Suluk Sunan Bonang Jilid 8, Falsafah Perang Bala Kurawa Dan Pandawa



Di Pesantren Bonang kehidupan sehari-hari berjalan seprti biasa. Shalat fardu lima waktu dijalankan dengan tertib. Majlismajlis untuk membicarakan pengalaman kerohanian dan penghayatan keagamaan senantiasa diadakan. Di sela-sela itu para santri mengerjakan pekerjaan sehari-hari, di samping mengadakan pentas-pentas seni dan pembacaan tembang Sunan Bonang menjelaskan bahwa menyerupai ibadat dalam agama Hindu yang dilakukan secara lahir dan batin, demikian juga di dalam Islam. Malahan di dalam agama Islam, ibadat ini diatur dengan terang di dalam syariat. Bedanya di dalam Islam kewajiban-kewajiban agama tidak hanya dilakukan oleh ulama dan pendeta, tetapi oleh seluruh pemeluk agaa Islam. Sunan bonang mengajarkan perihal egaliterianissme dalam Islam. Sunan bonang mengajarkan perihal egaliterisme di dalam Islam. Jika ibadat zahir dilakukan dengan mengerjakan rukun Islam yang lima, ibadat batin ditempuh melalui tariqat atau ilmu suluk, dengan memperbanyak ibadah menyerupai sembahyang sunnah, tahajud, taubat nasuha, wirid dan zikir. Zikir berarti mengingat Tuhan tanpa henti. Di antara cara berzikir itu ialah dengan mengucapkan
kalimah La ilaha illa Allah. Di dalamnya terkandung rahsia keesaan Tuhan, alam semesta dan kejadian manusia. 
Berbeda dengan dalam agama Hindu, di dalam agama Islam disiplin kerohanian dan ibadah sanggup dilakukan di tengah keramaian, alasannya yaitu perkara yang bersifat transendental tidak terpisah dari perkara yang bersifat kemasyarakatan. Di dalam agama Islam tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi transendental dan dimensi sosial. Dikatakan pula bahwa insan terdiri daripada tiga hal yang pemiliknya berbeda. Jasmaninya milik ulat dan cacing, rohnya milik Tuhan dan milik insan itu sendiri hanyalah amal pebuatannya di dunia. Akhir Kalam: Falsafah Wayang Tamsil paling menonjol yang bersahabat dengan budaya lokal ialah wayang dan lakon perang Bala Kurawa dan Pandawa
yang sering dipertunjukkan dalam pagelaran wayang.. Penyair-penyair sufi Arab dan Persia menyerupai Fariduddin `Attar dan Ibn Fariedh memakai tamsil wayang untuk menggambarkan persatuan mistis yang dicapai spesialis makrifat dengan Tuhannya. Pada masa ke-11 dan 12 M di Persia pertunjukan wayang Cina memang sangat terkenal (Abdul Hadi W.M. 1999:153). Makna simbolik wayang dan layar daerah wayang dipertunjukkan, berkaitan pula dengan bayangbayang dan cermin. Dengan memakai tamsil wayang dalam suluknya Sunan Bonang seolah-olah ingin menyampaikan kepada pembacanya bahwa apa yang dilakukan melalui karyanya merupakan kelanjutan dari tradisi sastra sebelumnya, meskipun terdapat pembaharuan di dalamnya. 

