Menyikapi Ujian Hidup

Life is Never Flat
Kehidupan di dunia tidak pernah datar dan lurus-lurus saja. Life is never flat and life is never straight. Pengusaha sukses tidak akan selamanya sukses suatu ketika ia harus besiap menghadapi kerugian. Pelajar yang berilmu nan cerdas tidak akan selalu mendapat nilai di atas rata-rata, suatu ketika ia harus siap dengan nilai yang tidak memuaskan. Orang yang badannya selalu sehat, harus siap jikalau suatu hari tubuhnya dilanda kesakitan. Di suatu waktu, kebahagiaan tiba memenuhi ruang di dalam hati, tapi di lain waktu seseorang harus siap ketika kesedihan kunjung.


Ini yakni wujud bahwa semua yang ada di dunia ini diciptakan oleh Allah swt. secara berpasangan dan semuanya tidak pernah membisu dalam suatu keadaan. Terus berputar, silih berganti.

Dua Macam Ujian
Sobat muslim sejati (SMS), kita sering merasa senang jikalau yang terjadi pada diri kita yakni sesuatu yang kita harapkan, sesuatu yang kita inginkan dan kita cita-citakan. Kaya raya, bisnis sukses, mempunyai tubuh yang selalu sehat, mempunyai keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Itu yakni beberapa pola harapan dan keinginan hidup.

Sebaliknya, kita merasa sengsara, sedih, dan berduka ketika mendapat segala hal yang tidak kita inginkan. Misalnya, sakit. Siapa yang mau sakit? Tidak akan ada kan, lantaran semua orang hanya menginginkan sehat. Misalnya juga bangkrut. Siapa pengusaha yang ingin usahanya gulung tikar? Oh... tidak bisa! Begitu kata Sule, he... Atau tidak lulus Ujian Nasional (UN) yang momok seram bagi para pelajar kelas IX dan XII. Saya kira tidak ada pelajar yang ingin gagal UN, semuanya pasti hanya menginginkan satu kata saja tidak yang lain yaitu L-U-L-U-S alias lulus.

SMS, Islam memandang bahwa bagaimana pun kondisi yang sedang terjadi, semua yakni ujian kehidupan. Mau kesenangan atau kesengsaraan, mau kebahagiaan ataupun kesedihan, dua hal ini yakni ujian. Dan, memperkuat realitas tersebut, Ibnu Abbas mengungkapkan bahwa bahwasanya dunia yakni ruang ujian. Innaddun-yā dārul balā. Demikian tegasnya.

Namun, kebanyakan insan gres merasa sedang diuji oleh Allah ketika mendapat sesuatu yang tidak diperlukan kedatangannya. Jika ini terjadi pada diri seseorang, Umar bin Khathab lebih dahsyat menegaskan bahwa orang tersebut yakni makhdū’un ‘an ‘aqlihi, tertipu oleh akalnya sendiri. Pertanyaan saya adalah, mungkinkah ada orang yang tertipu oleh akalnya sendiri? Jika ada, orang tersebut yakni orang yang sangat bodoh. Dan label ini diberikan Umar putra Khathab kepada orang yang tidak merasa sedang diuji oleh Allah dengan segala bentuk kesenangan hidup.

Menyikapi Ujian Hidup
Berdasarkan pemaparan di muka, ujian hidup dibagi menjadi dua, yaitu ujian berupa kesenangan dan ujian berupa kesengsaraan. Ujian kesenangan diistilahkan dengan al-minhatu dan ujian kesengsaraan dilambangkan dengan al-mihnatu.

Lalu, bagaimanakah kiat-kiat dalam menghadapi kedua ujian tersebut? Untuk ujian kesenangan, sudah pasti bahwa perilaku terbaik kita yakni bersyukur kepada Allah atas segala karunia yang diberikan. Syukur yang ditanamkan di dalam hati kemudian tumbuh menjadi amal-amal baik amaliyah verbal maupun amaliyah badan, akan menjadi penambah karunia dan nikmat. Allah swt. berfirman, ”Dan (ingatlah juga), ketika Rabb kalian memaklumkan, "Sesungguhnya jikalau kau bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jikalau kau mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (Q.S. Ibrahim [14]: 7).


