilmiyah. Padahal, sesuatu yang ilmiyah itu justru bersifat nisbi dan sangat gampang berubah.
Kalau kita amati dikala ini, banyak juga non muslim yang atas inovasi ilmiyahnya ikut-ikutan berpuasa sebagaimana seorang mukmin. Misalnya, karena kesimpulan ilmiyah mengambarkan bahwa dengan mengosongkan perut, badan akan semakin sehat. Maka mereka pun berpuasa sebagaimana orang mukmin. Tetapi disisi Allah SWT, puasa non muslim itu sama sekali tidak ada nilainya.
Mengapa?
Karena puasanya buka karena taat kepada Allah SWT, melainkan semata-mata karena kesimpulannya sendiri.
Penelitian ilmiyah dan bermacam-macam nasihat serta belakang layar ibadah menyerupai ini buat seorang mukmin tidak menjadi dasar mengapa beliau berpuasa. Sebab dasar ibadah hanyalah semata-mata karena perintah dari Allah, bukan karena ingin sehat atau sebab-sebab lainnya.
Kaprikornus jikalau teman non muslim Anda itu kurang puas dengan tanggapan Anda yang memang sudah benar itu, jangan kecewa dulu. Sebab memang hal itulah yang membedakan Anda dengan teman anda. Anda yaitu seorang muslim yang taat pada perintah dan larangan Allah SWT, sedangkan teman Anda itu orang kafir yang ingkar -bukan hanya pada perintah dan larangan Allah- bahkan eksistensi dan kebenaran Allah SWT sebagai ilahi pun diingkarinya. Bagaimana mungkin seorang yang mengingkari eksistensi Allah bisa mendapatkan dan memahami aturan-aturan dari-Nya?
Kalau kita buat perumpamaan, seorang yang tidak mengakui eksistensi suatu negara, tidak akan mungkin mau mematuhi aturan-aturan yang ada di dalam negara itu. Seorang gembong pemberontak di Papua misalnya, tentu tidak mau mendapatkan dan tunduk kepada peraturan pemerintah RI. Dan seorang yang mengingkari kebenaran aliran Islam, tentu saja tidak bisa mendapatkan perintah puasa dan selalu bilang tidak puas.
Jawaban menyerupai itu bukan berarti kita menafikan adanya manfaat dan nasihat di balik setiap perintah dan larangan dari Allah SWT. Tentu manfaat dan hikmahnya aneka macam jikalau mau diungkap, bahkan selalu ada inovasi gres yang bersifat ilmiyah dan bisa mengambarkan kebenaran agama Islam. Termasuk nasihat di balik pelarangan makan babi. Selain karena babi hidup lebih jorok dari binatang ternak lainnya, juga semua agama samawi baik yahudi, nasrani dan Islam, setuju memposisikan babi sebagai lambang kebusukan dan kenajisan.
Banyak orang mengungkapkan bahwa babi itu jikalau terpaksa, mau makan kotorannya sendiri. Sementara binatang lainnya masih punya harga diri. Mendingan mati dari pada makan kotorannya sendiri.Juga banyak yang mengatkan bahwa daging babi terlalu banyak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi badan manusia. Karena makannya tidak terkontrol, apa saja dimakannya, sehingga tubuhnya pun mengandung segala jenis penyakit.
Dan masih banyak lagi belakang layar dan nasihat di balik pelarangan makan babi yang bisa dapatkan. Namun semua itu sekedar menambah keyakinan yang sudah ada di dalam hati kita. Bukan sebagai landasan utama. Dan buat kita, apakah di balik larangan makan babi itu ada nasihat atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketaatan kita kepada Allah SWT yang telah melarang kita makan babi.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang beliau tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘laikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.salaf.web.id
Muhamad Rahmat
Jawaban
Assalamu ‘laikum warahmatullahi wabarakatuh,
Perbedaan antara seorang mukmin dengan kafir dalam amal perbuatannya terutama didasarkan dari niatnya. Seorang yang beriman ketika mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya, selalu mendasarkan tindakannya itu atas perintah dan larangan dari Allah SWT. Sebaliknya seorang kafir tidak pernah menimbulkan perintah dan larangan Allah SWT sebagai landasan amalnya.
Misalnya, ketika seorang muslim melaksanakan shalat dan ditanyakan kepadanya, mengapa beliau shalat?, maka jawabannya yaitu bahwa karena Allah SWT telah memerintahkannya untuk shalat. Tentang shalat itu ada keuntungannya buat kesehatan atau ketenangan jiwa dan sebagainya, tidaklah menjadi landasan dasar atas shalatnya. Dan di situlah tugas niat yang sesungguhnya.
