23 September 1945
Kapten Huijer dari Angkatan Laut Belanda yaitu wakil sekutu pertama yang menjejakan kakinya di Surabaya untuk melaksanakan investigasi pendahuluan dan ini mengindikasikan bahwa Belanda-lah yang akan mempelopori pengambil-alihan Surabaya dari Jepang setelah ‘kesalahan-kesalahan’ pasukan Inggris dikala mengambil alih Semarang.
28 September 1945
Huijer mendatangi markas Laksamana Madya Yaichiro Shibata, pimpinan tertinggi pasukan Jepang di Surabaya, biar melimpahkan seluruh kekuasaannya termasuk senjata yang berada di bawah komando dirinya kepada Huijer. Namun demikian sebagaimana perilaku kaigun yang lain (seperti Laksamana Maeda di Jakarta), Shibata sangat simpati dengan usaha kemerdekaan Indonesia oleh alasannya yaitu itu ia menyerahkan senjata kepada Komite Nasional Indonesia Surabaya (KNI-Surabaya) yang dipimpin oleh Soedirman dan Doel Arnowo. KNI-Surabaya sendiri berjanji akan menyerahkannya kepada sekutu pada waktunya.
Tetapi KNI-Surabaya tidak mempunyai kemampuan untuk mengelola persenjataan bekas tentara angkatan bahari Jepang sehingga mereka menyerahkannya ke Badan Keamanan Rakyat (BKR), kelompok-kelompok pemuda, pasukan-pasukan polisi dan bahkan milisi/laskar yang masih belum terorganisir dengan baik.
1 Oktober 1945
Terjadi perkelahian diantara pemuda-pemuda Indonesia dan Belanda yang dengan cepat bermetamorfosis aksi massa di seluruh kota. Mereka menyerang lapangan udara Morokrembangan dan kamp interniran yang terletak di tempat pemukiman Darmo. Sementara itu markas Kempetai dan Angkatan Darat Jepang dikepung oleh sejumlah laskar yang bersenjatakan apa adanya, dari bambu runcing hingga ke senapan mesin.
4 Oktober 1945
Surabaya telah menjadi kamp bersenjata yang seluruhnya dalam tangan Indonesia. Semua penjara dibuka dan penghuni-penghuninya, apakah mereka ditahan atas tuduhan politik atau pidana telah bergabung ke dalam massa yang berkerumun di dalam kota itu. Pada hari itu juga Shibata memberitahukan kepada bawahannya bahwa Huijer-lah yang bertanggung jawab atas keamanan kota tersebut.
8 Oktober 1945
Gubernur, TKR dan polisi berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, yang kemudian seluruhnya terseret menjadi ‘anarki’. Rasa permusuhan terhadap Jepang dan Belanda yang begitu mendalam di kalangan pemuda, menyebabkan mereka melaksanakan pengadilan rakyat yang membabi-buta yaitu dengan menghukum mati para tawanan (Jepang, khususnya) dengan melaksanakan eksekusi mati dengan cara pemenggalan leher.
Kapten Huijer pun menjadi tahanan TKR demi keselamatan dirinya.
12 Oktober 1945
Tiba seorang cowok dari Jakarta yang berjulukan Soetomo atau yang kemudian dikenal dengan nama Bung Tomo, seorang wartawan yang bekerja di kantor isu Domei. Ia membawa gagasan mendirikan pemancar radio, yang kemudian diberi nama “Radio Pemberontakan” sebagai sarana untuk membuat solidaritas massa dan memperbesar semangat usaha pemuda.
13 Oktober 1945
Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), sebagai suatu organisasi yang terpisah dari PRI yang dipimpin oleh Soemarsono. Dan siaran-siaran radio yang dilakukan oleh Bung Tomo tidak hanya berhasil menghipnotis masyarakat santri yang memang menjadi dominan di Jawa Timur dan Madura, namun juga pemimpin-pemimpin “merah” terutama yang berada di dalam PRI.
22 Oktober 1945
Nahdhatul Ulama dari seluruh Jawa dan Madura melangsungkan rapat raksasa di Surabaya yang mana mereka menuntut, “Memohon dengan sangat kepada pemerintah Republik Indonesia soepaja memilih soeatoe perilaku dan tindakan jang njata terhadap tiap2 oesaha jang membahajakan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap pihak Belanda dan kaki tangannja” (Antara, 25 Oktober 1945)
25 Oktober 1945
Inggris mendarat di Tanjung Perak Surabya dengan dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby yang juga merupakan Panglima Brigade ke-49 dengan kiprah utama mengungsikan pasukan Jepang dan para interniran. Brigade ini berjumlah kurang lebih enam ribu pasukan dengan membawa juga pasukan elit Gurkha.