Yang akan saya kaji secara fokus pada ruang ini yakni bagaimana kita menghadapi al-mihnatu atau ujian kesengsaraan (menurut evaluasi manusia)?

Baik SMS, kita mulai...

1. Yakini bahwa yang terjadi yakni takdir Allah swt.
Jurus pertama dalam menghadapi ujian hidup yakni tanamkan keyakinan bahwa apa yang sedang terjadi merupakan takdir Allah dan takdir Allah tidak akan salah target serta tidak akan ada yang bisa menahannya. Yakini juga bahwa ketika Allah menghendaki sesuatu terjadi kepada kita, itulah yang terbaik untuk kita lantaran Allah Mahaadil dan tidak pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Sekali lagi, Allah tidak akan pernah menzalimi hamba-hamba-Nya. Musibah yang terjadi pada hakekatnya yakni kebaikan yang sedang Allah berikan.


مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ
Mā ashōba min mushībatin illā bi idznillāhi, wa man yu`min billāhi yahdī qolbahu, wallōhu bikulli syai`in ‘alīmun

“Tidak ada suatu petaka pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah dan barangsiapa yang beriman kepada Allah pasti Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya, dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.” (Q.S. At-Taghabun [64]: 11).

Beriman terhadap takdir Allah akan menciptakan hati kita berada dalam hidayah Allah. Justru pikiran akan menjadi “gelap” ketika hati kita merasa sangat sengsara dengan ujian yang diterima. Insya Allah, orang yang mengimani bahwa petaka itu bab dari jalan hidup yang Allah gariskan, ia akan merasa damai dan ketenangan akan mempercepat pemecahan masalah, insya Allah.

2. Beban ujian setara dengan kekuatan diri
Bobot ujian yang menimpa sebanding dengan kekuatan diri dalam menghadapinya. Jika pundak kita bisa memikul beban hingga 100 kg, misalnya, maka beban ujian yang Allah berikan tidak akan melebihi 100 kg. Demikian ilustrasinya.

Nah, lantaran fitrah ujian yakni setara dengan kekuatan diri, jurus jitu selanjutnya yakni yakini bahwa kita bisa menghadapinya. Tetapi, banyak diantara kita yang merasa begitu sengsaranya hingga berkeluh kesah dengan ujian yang dihadapinya. Ini yakni tanggapan yang muncul lantaran kurangnya keyakinan terhadap fitrah ujian tersebut sebagaimana difirmankan dalam al-Quran:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَ عَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Lā yukalliful-lōhu nasan illā wus’ahā lahā mā kasabat wa ‘alayhā maktasabat

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286).

Yakinlah bahwa kita bisa menghadapi ujian yang ditimpakan, insya Allah...

3. Lapangkan hati
Jika sesendok garam dilarutkan ke dalam segelas air, bagaimana rasanya? Pasti asin, bukan? Lalu, jikalau sesendok garam dilarutkan ke dalam air sekolam, bagaimana rasanya? Pasti tetap tawar.

Demikianlah citra ujian yang Allah berikan. Jika hati kita sempit, ujian sekecil apapun akan terasa berat. Sebaliknya, jikalau hati kita lapang, ujian seberat apapun insya Allah akan terasa ringan.

Trik supaya hati kita lapang yakni berdzikir kepada Allah setiap ketika termasuk ketika mendapat ujian. Dzikir kepada Allah akan menenangkan hati kita dan hati yang damai yakni hati yang lapang yang akan memperingan bobot ujian hidup.
اَلَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
Alladzīna āmanū wa tathma`innu qulūbuhum bi dzikrillāhi alā bi dzikrillāhi tathma`innul-qulūbu



“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Q.S. ar-Ra’du [13]: 28).


4. Buatlah perbandingan bobot ujian dengan yang lebih berat
Selanjutnya, buatlah perbandingan bobot ujian dengan yang lebih berat. Misalnya, uijan berupa rasa sakit. Padahal sudah diperiksakan ke dokter tapi masih belum menemui kesembuhan sehingga terkadang ada yang meratapi keadaan atau bahkan mempertanyakan keadilan Allah, na’udzubillāhi min dzālik (kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut).

