Pemikiran Jagad Kyai


 Jagad kyai ialah sebuah fenomena, yang mana dalam penterjemahan fenomena itu, perlu pemahaman lebih dalam ihwal ruang lingkup dan cakupan, Kegusaran masyarakat melihat tingkah polah figur kyai, mendorong interprestasi yang bermacam-macam. Ada kalanya jelek ada kalanya baik, berdasarkan cara pandang kajian atau basic intelektual mereka. Selain itu keterpengaruhan status sosial, kekerabatan keluarga, waktu dan tempat ketika mereka menyaksikan realitas sosial dalam segmen ke-kyaian tidak sama satu sama lain. Sebuah istilah “ Kyai “ yang arti luasnya ialah seorang Ulama, pemimpin umat Islam dan seoranag jago agama Islam, diperlukan bisa menjawab dilema agama Islam dengan benar sesuai dengan pedoman Nabi Muhammad SAW. Karena istilah tersebut yang sudah begitu kental dikalangan Warga Nahdliyin, menjadikan latah pendapat tiap individu hanya dengan memandang simbolitas Visual dan performance khusus yang digunakan oleh seorang kyai, dengan pakaian panjang, bersarung, berkopiah, mengenakan serban dan memutar tasbih. Simbolitas visual itulah yang memunculkan banyak fenomena Kyai dalam interaksinya dengan masyarakat.
Banyak kalangan memandang bahwa dilema sepele itu tidak perlu menerima perhatian serius, alasannya ialah tidak ada yang mengatur atau melarang orang mengenakan simbolitas visual yang menjadi tahapan tingkat penokohan seorang figur Kyai. Menjadi menarik lagi ketika interaksi mereka berbenturan dengan sturuktur sosial cultural masyarakat yang ketika ini tercemar dengan kepentingan yang semakin meminggirkan khasanah nurani yang menjadi pijakan ketika seseorang menjalani ritual agama Islam dengan benar. Kecenderungan Islam Menjadi sebuah simbol belaka menjadi kenyataan hingga hari ini. Fungsi legitimasi seorang pemimpin umat atau ulama ialah eforia yang dipandang sebelah mata. Ulama atau Kyai sudah bukan lagi dipandang sebagai jago agama secara utuh, namun sudah membias menjadi pemimpin social yang membingkai agama sebagai suatu komoditas egonya.
Keberlangsungan rutinitas yang lestari dari sebuah kultur pondok pesantren NU, ialah sebuah keniscayaan yang harus diakui, fungsi utama seorang kyai ialah mengajarkan bait demi bait kitab kuning yang memuat banyak sekali dilema agama Islam, sakralitas proses transfer keilmuan di Pondok Pesantren memicu pengultusan seorang kyai dari para santrinya, pedoman yang diberikan merupakan akidah suci yang harus dipatuhi. Proses dari internalisasi pondok pesantren memperlihatkan ide bagi masyarakat dengan menyerap kedalaman ilmu agama seorang kyai. Proses peresapan tersebut menghasilkan persepsi yang stereotyping, dimana seseorang menganggap bahwa  dari keturunan seorang Kyai akan melahirkan keturunan yang sama pula. Walaupun pendapat itu tidak sepenuhnya benar, alasannya ialah benih yang dilahirkan tidak sepenuhnya menghasilkan bentuk dan sifat yang sama, namun akan berbeda sesuai dengan efek lingkungan di sekitarnya.
