Revolusi Rusia 1789 – 1848 – 1905



Revolusi sanggup terjadi melalui dua cara: oleh sebuah bangsa yang bersatu ibarat seekor singa yang siap menerkam, atau¸ oleh sebuah bangsa yang di dalam proses perjuangannya menjadi terpecah-pecah guna membebaskan elemen terbaiknya yang akan melaksanakan tugas-tugas yang tidak bisa dipenuhi oleh seluruh bangsa. Ini yaitu dua set kondisi-kondisi sejarah yang bertentangan, yang di dalam bentuknya yang murni tentu saja hanya mungkin di dalam kontraposisi yang logis.
Dalam kebanyakan kasus, jalan tengah dari kedua cara ini yaitu jalan yang paling parah. Jalan tengah inilah yang terjadi pada 1848 (baca kegagalan Revolusi Austria dan Prusia – Ed.)
Di dalam periode sejarah Prancis yang heroik, kita melihat sebuah kelas borjuasi, yang tercerahkan, yang aktif, yang belum sadar akan kontradiksi-kontradiksi di dalam posisinya, yang oleh sejarah dibebankan kiprah kepemimpinan usaha demi sebuah orde yang baru, bukan hanya melawan institusi-institusi renta di Prancis tetapi juga melawan kekuatan-kekuatan reaksioner seluruh Eropa. Dengan konsisten dan di dalam semua faksinya, kaum borjuasi ini menganggap diri mereka sendiri sebagai pemimpin bangsa, menyatukan massa ke dalam perjuangan, menyampaikan mereka slogan-slogan dan mendikte taktik-taktik usaha mereka. Demokrasi mengikat seluruh bangsa dengan sebuah ideologi politik. Rakyat – yakni kaum borjuasi kota, kaum tani, dan kaum buruh – menentukan kaum borjuasi sebagai perwakilan mereka, dan instruksi-instruksi yang mereka berikan kepada perwakilan mereka ini ditulis dengan bahasa kaum borjuasi yang menjadi sadar akan misinya sebagai pembebas. Selama revolusi ini sendiri, walaupun antagonisme-antagonisme kelas terkuak, namun inersia usaha revolusioner yang besar ini melempar keluar elemen-elemen borjuasi yang lebih konservatif. Tidak ada strata yang akan terguling sebelum ia mentransfer enerjinya ke strata yang ada di belakangnya. Seluruh bangsa kemudian melanjutkan perjuangannya dengan metode-metode yang lebih tajam dan lebih tegas. Ketika lapisan-lapisan atas dari kaum borjuasi kaya pecah dari gerakan nasional ini dan membentuk aliansi dengan Louis XVI, tuntutan-tuntutan demokratik bangsa ini ditujukan melawan kaum borjuasi tersebut, dan ini menghasilkan pemilu universal dan republik sebagai bentuk demokrasi yang logis dan tidak terelakkan.
Revolusi Prancis 1789 memang yaitu sebuah revolusi nasional. Dan terlebih lagi, di dalam kerangka nasional, usaha populer diseluruh dunia dari kaum borjuasi untuk meraih dominasi, kekuasaan, dan kemenangan mutlak menemukan ekspresi klasiknya.
Jacobinisme kini yaitu sebuah istilah kotor di lisan semua kaum liberal yang sok tahu. Kebencian kaum borjuasi terhadap revolusi, kebenciannya terhadap rakyat, kebenciannya terhadap kekuatan dan kemegahan sejarah yang tercipta di jalan-jalan, kebencian ini terpusatkan di dalam satu pekik kebencian dan rasa takut – Jacobinisme! Kita, pasukan komunis sedunia, sudah semenjak usang menuntaskan pertentangan historis kita dengan Jacobinisme. Seluruh gerakan proletar internasional kini ini dibuat dan tumbuh kuat di dalam perjuangannya melawan tradisi Jacobinisme. Kita mengkritik teori-teorinya, kita ekspos limit-limit historisnya, kontradiksi-kontradiksi sosialnya, utopismenya, kita ekspos retorika-retorikanya, dan hancurkan tradisi-tradisi ini, yang selama puluhan tahun telah dianggap sebagai warisan suci revolusi.