Dalam keadaan menyerupai itu, coba bandingkan bobot ujian yang kita rasakan dengan sobat kita yang ketika itu juga sedang mengalami rasa sakit. Sementara ketika sakit kita masih bisa buang air sendiri tanpa harus dipapah berjalan ke jamban atau dibantu prosesnya, sobat kita harus diapapah dan dibantu proses buang airnya. Sahabat kita pun masih untung bisa ke jamban buang airnya meskipun harus dipapah dan dibantu, yang lain harus buang air di daerah berbaringnya memakai selang. Terus demikian, lakukan perbandingan dengan yang bobot ujiannya lebih berat. Insya Allah ini akan menciptakan kita bersyukur dalam lautan musibah.

5. Jemputlah solusi, jangan menunggunya!
Hukum kausalitas menyampaikan bahwa tidak ada asap kalau tidak ada api. Ada tanggapan lantaran ada lantaran dan keduanya selalu selaras dalam muatannya. Jika ingin mendapat tanggapan yang baik, maka ciptakanlah lantaran yang baik. Itu kata kuncinya.

Dalam cobaan pun berlaku aturan kausalitas. Jemputlah solusi, jangan menunggunya! Berikhtiarlah mencari jalan keluar lantaran yakinlah bahwa Allah memperlihatkan problem satu paket dengan jalan keluarnya. Tidak ada problem yang tidak ada jalan keluarnya. Likulli dā`in dawā`un, untuk setiap penyakit ada obatnya. Demikian sabda Rasulullah saw. sebagai representasi dari seluruh permasalahan hidup.

Jika ketika ini Anda sedang sakit, berobatlah secara total dan sekemampuan diri. Berobat yakni bab dari pencarian jalan keluar supaya segera sembuh. Begitu pula untuk seluruh problem hidup, berikhtiarlah menjemput solusi.

6. Jangan lupa berdoa kepada Allah swt.
Rasulullah saw. bersabda:


الدُّعَاءُ سِلاَحُ الْمُؤْمِنِ ، وَعِمَادُ الدِّينِ ، وَنُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ


Ad-du’ā`u silāhul-mu`mini, wa ‘imādud-dīni, wa nūrus-samāwāti wal ardli

“Doa yakni senjata orang beriman, tiangnya agama dan cahaya langit dan bumi”. (H.R. Hakim dari Abu Hurairah. Al-Hakimberkata: sanadnya shahih).

Banyak-banyak lah berdoa kepada Allah ketika cobaan dirasa berat. Insya Allah doa yakni satu kiat yang akan menciptakan hati damai dan tersemangati. Selain berdoa sendiri, minta pula lah doa kepada orang lain termasuk kepada orang saleh yang masih hidup. Sehingga banyak “senjata” yang dilancarkan kepada Allah sebagai upaya untuk mendapat solusi.

7. Tawakalkan sepenuhnya kepada Allah
Ketika sudah mengupayakan segala daya, serahankanlah urusannya kepada Allah. Jika segala urusan diserahkan kepada Allah, insya Allah jaminan solusi sudah di tangan. Logikanya adalah, Allah Mahatahu wacana diri kita, wacana apa yang kita rasakan, wacana apa yang kita inginkan dan wacana apa yang sedang diupayakan, maka Allah akan memenuhi hajat kita jikalau kita menyerahkan urusan kepada-Nya.

وَمَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا. وَبَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ، وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْئٍ قَدْرًا
Wa man yattaqil-lā`ha yaj’al lahū makhrojan. Wa yarzuqhu min haitsu lā yahtasibu, wa man yatawakkal ‘alallōhi fahuwa hasbuhu innallōha bāligu amrihi qod ja’alallōhu likulli syai`in qodron

“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah pasti Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah pasti Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melakukan urusan-Nya. Sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan bagi segala sesuatu”. (Q.S. ath-Thalaq [65]: 2-3).

SMS, ingat satu kali lagi bahwa hidup itu tidak pernah datar tapi gerinjul dan hidup juga tidak lurus terus melainkan berkelok. Semoga kita termasuk golongan orang yang ketika ditimpa ujian baik al-minhatu maupun al-mihnatu, kita bisa melaluinya dengan sukses yang pada balasannya kita naik ke tingkat yang lebih tinggi.

Related : Menyikapi Ujian Hidup

0 Komentar untuk "Menyikapi Ujian Hidup"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)