Potret Nusantara, Sejarah Budaya Batak

Menurut tumpuan yang saya dapat, Orang Batak yaitu penutur bahasa Austronesia  namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi memperlihatkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di zaman watu muda (Neolitikum). Karena hingga kini belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka sanggup diduga bahwa nenek moyang Batak gres bermigrasi ke Sumatera Utara di zaman logam. Pada kurun ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada kurun ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini mengakibatkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Identitas Batak
R.W Liddle mengatakan, bahwa sebelum kurun ke-20 di Sumatera pecahan utara tidak terdapat kelompok etnis sebagai satuan sosial yang koheren. Menurutnya hingga kurun ke-19, interaksi sosial di kawasan itu hanya terbatas pada hubungan antar individu, antar kelompok kekerabatan, atau antar kampung. Dan hampir tidak ada kesadaran untuk menjadi pecahan dari satuan-satuan sosial dan politik yang lebih besar. Pendapat lain mengemukakan, bahwa munculnya kesadaran mengenai sebuah keluarga besar Batak gres terjadi pada zaman kolonial. Dalam disertasinya J. Pardede mengemukakan bahwa istilah "Tanah Batak" dan "rakyat Batak" diciptakan oleh pihak asing. Sebaliknya, Siti Omas Manurung, seorang istri dari putra pendeta Batak Toba menyatakan, bahwa sebelum kedatangan Belanda, semua orang baik karo maupun Simalungun mengakui dirinya sebagai Batak, dan Belandalah yang telah menciptakan terpisahnya kelompok-kelompok tersebut. Sebuah mitos yang mempunyai aneka macam macam versi menyatakan, bahwa Pusuk Buhit, salah satu puncak di barat Danau Toba, yaitu tempat "kelahiran" bangsa Batak. Selain itu mitos-mitos tersebut juga menyatakan bahwa nenek moyang orang Batak berasal dari Samosir.
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari aneka macam macam marga, sebagian disebabkan lantaran adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting wacana tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra mulut dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, kawasan asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akhir serangan pasukan Minangkabau yang tiba pada kurun ke-14 untuk menguasai Barus. 

Misionaris Kristen
Pada tahun 1824, dua misionaris Baptist asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka hingga di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua ahad di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melaksanakan observasi dan pengamatan pribadi atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834, acara ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Munson dari Dewan Komisaris Amerika untuk Misi Luar Negeri.
Pada tahun 1850, Dewan Bibel Belanda menugaskan Herman Neubronner Van der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak - Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen - Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi target pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861, dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P. H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam abjad latin di Medan pada tahun 1893. Menurut H. O. Voorma, terjemahan ini tidak gampang dibaca, agak kaku, dan terdengar absurd dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Nasrani dengan cepat, dan pada awal kurun ke-20 telah menimbulkan Nasrani sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melaksanakan perlawanan lagi dengan pemerintahan kolonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, sehabis pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
Gereja HKBP
Gereja Huria Nasrani Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada final tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat menawarkan training perawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941, Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan. 

Salam Khas Batak
Tiap puak Batak mempunyai salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang terkenal di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih mempunyai penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
1. Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2. Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3. Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4. Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5. Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

Kekerabatan
Kekerabatan yaitu menyangkut hubungan aturan antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak mempunyai marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun lantaran perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat yaitu ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya contohnya Harahap, kesatuan adatnya yaitu Marga Harahap vs Marga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali diadaptasi dengan waktu dan tempat besar lengan berkuasa terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosofi biar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, lantaran merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari yaitu yang satu marga, walaupun intinya tetangga dihentikan dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan  

Masyarakat Batak mempunyai falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni yang dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu. Berikut penyebutan Dalihan Natolu berdasarkan keenam puan batak:
1. Dalihan Na Tolu (Toba) 
• Somba Marhula-hula 
• Manat Mardongan Tubu 
• Elek Marboru
2. Dalian Na Tolu (Mandailing dan Angkola)
• Hormat Marmora
• Manat Markahanggi 
• Elek Maranak Boru
3. Tolu Sahundulan (Simalungun) 
• Martondong Ningon Hormat, Sombah 
• Marsanina Ningon Pakkei, Manat 
• Marboru Ningon Elek, Pakkei
4. Rakut Sitelu (Karo) 
• Nembah Man Kalimbubu 
• Mehamat Man Sembuyak 
• Nami-nami Man Anak Beru
5. Daliken Sitelu (Pakpak) 
• Sembah Merkula-kula 
• Manat Merdengan Tubuh 
• Elek Marberru

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu yaitu bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak niscaya pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Kaprikornus setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan tabiat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.


sumber: wikipedia

Related : Potret Nusantara, Sejarah Budaya Batak

0 Komentar untuk "Potret Nusantara, Sejarah Budaya Batak"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)