SETIAP tahun pada “akhir demam isu dingin” atau sesudah panen, Hayam Wuruk raja Majapahit (1350-1389) bergelar Sri Rajasanagara berkeliling sampai ke luar ibukota. Dia pergi memakai pedati yang ditarik sapi, diiringi rombongan. Perjalanannya tercatat dalam teks Desawarnana (Nagarakretagama) karya Mpu Prapanca, yang turut dalam perjalanan tersebut.
Bersandar pada teks Desawarnana, TH Pigeaud dalam Java in the 14th Century: A Study in Cultural History Vol. IV mencatat bahwa Hayam Wuruk melaksanakan enam kali perjalanan mengunjungi Pajang (1353), Lasem (1354), Lodaya (1357), Lumajang (1359), Tirib Sompur (1360), Palah Blitar (1361), dan Simping (1363).
Dalam kunjungannya ke Lumajang pada bulan purnama dalam Bhadrapada tahun saka 1281 atau sekira ahad pertama September 1359 M, “merupakan kesempatan pertama bagi sang penyair (Mpu Prapanca, red) untuk mendampingi rajanya dalam sebuah kunjungan kerja, sekaligus mengumpulkan materi pokok untuk kakawin-nya,” tulis Nigel Bullough, naturalis Inggris yang berjulukan Jawa Hadi Sidomulya, dalam Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca.
Pigeaud beranggapan bahwa perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa daerah bersifat keagamaan. Hal itu ditandai oleh aktivitas dan kunjungannya ke daerah suci guna menghormati leluhur dinasti Majapahit. Tempat-tempat yang menerima perhatian khusus yaitu Singhasari, Kagenengan, Kidal, dan Jajaghu (candi Jago).
Di Singhasari, Hayam Wuruk melaksanakan puja bhakti di sebuah dharma atau candi pendharmaan milik buyutnya, Kertanegara, raja terakhir Singhasari. Kertanegara didharmakan di Singhasari dengan arca berwujud Siwa-Buddha.
Setelah melaksanakan puja, raja beristirahat selama beberapa waktu sambil menikmati keindahan alam di Kedhung Biru dan Bureng.
Dari Singhasari, raja beriringan ke arah selatan menuju Kagenengan. Di Kagenengan, raja melaksanakan puja pada candi pendharmaan Sri Ranggah Rajasa, Ken Angrok, raja pertama Tumapel dan pendiri wangsa Rajasa.
Pagi harinya, Hayam Wuruk berkunjung ke pendharmaan candi Kidal, 11 km tenggara kota Malang, yang dibangun untuk Anusanatha (Anusapati), pengganti Ken Angrok yang wafat tahun 1170 saka atau 1248 M. Selepas memberi sembahan, Hayam Wuruk melanjutkan perjalanan dan datang di desa Tumpang yang terletak 6 km sebelah timur Kidal.
Terdapat sebuah bangunan pedharmaan (dharma Jajaghu) untuk Wisnuwardhana, raja ketiga Tumapel. Wisnuwardhana didharmakan sebagai Siwa di Waleri dan sebagai Buddha di candi Jago. Di candi Jago, sampai sekarang terdapat “sebuah arca Buddha dalam bentuk Amoghapasa, yang dianggap sebagai wujud Wisnuwardhana,” tulis Bernet Kempers, jago purbakala, dalam Ancient Indonesian Art.
“Perjalanan Rajasanagara (Hayam Wuruk, red) itu sebagai dharmayatra, yaitu ‘ziarah ke kuil kuil,’ jadi sebagai perbuatan yang menurut keagamaan,” ujar Stutterheim, dikutip dari Penulisan Sejarah Jawa karya C.C. Berg.
Agus Aris Munandar, arkelog Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa ketika Hayam Wuruk berkunjung ke beberapa daerah pendharmaan yang merupakan perwujudan dari wangsa Rajasa; Ken Angrok, Anusanatha, Wisnuwardhana, dan Kertanegara, dilakukan pembacaan mantra oleh para pendeta yang diikuti oleh sang raja. Air yang disertakan dalam puja kemudian dibalurkan pada candi pendharmaan.
“Dalam perjalanan Hayam Wuruk, selain berkunjung ke pendharmaan, pathirtan, dan kadewaguruan yang bersifat keagamaan, ia juga memantau wilayah kekuasaannya dan berwisata di beberapa daerah yang dilaluinya, ibarat di Blitar pada 1357 dengan menikmati pemandangan di pantai selatan,
Referensi : Historia
0 Komentar untuk "Perjalanan Ziarah Raja Majapahit"