Mallaby sendiri dan wakilnya, Kolonel Pugh, pertama-tama disambut oleh Mustopo, kepala TKR-Surabaya, dan Atmadji, bekas penggagas Gerindo, yang mewakili TKR Angkatan Laut. Setelah mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Mustopo, Mallaby menegaskan bahwa sekutu tidak akan menyelundupkan di tengah-tengah mereka pasukan Belanda dan NICA (Netherland Indies Civil Administrastion).
26 Oktober 1945
Tanpa data intelejen yang komprehensif perihal kondisi Surabaya dan masyarakatnya yang sedang bergolak, Mallaby mengirim 1 peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten Shaw untuk menyelamatkan Kapten Huijer. Masyarakat Surabaya mulai kehilangan kepercayaan terhadap Mallaby dan pasukannya.
Kondisi diperparah dengan selebaran yang disebarkan melalui udara ke seluruh kota di Surabaya atas perintah Mayor Jenderal Hawthorn, panglima sekutu di Jakarta. Selebaran itu pada dasarnya berisi bahwa pihak Indonesia harus menyerahkan seluruh senjata mereka dalam waktu 48 jam. Tuntutan ibarat ini risikonya membatalkan perjanjian yang telah dilakukan oleh Mallaby dan Moestopo.
27 Oktober 1945
Sekutu mulai melaksanakan agresinya. Pada dasarnya komandan-komandan sekutu masih memandang rendah terhadap kemampuan bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Apalagi mereka begitu membanggakan brigade 49-nya dengan mendapat julukan “The Fighting Cock” selama bertempur melawan Jepang di hutan-hutan Burma.
28 Oktober 1945
Pasukan sekutu mengambil alih lapangan udara Morokrembangan dan beberapa gedung penting ibarat kantor jawatan kereta api, sentra telephon dan telegraf, rumah sakit Darmo dna lainnya.
Pertempuran besar pun tak terelakan antara 6000 pasukan Inggris dengan 120.000 tentara dan cowok Indonesia. Akibat kalah jumlah, Mallaby meminta proteksi Hawthorn biar pihak Indonesia menghentikan pertempuran. Hawthorn pun meminta Soekarno biar mau membujuk panglima-panglimanya di Surabaya menghentikan pertempuran.
Begitu terjepitnya hingga dalam buku Donnison “The Fighting Cock” ditulis “Narrowly escape complete destraction” alias hampir musnah seluruhnya.
29 Oktober 1945
Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoedddin tiba ke Surabaya untuk menghentikan pertempuran.
Kemudian setelah membujuk biar tentara dan cowok menghentikan pertempuran, mereka bertiga ditambah tokoh-tokoh Surabaya ibarat Soedirman, Soengkono, Soerjo dan Bung Tomo melaksanakan negosiasi dengan Mallaby dan Hawthorn. Hasil perundingannya yaitu tentara sekutu sepakat untuk mundur dari Tanjung Perak dan Darmo, sementara Indonesia sepakat mengizinkan interniran lewat secara bebas diantara kedua sektor itu.
Setelah melaksanakan perundingan, Soekarno, Hatta dan Amir Sjarifoeddin kembali ke Jakarta dengan memakai pesawat terbang dan menganggap kekerasan sudah berakhir.
30 Oktober 1945
Sewaktu melaksanakan patroli, kendaraan beroda empat Buick yang sedang ditumpangi Brigjen Mallaby dicegat oleh sekelompok milisi Indonesia dikala akan melewati Jembatan Merah. Karena terjadi salah paham, maka terjadilah tembak menembak yang risikonya membuat kendaraan beroda empat jenderal Inggris itu meledak terkena tembakan. Mobil itu pun hangus.
Kematian Jenderal Inggris itu menjadi titik tolak untuk peristiwa-peristiwa yang lebih dasyat berikutnya. Letnan Jenderal Christinson, komandan Pasukan Sekutu di Hindia Belanda (AFNEI) memperlihatkan peringatan keras terhadap Indonesia. Ia kemudian mengirimkan seluruh Divisi Infanteri ke-5 lengkap dengan peralatan tank ke Surabaya dibawah pimpinan Mayor Jenderal Mansergh. Kekuatannya berjumlah sekitar 15.000 pasukan.
1 November 1945
Kapal perang HMS Sussex muncul di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Selama ahad berikutnya sekitar 8000 interniran berhasil dipindahkan ke kapal perang.
9 November 1945
Dengan semua para interniran (sandera) berhasil dibawa pulang, Inggris mulai melaksanakan aksi balas dendamnya atas maut Mallaby. Seperti yang diceritakan Idrus,
“Sedjak beberapa hari sekoetoe mendaratkan serdadoe2 lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank itu toeroen dari kapal ibarat malaikal maut toeroen dari langit; diam2 dan dirahasiakan oleh orang jang menoeroenkannja” (Soerabaja, hal. 137)
Mansergh mengeluarkan ultimatum biar seluruh senjata di Surabaya diserahkan sebelum jam 06.00 keesokan harinya dan supaya orang-orang Indonesia yang bertanggung jawab atas tewasnya Mallaby diserahkan. Ultimatum itu disebarkan melalui udara ke seluruh kota.