Tetapi kita membela Jacobinisme dari serangan-serangan, fitnah-fitnah dan maki-makian yang dilakukan oleh liberalisme yang impoten. Dengan sangat memalukan, kaum borjuasi telah mengkhianati semua tradisi sejarah di ketika ia masih muda, dan ketika ini agen-agen bayarannya menginjak-injak kuburan leluhurnya dan mentertawakan nilai-nilai idealisme leluhurnya. Kaum proletar telah melindungi kehormatan dari masa-lalu revolusioner kaum borjuasi. Akan tetapi, seradikal apapun kaum proletar telah putus dari tradisi-tradisi revolusioner kaum borjuasi, mereka tetap melindungi tradisi-tradisi ini sebagai sebuah warisan suci semangat perjuangan, kepahlawanan, dan kreatifitas yang agung, dan hatinya berdentum dengan penuh simpati terhadap pidato-pidato dan aksi-aksi kaum Jacobin.
Bukankah liberalisme mendapat pesonanya dari tradisi-tradisi Revolusi Prancis? Bukankah demokrasi borjuis naik ke daerah yang begitu tinggi dan menebarkan api yang begitu menggelora di hati rakyat hanya pada ketika periode Jacobin, sans-culotte, teroris, dan demokrasi Robespierrian tahun 1793?
Siapa lagi jikalau bukan Jacobinisme yang memungkinkan kaum borjuasi dari segala aliran untuk memimpin dominan rakyat dan bahkan kaum proletar di bawah pengaruhnya, ketika radikalisme borjuis di Jerman dan Austria telah menutup sejarahnya yang pendek dengan aksi-aksi yang memalukan dan mengecewakan?
Siapa lagi jikalau bukan Jacobinisme dengan pesonanya, dengan ideologi politiknya yang abstrak, dengan pemujaannya terhadap Republik yang Suci, dengan deklarasi-deklarasinya yang megah, yang bahkan hingga kini memberi enerji kepada kaum Radikal Prancis dan kaum sosialis-radikal ibarat Clemenceau, Millerand, Briand dan Bourgeois, dan semua politisi-politisi yang tahu bagaimana mempertahankan sistem borjuis ibarat halnya kaum Junkernya Wilhem II? Mereka dicemburui oleh kaum borjuasi demokrat dari negeri-negeri lain, akan tetapi mereka masih saja menebar fitnah kepada Jacobinisme, sumber kemasyuran politik mereka.
Bahkan sehabis banyak cita-cita sudah dihancurkan, Jacobinisme tetap tinggal di dalam ingatan rakyat sebagai sebuah tradisi. Puluhan tahun lamanya, kaum proletar masih berbicara mengenai masa depannya dengan bahasa masa lalu. Pada 1840, hampir setengah masa sehabis pemerintahan ‘La Montagne’, 8 tahun sebelum Hari-Hari Juni 1848, Heine mengunjungi beberapa seminar di faubourg (sub-urban) Saint-Marceau dan menyaksikan para buruh, ‘seksi kelas bawah yang paling bersuara’, sedang membaca. Dalam artikelnya di sebuah suratkabar Jerman, Heine menulis, “Saya menemukan di sana beberapa pidato Robespierre dan juga pamflet-pamflet karangan Marat dalam dua edisi; “History of the Revolution”oleh Cabet; tulisan-tulisan Cormenin yang tajam; karya-karya Buonarroti; “The Teachings and Conspiracy of Babeuf”; semua karya-karya yang berbau darah …”, kemudian penyair ini meramalkan, “ … sebagai salah satu buah dari benih ini, cepat atau lambat sebuah republik akan lahir di Prancis.”
Pada 1848, kaum borjuasi sudah tidak bisa lagi memainkan kiprah yang sama. Mereka tidak ingin dan tidak bisa melaksanakan likuidasi revolusioner terhadap sistem sosial yang menghadang jalan mereka ke kekuasaan. Kita tahu mengapa. Tujuan kaum borjuasi yaitu – dan mereka sepenuhnya sadar akan tujuan ini – untuk memasukkan ke dalam rejim usang ini kebijakan-kebijakan penjamin yang dibutuhkan bukan untuk dominasi politik mereka tetapi hanya untuk menyebarkan kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan rejim lama. Mereka menjadi bijak alasannya pengalaman kaum borjuasi Prancis, yang menjadi korup alasannya pengkhianatan mereka dan menjadi takut akan kegagalan mereka. Mereka bukan hanya gagal memimpin massa menghancurkan orde yang lama, tetapi mendukung orde usang ini guna mendorong ke belakang massa yang maju ke depan.