Kekhusyukan, kesalihan seorang Kyai, menjadi kekuatan tersendiri yang memikat dalam setiap pergaulan di luar komunitas pondok pesantren, heterogenitas masyarakat memunculkan persepsi bermacam-macam eksistensi seorang kyai. Sementara itu Nahdlatul Ulama sebagai sebuah organisasi keagamaan terbesar di negeri ini, pada proses perkembangannya,  klaim bahwa NU sebagai basis masa pondok pesantren tidak sepenuhnya benar, alasannya ialah dikalangan warga Nahdliyin sendiri yang mengenyam pendidikan pondok pesantren tidak merata di setiap structural organisasi, bisa dikatakan bahwa ketika NU berubah menjadi organisasi yang berlabel kumpulan para kyai menarik simpati sebagian masyarakat yang ingin lebih dekat mengenal tokoh-tokoh tersebut, karismatik yang dipancarkan dari para ulama senior (sepuh) memikat banyak orang untuk ngangsu kaweruh agomo lebih dalam. Jejak  perjalanan hidup, usaha dan sepak terjang beliau-beliau yang di kisahkan oleh para santrinya secara turun temurun hingga kini tertanam dalam ingatan mereka diluar kepala, yang mengkonsumsi bukan lagi dari kalangan santri pondok pesantren ansich saja, namun hampir semua masyarakat juga mencicipi sugesti yang kuat eksistensi seorang kyai. Penghormatan yang bertubi-tubi dari para pemujanya hingga kultus individu tidak bisa dipungkiri lagi, anak seorang kyai dengan serta merta akan menikmati kebesaran orang bau tanah mereka dulu, dengan berbekal sebutan “ Gus & Ning “ (kyai Muda/putra-putri kyai) akan menghipnotis kalangan masyarakat yang sangat awam dengan dunia kultur pondok pesantren.
Kebesaran dan kemampuan supranatural yang dimiliki para kyai juga menjadi obsesi sebagian masyarakat. Situasi  semenjak lahir hingga menginjak remaja  dalam lingkungan pondok pesantren, telah mempola karakter, tingkah laris serta moral kebiasaan para putra-putri kyai yang pada kesudahannya terkondisi untuk menjadi insan yang harus dianut secara keturunan dan mengkasta mereka sendiri atau memposisikan mereka menjadi suri tauladan masyarakat tanpa reserve. Hal ini menjadi beban terberat bagi mereka dengan perkembangan efek lingkungan disekitarnya, alasannya ialah eksistensi mereka sebagai insan normal masih disandang. Simbolitas kyai dan ningrat kyai NU yang menghiasi perjalanan panjang negeri ini, dan hadir dalam setiap episode kejadian social masyarakat , telah berubah menjadi atribut karir kehidupan para kyai, maka jikalau sudah menjadi istilah karier muaranya ialah bagaimana mereka bisa mempertahankan karir ke kyai-an mereka dalam masyarakat, ada mitos Jawa yang menyampaikan “ Wong Milik Nunggang Lali  “ ( orang yang menginginkan sesuatu akan lupa eksistensi dirinya atau lepas kendali ). Padahal pada posisi mereka para kyai tingkah polahnya diperhatikan secara detil oleh masyarakat dan penganutnya. Fenomena kehidupan para kyai menjadi persepsi yang tidak bisa dijelaskan secara real dan konkrit pada umatnya . Kemudian  menimbulkan berjuta-juta pertanyaan tanpa ada jawaban, alasannya ialah yang mengetahuinyapun tidak berani mengatakan. Ketidak beranian mereka cukup fundamental alasannya ialah akidah awal dari kelas social yang terkondisikan tersebut mengecilkan eksistensi seseorang yang sudah mempunyai sebutan santri, yang secara tegas dengan akidah yang tidak tertulis bahwa seluruh keturunan dan kerabatnya harus dihormati dan dijunjung tinggi derajat dan martabatnya. Tetapi perubahan mengawal mereka dalam tiap langkah kehiduapan beliau-beliau, walaupun kata perubahan itu sendiri tidak berubah.
Keberadaan NU sebagai organisasi agama berbasis masa terbesar berubah menjadi organisasi milik semua orang, klaim milik pondok pesantren telah bergeser menjadi milik umat, sehingga posisi pondok pesantren menjadi diatas NU secara mandiri, system yang berubah telah membuka wahana pemikiran para pengurus dan anggota Lajnah NU beserta Banomnya, hal ini dibuktikan bahwa kekuatan NU tidak merata di seluruh Nusantara, kekuatan dominasi di propinsi Jawa Timur dan lemah di wilayah lain telah dibuktikan dengan proses politik dari pemilu legislative, hingga Pilihan Presiden.