Selain itu Mansergh secara eksplisit memperingatkan bahwa semua belum dewasa dan perempuan harus sudah meninggalkan kota sebelum pukul 19.00 malam itu dan memperlihatkan bahaya eksekusi mati bagi setiap orang Indonesia yang membawa senjata sehabis pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Mendengar ultimatum itu para pemimpin Surabaya menelpon Jakarta untuk memperoleh keputusan tingkat nasional mengenai balasan apa yang harus diberikan terhadap ultimatum Mansergh. Akan tetapi, baik Soekarno maupun Soebardjo (Menteri Luar Negeri) menyerahkan keputusan itu terhadap masyarakat Surabaya.
Jam 6 sore, elemen TKR dan cowok menandatangani “Soempah Kebulatan Tekad” yang isinya,
Bismillah Hirochmanirrachim
SOEMPAH KEBOELATAN TEKAD
Tetap Merdeka !
Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia dilaporkan pada tanggal 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan soenggoeh-soenggoeh, penoeh tanggoeng djawab, tulus berkorban dengan tekad MERDEKA atau MATI !!!
Sekali merdeka tetap merdeka !
Soerabaja, 9 November 1945
Ttd
(1) TKR Kota
(2) PRI
(3) BPRI
(4) TKR Sidoardjo
(5) BBI
(6) TKR Laut
(7) TKR Peladjar
(8) P.I.
(9) BBM (Barisan Berani Mati)
(10) TKR Modjokerto
(11) TKR Djombang
(12) dll
Dan setelah melaksanakan diskusi yang cukup panjang dengan seluruh elemen yang ada di Surabaya, pada jam 23.00 malam Gubernur Soerjo mengumumkan melalui radio keputusannya bahwa Surabaya akan melawan hingga titik darah penghabisan.
10 November 1945
Pada pukul 06.00 Inggris memulai serangannya, sementara itu Bung Tomo memanggil seluruh rakyat melawan penyerbu-penyerbu itu. Pemboman besar-besaran dari bahari dan udara membinasakan sebagian besar Surabaya. Menjelang senja, Inggris telah menguasai sepertiga kota.
Surat kabar Times di London mengabarkan bahwa kekuatan Inggris terdiri dari 25 ponders, 37 howitser, HMS Sussex dibantu 4 kapal perang destroyer, 12 kapal terbang jenis Mosquito, 15.000 personel dari divisi 5 dan 6000 personel dari brigade 49 The Fighting Cock.
David Welch menggambarkan pertempuran tersebut dalam bukunya, Birth of Indonesia (hal. 66),
“Di sentra kota pertempuran yaitu lebih dasyat, jalan-jalan diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Mayat dari manusia, kuda-kuda, kucing-kucing serta anjing-anjing bergelimangan di selokan-selokan. Gelas-gelas berpecahan, perabot rumah tangga, kawat-kawat telephon bergelantungan di jalan-jalan dan bunyi pertempuran menggema di tengah gedung-gedung kantor yang kosong.
Perlawanan Indonesia berlangsung dalam dua tahap, pertama pengorbanan diri secara fanatik, dengan orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau-pisau belati menyerang tank-tank Sherman, dan kemudian dengan cara yang lebih terorganisir dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang”
Pertempuran berlangsung dengan ganas selama 3 minggu. Pada final bulan November 1945 seluruh kota telah jatuh ke tangan sekutu. Para pejuang Indonesia yang masih hidup mengikuti ribuan pengungsi yang melarikan diri meninggalkan Surabaya dan kemudian mereka membuat garis pertahanan gres mulai dari Mojokerto di Barat hingga ke arah Sidoarjo di Timur.
Menurut Ricklefs (2008) sedikitnya ada 6000 rakyat Indonesia yang gugur. Meski pihak republik kehilangan banyak tentara dan pemuda, tetapi perlawanan mereka yang bersifat pengorbanan tersebut telah membuat lambang dan pekik persatuan demi revolusi.
(Tamat)
------------------
Referensi :
(1) Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan. Irna H.N. Grasindo. 1994.
(2) Revolusi Pemuda. Ben Anderson. Sinar Harapan. 1988.
(3) Sejarah Indonesia Modern. M.C.Ricklefs. Serambi. 2008.
(4) http://id.wikipedia.org/
(5) http://
Sumber: journalmiliter
0 Komentar untuk "Peristiwa 10 November 1945 Surabaya"