Kaum borjuasi Prancis berhasil menuntaskan Revolusi Prancis 1789. Saat itu, kesadarannya yaitu kesadaran masyarakat, dan tidak ada institusi yang bisa terbentuk tanpa pertama kali melewati kesadarannya sebagai tujuannya, sebagai problem pembentukan politik. Sering kali mereka memakai pose-pose teatrikal guna menyembunyikan diri mereka dari batasan-batasan dunia borjuis mereka – tetapi mereka tetap melangkah maju.
Akan tetapi, kaum borjuasi Jerman, dari awalnya, tidak ‘menciptakan’ revolusi, tetapi memisahkan diri mereka dari revolusi. Kesadaran mereka bertentangan dengan kondisi-kondisi objektif untuk dominasi mereka. Revolusi hanya bisa dilaksanakan bukan oleh mereka tetapi untuk melawan mereka. Di dalam pikirannya, institusi-institusi demokrasi bukanlah tujuan untuk diperjuangkan, tetapi merupakan halangan bagi kemakmuran mereka.
Pada 1848, sebuah kelas dibutuhkan, sebuah kelas yang bisa mengambil tampuk kepemimpinan gerakan tanpa keberadaan kaum borjuasi, sebuah kelas yang bukan hanya bisa mendorong maju kaum borjuasi tetapi juga bisa menyingkirkan mayit politik kaum borjuasi pada saat-saat yang menentukan. Kaum borjuasi kecil kota dan kaum tani tidak bisa melaksanakan hal ini.
Kaum borjuasi kecil perkotaan membenci rejim masa kemudian dan juga rejim masa depan. Masih terikat oleh hubungan Zaman Pertengahan, tetapi sudah tidak bisa berdiri melawan industri ‘bebas’; masih kuat di kota-kota, tetapi sudah tidak bisa melawan kaum borjuasi menengah dan besar; penuh dengan prasangka, tuli alasannya gemuruh peristiwa, tertindas dan menindas, serakah tetapi tidak bisa memenuhi keserakahannya; kaum borjuasi kecil tidak bisa mengendalikan jalannya peristiwa-peristiwa besar bila ditinggal sendirian.
Kaum tani bahkan lebih tidak mempunyai inisiatif politik yang mandiri. Dirantai selama berabad-abad, miskin, penuh kemarahan, menyatukan semua bentuk penindasan yang usang dan gres di dalamnya, kaum tani pada suatu ketika tertentu sanggup menjadi sumber kekuatan revolusioner yang besar. Akan tetapi, tidak terorganisir, tercerai-berai, terisolasi dari kota yang merupakan nadi utama dari politik dan kebudayaan, bodoh, wawasannya terbatas pada desa-desa mereka sendiri, tidak peduli pada apa yang sedang dipikirkan oleh orang-orang kota, kaum tani tidak bisa menjadi kekuatan pemimpin. Kaum tani segera menjadi jinak sehabis punggungnya telah dibebaskan dari beban feodalisme, dan memperlihatkan rasa tidak berterimakasih kepada kota-kota yang telah berjuang demi hak-hak mereka. Kaum tani yang terbebaskan menjadi fanatik ‘orde lama’.
Kaum intelektual demokrat tidak mempunyai kekuatan kelas. Pada satu waktu kelompok ini mengekori saudara tuanya, kaum borjuasi liberal, pada waktu yang lain mereka meninggalkan kaum borjuasi liberal di ketika yang kritikal guna mengekspos kelemahan mereka. Mereka membingungkan diri mereka sendiri dengan kontradiksi-kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan, dan membawa kebingungan ini kemana saja mereka pergi.