Semenjak Pelaksanaan pemilu memakai pilihan Langsung One man One Vote (satu orang satu bunyi ) ketika Pemilu legislative  hingga  Pilihan Presiden 2 tahun yang lalu, posisi NU menjadi nilai tawar yang mahal bagi para Politisi, alasannya ialah diperlukan akan bisa mendongkrak bunyi terbesar, namun kenyataannya tidak demikian, justru Politisi yang diberangkatkan dari NU, malah tidak bisa memanfaatkan secara maksimal. Akibatnya yang menang malah justru bukan dari kalangan NU sendiri.
Perpecahan kader-kader elit NU yang akhir-akhir ini menjadi perhatian banyak kalangan, semakin merusak gambaran basis kekuatan NU di akar rumput, kondisi ini memicu banyak sekali persepsi yang tidak menguntungkan. Ditambah PKB yang merupakan Corong aspirasi Politik warga NU kini menjadi papan nama belaka. Walaupun Menang dalam pengadilan namun imbas yang ditimbulkan justru komponen terpenting PKB yaitu kalangan Kyai menjadi terbelah  dua, yang pro Gus Dur dan Pro Koirul Anam.
Maka gotong royong yang mempunyai dampak kerugian terbesar ialah ketidak percayaan para pemilih loyal yang posisinya berada dilapisan bawah dengan kekuatan kyai NU yang dianutnya. Kondisi ini juga membuat spekulasi diantara warga NU sendiri yang enggan secara terang-terangan menyatakan sikapnya. Apalagi data  pemilih yang gotong royong tidak sesuai dengan Klaim para Pengurus NU yang katanya mempunyai basis hingga kebawah, kenyataannya bunyi yang diperoleh tidak sebesar harapan. Ini artinya terjadi pergeseran keloyalitasan warga NU terhadap figure yang ditampilkan.  Selain itu keengganan warga NU yang diperlukan sebagai modal dasar perolehan  bunyi besar ternyata juga tidak terbukti.
Konflik yang terjadi di Kultural NU, Internal PKB dan Internal NU yang tidak terkendali, mengakibatkan dampak psikologis besar pada warga NU yang sudah sekian usang mengharapkan keharmonisan di antara para Elit NU maupun PKB. Lahirnya PKNU sebagai partai alternative Kalangan Kyai berpengaruh, menambah porak porandanya basis kekuatan Jamiyah NU. Walaupun anggapan beberapa kalangan di Kyai Pondok Pesantren NU bahwa langkah yang diambil merupakan penyegaran, namun hal itu merupakan preseden jelek bagi perkembangan NU dimasa yang akan datang.

Sejak munculnya indikasi ketidak akuran antara Elit NU dan PKB beberapa tahun yang kemudian serta sentiment politik yang berkembang hingga memicu pertikaian antar Kader PKB di Jawa Timur. Banyak kader-kader muda NU yang nota bene ialah belum dewasa warga potensi dari NU yang beralih haluan dalam berpolitik, banyak yang sudah menjadi pengurus PKS, PDI,PD ataupun lainya. Arah  pemikiran mereka yang tidak terakomodir oleh Elit NU maupun pengurus, mengakibatkan mereka dari kelompok ini lebih menentukan bermain diluar basis wilayah NU, potret-potret prilaku politik warga NU di struktural maupun kultural telah meyakinkan mereka, bahwa akan sulit untuk membuka ritme gres dan masuk dalam konstalasi politik internal yang marak dengan ukiran antar kader, yang kadang diluar etika. Potensi-potensi yang diperlukan bisa memperkuat sumberdaya insan warga NU, pada kesudahannya harus berpindah ke wilayah lain yang berada diluar basis NU, tetapi secara ideologi mereka tetaplah keturunan NU, namun mereka lebih eksis diluar basis NU. Sehingga mereka lebih  mendapatkan akreditasi diri mereka dari luar wilayah politik warga NU, jumlah mereka tidak sedikit, dan ini berada pada kalangan warga NU yang lebih melek pendidikan, para orang bau tanah membiarkan dengan bebas aspirasi politik belum dewasa mereka dengan tidak menekankan harus masuk ke wilayah NU ansihc dan meninggalkan keyakinan orang tuanya beralih kearah netralitas wilayah berpikir mereka. Namun seringkali kondisi real menyerupai ini hanya disikapi pasif oleh para Elit structural dan kultural NU. Kelengahan yang berlarut-larut itu menjadi akhir kelemahan internal ketika ini. Kebesaran klaim yang selama ini digunakan akan berakibat fatal  sepuluh dua puluh tahun kedepan atau malah prediksi saya akan cepat.terbukti dengan agenda Kartu anggota NU yang tidak sukses dengan jumlah pendaftar yang jauh lebih sedikit dari perkiraan. Secara amaliah mereka melakukan ajaran-ajaran NU menyerupai Tahlil,sholawatan,rutinan  lain yang kental dengan kebiasaan warga NU.Namun ketika mereka dilegitimasi sebagai anggota NU mereka dengan halus menolak. Kejadian ini bukan dilema kesadaran berorganisasi, tetapi alasannya ialah mereka sangat sadar dengan cara inilah mereka mengambil perilaku demikian. Namun tetap saja hal ini tidak menjadikan surut para elit NU dalam mengklain bahwa warga NU tetap pada posisi pendukung setia.
