Makna Kembar Mayang Dalam Komitmen Nikah Tabiat Jawa

Harapan Kalis ing Rubeda, Kaling ing Sambekala
Sawusnya kasil dhaup astra lumiyat, kaajab sri panganten sarimbit, nggennya amangun bale wisma ngupaya wastra boga, bisaa sembada kang sinedya, miwah jumbuh kang ginayuh, yayah Sekar Mijil kang gya manangkil: Dipun esthi mrih darbe eksklusif kang geleng gumolong, mangun urip jejeging brayate, mring bebrayan sanggup murakabi, guna ing sasami, bekti ing Hyang Agung…

DEMIKIAN salah satu bab dari Sekar Mijil yang berisi wejangan kepada pasangan pengantin. Artinya, kira-kira sebagai berikut: Setelah melakukan pernikahan, dibutuhkan mempelai berdua, dalam membangun rumah tangga, serta mencari nafkah, semoga sanggup hidup sejahtera, semua yang direncanakan sanggup terwujud, menyerupai Tembang Mijil yang akan tersaji: Direncakan dengan penuh kesungguhan semoga mempunyai huruf dalam satu tekad lingkaran membangun hidup berumah tangga yang sentosa dalam masyarakat semoga memberi manfaat dan berkhasiat bagi sesama, berbakti pada Tuhan Yang Maha Agung.
Sebelum upacara ijab kabul dilaksanakan, dalam masyarakat Jawa biasanya memang ada kegiatan ritual yang secara bebuyutan dilakukan, yaitu pembuatan sekar adhi kalpataru, dewadaru, jayadaru>, yang sering disebut sekar mancawarna atau kembarmayang. Sekar Puspa yang juga sering disebut Dewadaru Jayadaru, serta Woh, yang disebut Daru dan Kilat, mempunyai makna simbolis bahwa pengantin perempuan memang benar-benar sosok perempuan idaman, yang kelak mempunyai keturunan yang tampan atau anggun dan berbudi pekerti luhur.
Dalam aneka macam kepustakaan Jawa, makna simbolis sekar mancawarna tersebut adalah; akar (bayu bajra), pohon (kayu purwa sejati), cabang dan rantingnya (kiblat papat), daun (pradapa mega rumembe), bunga (dewadaru jayadaru), dan buah (daru miwah kilat).
Bayu Bajra sebagai perlambang kekuatan. Maksudnya Pengantin berdua nantinya hendaknya mempunyai kekuatan lahir dan batin, sanggup menghadapi kenyataan dan sanggup mengatasi aneka macam rintangan kehidupan, serta tidak gampang terkena aneka macam efek negatif dari luar.
Kayu Purwa Sejati merupakan simbol bahwa permulaan hidup (wiwitaning urip) dimulai dari kesentosaan batin. Diharapkan nantinya mempelai dikaruniai ketenteraman dan kesejahteraan. Kalis ing rubeda, nir ing sambekala.
Selain itu, arah dahan atau ranting pohon bagi masyarakat Jawa tradisional juga mempunyai makna filosofis dan simbolis empat arah mata angin (kiblat papat). Yakni utara, timur, selatan, dan barat, yang masing-masih mempunyai penafsiran sendiri-sendiri. Kiblat Papat mengatakan bahwa yang manglung mangalor disebut andhong birawangga, yang manglung mangetan disebut girang puspadriya, yang manglung mangidul disebut janur nurcahya, dan yang manglung mangulon disebut waringin jati laksana. Masing-masing arah mengandung makna pasemon sendiri-sendiri.
Ketika mempelai berdua mencari rezeki ke arah utara (mangalor) dipercayaan akan bertemu dengan andong birawangga atau kesenangan, kebanggan, kebahagiaan. Ketika mempelai mencari nafkah ke arah timur (mangetan), konon akan menemukan girang puspadriya? atau bunga yang menyenangkan. Artinya, jika mempelai mencari nafkah menuju arah timur akan memperoleh kedudukan yang membawa nama harum dan sanggup dirasakan oleh seluruh kerabat dan keluarga.
Ketika Sang Mempelai mencari nafkah kearah selatan (mangidul), disimbolkan akan menemukan janur nurcahya atau sejatining nur. Cahaya yang menerangi kehidupan dan akan terhindar dari gelapnya kehidupan.
Ketika mempelai mencari nafkah ke arah barat (mangulon), konon akan ketemu dengan waringin jati laksana atau pohon beringin. Maksudnya, mempelai kelak akan mendapat jabatan atau kedudukan yang tinggi. Dengan katalain, keinginan mempelai akan tercapai.
Sementara itu, ron (daun) juga disebut pradapa mega rumembe. Daun mengandung pasemon wacana suasana antariksa yang gelap, menunjukan akan turun hujan. Pengantin diingatkan bahwa sewaktu-waktu alam sekitar akan terkena peristiwa yang berasal dari tirta (air), agni (api), maruta? (angin), dan bantala (bumi). Keempat anasir ini diyakini oleh masyarakat Jawa, tiak jarang menjadikan aneka macam bencana. Misalnya banjir, kebakaran, angin ribut, dan tanah longsor. alasannya yaitu itu, keempat anasir itu harus diberlakukan dengan bijak dan harus selalu diwaspadai.
Sekar mancawarna juga dihias dengan sepasang kelapa muda (degan sajodho). Ini juga merupakan simbol harapan semoga Sri Pangantin sarimbit sanggup membangun rumah tangga untuk hanetepi jodho kang pinasthi. Artinya sanggup saling asih sih-sinisihan pindha mimi kang nuju hamintuna (rukun selamanya, lahir batin). Adapun air kelapa muda yaitu lambang kesucian atau kebeningan (tirta wening kang tuhu meneb). Itu perlambang semoga mempelai berdua sanggup wening ing pamikir, meneb ing kalbu.
Sebelum sekar mancawarna diboyong, juga ada ubarampe yang merupakan simbol triprakara (tiga hal) yaitu sadak lawe sajodho (gulungan daun sirih dan benang lawe), klasa bangka atau ilam lampus (tikar yang sudah dipakai, dan kedah winangsulaken (harus dikembalikan).
Sadak lawe sajodho memiliki makna simbolis tali yang besar lengan berkuasa dalam kehidupan berumah tangga. Tilam lampus (tilam lampus kang arise sinulam suket kalajana) untuk mengingatkan siklus gumelaring ngaurip yang terdiri tiga tahapan kehidupan, yaitu lokapana (alam bayi), lokamadya (alam dewasa), dan lokabaka (alam akhir). Hal itu menyerupai diuraikan Rama Sudi Yatmana (1988).
Kedah winangsulaken artinya, dikala upacara ijab kabul sudah selesai (wus purna wohing gati), sekar mancawarna harus dikembalikan ke daerah yang khusus, biasanya di perempatan jalan (marga catur atau caturdhendha). Tujuannya, untuk membuang sukertaning penganten, agar terlepas dari aneka macam marabahaya, dan didekatkan pada kebahagiaan.

referensi: https://youde.wordpress.com/2011/03/14/makna-kembar-mayang-dalam-ritual-pernikahan-jawa/