Kaum proletar terlalu lemah, tidak mempunyai organisasi, pengalaman, dan pengetahuan. Kapitalisme telah cukup berkembang sehingga membuat pembatalan relasi-relasi feodal sebagai suatu hal yang harus dilakukan, tetapi pada pihak yang lain kapitalisme belumlah cukup berkembang untuk membuat kelas buruh – yang merupakan produk dari relasi-relasi industri yang gres – sebagai sebuah kekuatan politik yang menentukan. Antagonisme antara proletar dan borjuasi, bahkan di dalam kerangka nasional Jerman, sudah menjadi terlalu besar sehingga kaum borjuasi tidak berani mengambil kiprah hegemoni nasional, tetapi tidak cukup bagi kaum proletar untuk mengambil kiprah tersebut. Benar jikalau friksi internal revolusi mempersiapkan kaum proletar untuk kemandirian politik, tetapi pada ketika yang sama friksi internal ini menghabiskan enerji dan melemahkan persatuan, mengakibatkan penghabisan enerji yang sia-sia, dan memaksa revolusi – sehabis keberhasilan awalnya – untuk tertunda usang dan kemudian mundur di bawah pukulan-pukulan reaksioner.
Revolusi Austria merupakan satu teladan yang terang dan tragis dari huruf relasi-relasi politik yang tidak-matang dan tidak-selesai di dalam periode revolusi.
Kaum proletar Vienna pada 1848 memperlihatkan kepahlawanan yang hebat dan enerji yang besar. Lagi dan lagi mereka terjun ke medan perang, hanya didorong oleh naluri kelas yang buram, tidak mempunyai sebuah citra umum akan tujuan-tujuan usaha mereka, dan mengubah satu slogan ke slogan yang lain dengan meraba-raba di dalam kegelapan. Cukup luar biasa, kepemimpinan proletar jatuh di tangan kaum pelajar, satu-satunya kelompok demokratik aktif, yang mempunyai imbas yang besar terhadap massa alasannya kegiatan mereka, dan oleh alasannya itu mereka juga mempunyai imbas yang besar terhadap jalannya peristiwa-peristiwa. Tidak diragukan jikalau para pelajar bisa berjuang dengan berani di barikade-barikade dan bergaul dengan para buruh, tetapi mereka sama sekali tidak bisa menyampaikan arah kepada jalannya revolusi yang telah menyampaikan mereka ‘kediktatoran’ di jalanan.
Kaum proletar, tidak terorganisir, tanpa pengalaman politik dan kepemimpinan yang mandiri, mengikuti para pelajar. Pada setiap momen yang kritikal, para buruh menyampaikan ‘tuan-tuan yang bekerja dengan kepala mereka’ pinjaman dari ‘mereka yang bekerja dengan tangan mereka’. Pada satu ketika para pelajar memanggil para buruh untuk berjuang, dan pada ketika yang lain para pelajar menghalangi para buruh dari sub-urban untuk pergi ke kota. Kadang-kadang, dengan memakai otoritas politik mereka dan mengandalkan senjatanya Academic Legion, para pelajar melarang para buruh untuk memajukan tuntutan-tuntutan berdikari mereka sendiri. Ini jelas-jelas yaitu bentuk klasik kediktatoran revolusioner yang baik-hati terhadap kaum proletar. Apakah hasil dari relasi-relasi sosial ini? Nah ini: ketika pada 26 Mei, semua kaum buruh Vienna, yang dipanggil oleh para pelajar, bergerak untuk menentang pelucutan senjata para pelajar (Academic Legion); ketika seluruh populasi ibukota yang membangun barikade-barikade di seluruh penjuru kota memperlihatkan kekuatan yang besar dan mengambil alih kota Vienna; ketika seluruh Austria mendukung mempersenjatai rakyat Vienna; ketika monarki sudah kabur dan tidak punya imbas lagi; ketika semua tentara telah ditarik keluar dari ibukota alasannya tekanan dari rakyat; ketika pemerintahan Austria mengundurkan diri tanpa menunjuk penggantinya – tidak ada kekuatan politik yang sanggup mengambil tampuk kepemimpinan.
Kaum borjuasi liberal sengaja menolak mengambil kekuasaan yang telah ditundukkan dengan cara yang liar; mereka hanya memimpikan kembalinya sang Raja yang telah lari ke Tyrol.