Demikian juga ketika seorang mukmin meninggalkan khamar, zina, judi dan makan babi, niatnya semata-mata karena beliau tunduk, taat dan patuh kepada larangan dari Allah SWT. Bukan sekedar mengejar nasihat dan tujuan yang bersifat duniawi. Tidak minum khamar bukan karena sekedar tidak mau mabuk, melainkan semata-mata karena Allah SWT mengharamkannya. Tidak mau zina bukan karena takut kena sipilis atau HIV, tetapi karena ada larangan dari Allah SWT. Demikian juga, tidak makan babi bukan karena takut ada cacing pita, melainkan karena Allah SWT sudah mengharamkannya.
Adapun orang kafir tidak pernah mendasarkan tindakannya itu karena dogma dan ketundukan kepada hukum yang tiba dari Allah SWT. Paling jauh, landasannya sekedar logika dan inovasi ilmiyah. Padahal, sesuatu yang ilmiyah itu justru bersifat nisbi dan sangat gampang berubah.
Kalau kita amati dikala ini, banyak juga non muslim yang atas inovasi ilmiyahnya ikut-ikutan berpuasa sebagaimana seorang mukmin. Misalnya, karena kesimpulan ilmiyah mengambarkan bahwa dengan mengosongkan perut, badan akan semakin sehat. Maka mereka pun berpuasa sebagaimana orang mukmin. Tetapi disisi Allah SWT, puasa non muslim itu sama sekali tidak ada nilainya.
Mengapa?
Karena puasanya buka karena taat kepada Allah SWT, melainkan semata-mata karena kesimpulannya sendiri.
Penelitian ilmiyah dan bermacam-macam nasihat serta belakang layar ibadah menyerupai ini buat seorang mukmin tidak menjadi dasar mengapa beliau berpuasa. Sebab dasar ibadah hanyalah semata-mata karena perintah dari Allah, bukan karena ingin sehat atau sebab-sebab lainnya.
Kaprikornus jikalau teman non muslim Anda itu kurang puas dengan tanggapan Anda yang memang sudah benar itu, jangan kecewa dulu. Sebab memang hal itulah yang membedakan Anda dengan teman anda. Anda yaitu seorang muslim yang taat pada perintah dan larangan Allah SWT, sedangkan teman Anda itu orang kafir yang ingkar -bukan hanya pada perintah dan larangan Allah- bahkan eksistensi dan kebenaran Allah SWT sebagai ilahi pun diingkarinya. Bagaimana mungkin seorang yang mengingkari eksistensi Allah bisa mendapatkan dan memahami aturan-aturan dari-Nya?
Kalau kita buat perumpamaan, seorang yang tidak mengakui eksistensi suatu negara, tidak akan mungkin mau mematuhi aturan-aturan yang ada di dalam negara itu. Seorang gembong pemberontak di Papua misalnya, tentu tidak mau mendapatkan dan tunduk kepada peraturan pemerintah RI. Dan seorang yang mengingkari kebenaran aliran Islam, tentu saja tidak bisa mendapatkan perintah puasa dan selalu bilang tidak puas.
Jawaban menyerupai itu bukan berarti kita menafikan adanya manfaat dan nasihat di balik setiap perintah dan larangan dari Allah SWT. Tentu manfaat dan hikmahnya aneka macam jikalau mau diungkap, bahkan selalu ada inovasi gres yang bersifat ilmiyah dan bisa mengambarkan kebenaran agama Islam. Termasuk nasihat di balik pelarangan makan babi. Selain karena babi hidup lebih jorok dari binatang ternak lainnya, juga semua agama samawi baik yahudi, nasrani dan Islam, setuju memposisikan babi sebagai lambang kebusukan dan kenajisan.
Banyak orang mengungkapkan bahwa babi itu jikalau terpaksa, mau makan kotorannya sendiri. Sementara binatang lainnya masih punya harga diri. Mendingan mati dari pada makan kotorannya sendiri.Juga banyak yang mengatkan bahwa daging babi terlalu banyak mengandung zat-zat yang berbahaya bagi badan manusia. Karena makannya tidak terkontrol, apa saja dimakannya, sehingga tubuhnya pun mengandung segala jenis penyakit.
Dan masih banyak lagi belakang layar dan nasihat di balik pelarangan makan babi yang bisa dapatkan. Namun semua itu sekedar menambah keyakinan yang sudah ada di dalam hati kita. Bukan sebagai landasan utama. Dan buat kita, apakah di balik larangan makan babi itu ada nasihat atau tidak, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ketaatan kita kepada Allah SWT yang telah melarang kita makan babi.
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang beliau tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Wallahu a’lam bishshawab wassalamu ‘laikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : http://www.salaf.web.id
0 Komentar untuk "Kenapa Daging Babi Diharamkan,Teman Kampusku Bertanya"