Kekuatan basis kyai yang seharusnya bisa membetengi dan mengawal keberadaan  organisasi,lembaga dan Banom di semua tingkatan ternyata tidak sepenuhnya terlaksana, banyak putra-putri kyai dari kalangan pondok pesantren maupun Elit NU structural dan Kultural yang tidak pernah menjadi pengurus NU, Lembaga, maupun Banom. Namun ketika mereka mempunyai kepentingan, mereka memanfaatkan basis-basis organisasi ini sebagai kendaraan. Logikanya ialah proses kaderisasi yang seharusnya diawali dari bawah justru tidak dipergunakan dengan baik. Mereka para putra-putri keturunan kyai tersebut begitu muncul eksklusif terposisi sebagai Pembina atau ketua yang seharusnya dimiliki melalui proses kaderisasi yang teratur, sesuai dengan masa karier dan perjuangannya. Gaya  ini mengakibatkan banyak kader yang sudah bertahun-tahun berjuang dan mengabdi merasa dibohongi dan dilecehkan. Pemahaman kuno yang kini masih digunakan tidak lagi laris dikalangan kader muda NU yang banyak dari kalangan di luar basis pondok pesantren. Dominasi kekuatan pondok pesantren dibeberapa tempat hanya sebatas pemanfaatan kepentingan politik sementara orang, sehingga ketidak siapan kader-kader NU yang seharusnya mempunyai efek kuat, malah justru tidak berdaya dengan memposisikan diri sebagai pengikut atau orang kedua, ini terjadi hampir didaerah yang mempunyai basis warga NU terbesar, menyerupai di Jawa Timur. Kecenderungan dalam persaingan di kalangan internal NU sendiri menjadi tidak terelakan. Elit struktural dan kultural NU tidak menyatu dalam satu barisan, namun berhadapan satu sama lain dengan komunitas mereka sendiri. Dinamika ini malah semakin hari semakin marak dikalangan warga NU, Potret jamiyah yang selama ini identik dengan ketawadukan terhadap kyai menjadi komoditas politik yang sarat dengan kepentingan.