Kaum buruh mempunyai cukup keberanian untuk mengalahkan kekuatan reaksioner,tetapi tidak cukup terorganisir dan sadar untuk menggantikan mereka. Sebuah gerakan buruh yang kuat eksis, tetapi usaha kelas proletar dengan sebuah tujuan politik yang tegas belumlah cukup berkembang. Kaum proletar, yang tidak bisa mengambil kepemimpinan, tidak bisa menuntaskan kiprah historis ini. Dan kaum demokrat borjuis, ibarat yang sering terjadi, belakang layar kabur pada ketika yang sangat menentukan.
Untuk memaksa para desertir (pembelot) ini agar mereka memenuhi kewajiban-kewajibannya mengharuskan kaum proletar untuk mempunyai enerji dan kedewasaan ibarat yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan buruh sementara.
Sebagai konsekuensinya, kita menyaksikan sebuah situasi yang sanggup dijelaskan sebagai berikut: “Republik telah terbentuk di Vienna, tetapi sayangnya tidak ada seorangpun yang sadar akan hal ini.” Republik yang tidak disadari oleh siapapun ini telah usang hilang dari arena, digantikan oleh Habsburg… Sebuah kesempatan yang sekali hilang tidak akan kembali lagi.
Dari pengalaman revolusi Hungaria dan Jerman, Lassalle menyimpulkan bahwa mulai dari kini revolusi hanya sanggup mengandalkan usaha kelas kaum proletar. Di dalam suratnya kepada Marx tertanggal 24 Oktober 1849, Lassalle menulis: “Hungaria mempunyai lebih banyak kesempatan daripada negeri-negeri lainnya untuk berhasil di dalam perjuangannya. Salah satu penyebabnya yaitu alasannya partai-partai di negeri ini tidaklah terpecah-berai dan bertengkar ibarat halnya di Eropa Barat; alasannya revolusi ini mengambil bentuk usaha pembebasan nasional. Akan tetapi, Revolusi Hungaria kalah, dan justru alasannya pengkhianatan partai nasional.”
“Ini, dan sejarah Jerman selama 1848-1849,” lanjut Lassalle, “membawa saya ke kesimpulan bahwa tidak ada revolusi yang akan berhasil di Eropa kecuali bila revolusi tersebut dari awalnya diproklamirkan sebagai sungguh-sungguh sosialis. Tidak ada usaha yang akan berhasil bila masalah-masalah sosial masuk ke dalamnya hanya sebagai semacam elemen yang buram dan hanya menjadi latarbelakang, dan bila usaha tersebut dilaksanakan di bawah panji regenerasi nasional atau republikanisme borjuis.”
Kita tidak akan berhenti untuk mengkritik kesimpulan-kesimpulan di atas yang sangat tegas. Akan tetapi, sungguh benar jikalau pada pertengahan masa ke-19 problem emansipasi politik sudah tidak bisa diselesaikan oleh usaha seluruh bangsa. Hanya taktik-taktik independen kelas proletar, yang dari posisi kelasnya menghimpun kekuatan untuk berjuang, dan hanya dari posisi kelasnya, sanggup memastikan kemenangan mutlak bagi revolusi.
Kelas buruh Rusia tahun 1906 tidaklah serupa sama sekali dengan kelas buruh Vienna tahun 1848. Bukti terbaik untuk hal ini yaitu lahirnya Soviet Deputi Buruh di seluruh Rusia. Ini bukanlah organisasi konspirasi yang terbentuk-sebelumnya guna merebut kekuasaan pada ketika pemberontakan. Bukan. Ini yaitu organ-organ yang diciptakan oleh massa secara bersiklus untuk mengkoordinasi usaha revolusioner mereka. Dan Soviet-Soviet ini, dipilih oleh rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat, yaitu institusi yang benar-benar demokratis, yang melaksanakan kebijakan kelas proletar dalam semangat sosialisme revolusioner.