Fenomena ini terjadi kembali pada prakondisi Pilihan Gubernur di Jawa Timur, yang mengusung para kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur  dari kalangan Nahdliyin. PKB yang menempel dengan NU mengusung Ahmadi sebagai calon Gubernur sendiri yang wakilnya hingga ketika ini belum jelas, sementara itu KH Ali Maschan Musa Ketua PWNU yang gres terpilih lagi di KONFERWIL NU di Probolinggo, menjadi Calon Wakil Gubernur bersama Soenaryo Calon Gubernur dari Golkar. Calon Gubernur Sorkarwo yang dekat dipanggil Pak de Karwo yang digadang-gadang akan bergandengan dengan KH Ali Maschan Musa ternyata  malah menggandeng Saifuloh Yusuf ( Gus Ipul ) yang juga ialah ketua Umum PP GP ANSOR dan mantan Menteri Percepatan Pengembangan tempat Tertinggal sebagai calon Wakil Gubernur. Yang hebohnya lagi Gus Ipul panggilan akrabnya di usung oleh Partai Amanat Nasional yang menjadi partai komunitas warga Muhamadiyah. Bisa dibilang situasi jamiyah dari kalangan sruktural dan kultural NU dibentuk pusing tujuh keliling. Kader-kader NU hingga jajaran ke Banom dan Lembaga terjadi dilema kebermihakan. Hal ini terjadi alasannya ialah hampir semua kader di semua jajaran baik NU,Banom dan Lembaga, terposisi menjabat dibeberapa forum dan Banom, artinya satu orang kader bisa menjadi pengurus di beberapa forum juga di PKB. Kondisi semacam ini lumrah di NU yang merupakan organisasi Nirlaba.
NU yang mempunyai basis besar dari akar rumput dan didukung oleh eksistensi para kyai, menjadi primadona dan target utama para politisi yang ingin berkuasa, tokoh-tokoh NU yang mempunyai reputasi bagus, menjadi perhatian utama untuk bisa meraup bunyi dalam proses pemilihan eksklusif one man one vote, perilaku warga nahdliyin yang terkonstruksi sebagai santri dimana sikapnya harus tunduk pada dawuh kyai merupakan modal besar kalangan elit sturuktural maupun kultural NU memainkan ritme dalam moment proses pemilihan umum kepala daerah. Posisi sentral NU di tangan Kyai menjadi bias manakala organisasi ini harus bersikap tegas dalam hukum organisasi. NU yang didirikan oleh para Kyai dan berbasis pondok pesantren semakin kuat cengkeramanya terhadap organisasi NU yang mempunyai anggota yang tidak semua dari kalangan santri. Situasi sulit terjadi manakala perilaku independent NU itu mempunyai dua pilihan yang sulit, sehingga terkotak-kotak menjadi kelompok kyai sungguhan dan sesungguhnya, (karena mereka gotong royong ialah seorang kyai dalam terminologi NU,) namun alasannya ialah tercemar oleh kepentingan politik maka existensi mereka sebagai seorang kyai menjadi saling berhadapan antara kyai pendukung si A dan Kyai pendukung si B. Fatal, alasannya ialah dengan posisi elit NU menyerupai ini,keutuhan jamiyah terporak poranda dengan agresi dukung mendukung.
Apakah ini akan tuntas dengan hanya kata ” islah ”. Menurut saya kok akan sulit, alasannya ialah agresi dukung mendukung itu mahal taruhannya, islah dalam konteks pergaulan mungkin saja bisa, namun akan sulit jikalau akan diajak duduk bersama satu meja. Contoh, ketika K.H. Hasyim Muzadi mencalonkan diri menjadi Cawapres bersama Megawati, Gus Dur sangat keberatan, hingga pada ketika K.H. Hasyim Muzadi mencalonkan kembali menjadi ketua PB NU Gus Dur juga berkeinginan kembali lagi ke jajaran struktural NU sebagai Syuriah. Ada indikasi akan menghadang pencalonan K.H. Hasyim Muzadi. Dan ini terus berlanjut hingga pada resufle Saifulloh Yusuf dari kabinet Susilo Bambang Yudoyono sebagai buntut perpecahan di badan PKB. Dan kongres luar biasa di semarang. Rentetan perpecahan itu hingga hari ini ternyata juga belum tuntas. Dilema warga NU untuk berpihak pada siapa juga tidak menemukan jawaban, sehingga hari ini yang berbicara bukan lagi pada tataran spirit lagi namun pada subtansi kompensasi, apa yang mereka bisa berikan itulah yang menjadi balasan dilema tiada ujung tersebut. Mereka tidak salah alasannya ialah itu realitas yang terjadi. Walohualam bissowab

Sumber : Berbagai sumber dan Catatan GPIM 

Related : Pemikiran Jagad Kyai

0 Komentar untuk "Pemikiran Jagad Kyai"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)