Keunikan-keunikan sosial Revolusi Rusia sangatlah kasatmata dalam problem mempersenjatai bangsa. Sebuah milisi, Tentara Nasional, yaitu tuntutan pertama dan pencapaian pertama dari setiap revolusi, 1789 dan 1848, di Paris, di setiap negara penggalan Italia, di Vienna, dan di Berlin. Pada 1848, Tentara Nasional – yakni penyenjataan kelas-kelas pemilik dan ‘terdidik’ – yaitu tuntutan seluruh kaum oposisi borjuis, bahkan elemen yang paling moderat. Dan tujuannya yaitu bukan hanya untuk melindungi kebebasan-kebebasan yang telah mereka capai dan melawan restorasi dari atas, tetapi juga untuk melindungi hak kepemilikan kaum borjuasi dari serangan kaum proletar. Oleh alasannya itu, tuntutan pembentukan milisi yaitu tuntutan kelas kaum borjuasi. Seorang hebat sejarah Italia dari Inggris menulis, “Orang Italia sangatlah mengerti bahwa milisi sipil yang bersenjata akan membuat keberlangsungan despotisme mustahil. Selain itu, ini yaitu jaminan bagi kelas-kelas pemilik-properti untuk mencegah kemungkinan anarki dan gangguan apapun dari bawah.” Dan kaum penguasa yang reaksioner, alasannya tidak mempunyai tentara yang cukup untuk mengatasi ‘anarki’ dari massa revolusioner, kemudian mempersenjatai kaum borjuasi. Absolutisme pertama-tama mengijinkan para pedagang untuk menindas dan menghancurkan kaum buruh, kemudian ia melucuti dan menghancurkan para pedagang ini.
Di Rusia, tuntutan pembentukan milisi tidak mendapat dukungan dari partai-partai borjuis. Kaum liberal tidak bisa memahami pentingnya mempersenjatai diri; absolutisme telah menyampaikan mereka sedikit pelajaran-langsung mengenai ini. Tetapi kaum liberal Rusia juga mengerti bahwa yaitu tidak mungkin untuk membentuk sebuah milisi tanpa kelas proletar atau untuk melawan kelas proletar. Buruh Rusia sama sekali tidak serupa dengan buruh Prancis tahun 1848 yang memenuhi kantong mereka dengan batu-batu dan mempersenjatai diri mereka dengan cangkul, sedangkan para penjaga toko, para pelajar, dan para pengacara memanggul senapan di pundaknya dan pedang di pinggangnya.
Mempersenjatai revolusi di Rusia berarti mempersenjatai buruh. Memahami dan takut akan hal tersebut, kaum liberal menolak mentah-mentah gagasan pembentukan milisi. Mereka bahkan mengalah kepada absolutisme tanpa perlawanan ibarat halnya kaum borjuasi Thiers menyerahkan Paris dan Prancis kepada Bismarck guna menghindari menyampaikan senjata kepada para buruh.
Di dalam manifesto koalisi liberal-demokrat, sebuah simposium yang menamakan dirinya “The Constitutional State”, Tuan Dzhivelegov, dalam mendiskusikan kemungkinan revolusi, cukup sempurna dalam menyampaikan bahwa “masyarakat, dalam momen yang menentukan, harus siap untuk berdiri membela Konstitusinya.” Tetapi alasannya kesimpulan logis dari ujaran ini yaitu tuntutan untuk mempersenjatai rakyat, filsuf liberal ini merasa “perlu untuk menambahkan” bahwa “tidaklah perlu bagi semua orang untuk memanggul senjata” guna membela konstitusi. Masyarakat hanya perlu menyiapkan diri untuk melawan – bagaimana caranya tidak diusulkan sama sekali. Hanya ada satu kesimpulan yang bisa ditarik dari ini, yakni bahwa di dalam hati kaum demokrat kita terdapat sebuah rasa takut terhadap kaum proletar yang tersenjatai yang lebih besar daripada rasa takut terhadap tentara otokrasi.
Oleh alasannya itu, kiprah mempersenjatai revolusi sepenuhnya jatuh di bahu kaum proletar. Di Rusia, tuntutan pembentukan milisi sipil – yang merupakan tuntutan kelas kaum borjuasi pada 1848 – semenjak awal merupakan tuntutan untuk mempersenjatai rakyat dan yang terutama untuk mempersenjatai kaum proletar. Nasib Revolusi Rusia tergantung pada permasalahan ini.

Related : Revolusi Rusia 1789 – 1848 – 1905

0 Komentar untuk "Revolusi Rusia 1789 – 1848 – 1905"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)