Ketika ditanya oleh Sunan Kalijaga mengenai falsafah yang dikandung pertunjukan wayang dan hubungannya dengan fatwa tasawuf, Sunang Bonang menawarkan cerita Baratayudha (Perang Barata), perang besar antara Kurawa dan Pandawa. Di dalam pertunjukkan wayang kulit Kurawa diletakkan di sebelah kiri, mewakili golongan kiri. Sedangkan Pandawa di sebelah kanan layar mewakili golongan kanan layar mewakili golongan kanan. Kurawa mewakili nafi dan
Pandawa mewakili isbat. Perang Nafi Isbat juga berlangsung dalam jiwa insan dan disebut jihad besar. Jihad besar dilakukan untuk mencapai pencerahan dan pembebasan dari kungkungan dunia material. Sunan Bonang berkata kepada Wujil: “Ketahuilah Wujil, bahwa pemahaman yang sempruna sanggup dikiaskan dengan makna hakiki pertunjukan Wayang. Manusia tepat memakai ini untuk memahami dan mengenal Yang. Dalang dan wayang ditempatkan sebagai lambang dari tajalli (pengejawantahan ilmu) Yang Maha Agung di alam kepelbagaian. Inilah maknanya: Layar atau kelir meupakan alam inderawi. Wayang di sebelah kanan dan kiri merupakan
makhluq ilahi. Batang pokok pisang daerah wayang diletakkan ialah tanah daerah berpijak. Blencong atau lampu minyak yaitu nyala hidup. Gamelan memberi irama dan keselarasan bagi segala kejadian. Ciptaan Tuhan tumbuh tak tehitung. Bagi mereka yang tidak menerima tuntunan ilahi ciptaan yang banyak itu akan merupakan tabir yang menghalangi penglihatannya. Mereka akan berhenti pada wujud zahir. Pandangannya kabur dan kacau. Dia hilang di dalam ketiadaan, lantaran tidak melihat hakekat di sebalik ciptaan itu.” Selanjutnya kata Sunan Bonang“Suratan segala ciptaan ini ialah menumbuhnkan rasa cinta dankasih. Ini merupakan suratan hati, perwujudan kuasa-kehendak yang menyerupai dengan-Nya, jwalaupun kita pergi ke Timur-arat, Utara-
Selatan atau atas ke bawah. Demikinlah kehidupan di dunia ini merupakan kesatuan Jagad besar dan Jagad kecil. Seperti wayang sajalah wujud kita ini. Segala tindakan, tingkah laris dan gerak gerik kita gotong royong secara belakang layar digerakkan oleh Sang Dalang.”
Mendengar itu Wujil sekarang paham. Dia menyadari bahwa di dalam dasar-dasarnya yang hakiki terdapat persamaan antara mistisisme Hindu dan tasawuf Islam. Di dalam Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, penyair Jawa Kuno masa ke-12 dari Kediri, falsafah wayang juga dikemukakan. Mpu Kanwa menuturkan bahwa dikala dunia mengalami kekacauan akhir perbuatan raksasa Niwatakawaca, dewa-dewa bersidang dan menentukan Arjuna sebagai kesatria yang pantas dijadikan hero menentang Niwatakawaca. Batara Guru turun ke dunia berkembang menjadi seorang pendeta bau tanah dan menemui
Arujuna yang gres saja selesai menjalankan tapabrata di Gunung Indrakila sehingga mencapai kelepasan (moksa).. 
Di dalam wejangannya Batara guru berkata kepada Arjuna: “Sesunguhnya jikalau direnungkan baik-baik, hidup didunia ini seprti permainan belaka. Ia serupa sandiwara. Orang mencari kesenangan, kebahagiaan, namun hanya kesengsaraan yang didapat. Memang sangat sukar memanfaatkan lima indra kita. Manusia senantiasa termakan oleh aktivitas indranya dan kesudahannya susah. Manusia tidak akan mengenal diri peribadinya jikalau buta oleh kekuasaan, hawa
nafsu dan kesenangan sensual dan duniawi. Seperti orang melihat pertunjukan wayang ia ditimpa perasaan duka dan menangis tesedu-sedu. Itulah perilaku orang yang tidak remaja jiwanya. Dia tahu benar bahwa wayang hanya merupakan sehelai kulit yang diukir, yang digerak-gerakkan oleh dalang dan dibentuk menyerupai berbicara. Inilah kias seseorang yang terikat pada kesenangan indrawi. Betapa besar kebodohannya.” (Abdullah Ciptoprawiro 1984) Selanjutnya Batara Guru berkata, “Demikianlah Arjuna! Sebenarnya dunia ini yaitu maya. Semua inisebenarnya dunia peri dan mambang, dunia bayang-bayang! Kau harus bisa melihat Yang Satu di balik alam mayayang dipenuhi bayang-bayang ini.” Arjuna mengerti. Kemudian beliau bersujud di hadpan Yang Satu, menyerahkan diri, membisu dalam hening. Baru sehabis mengheningkan cipta atau tafakur beliau mencicipi kehadiran Yang Tunggal dalam batinnya.
Kata Arjuna:
Sang Batara memancar ke dalam segala sesuatu
Menjadi hakekat seluruh Ada, sukar dijangkau
Bersemayam di dalam Ada dan Tiada,
Di dalam yang besar dan yang kecil, yang baik dan yang jahat
Penyebab alam semesta, pencipta dan pemusnah
Sang Sangkan Paran (Asal-usul) jagad raya
Bersifat Ada dan Tiada, zakhir dan batin (Ibid)

Demikianlah, dengan memakai tamsil wayang, Sunan Bonang berhasil meyakinkan Wujil bahwa peralihan dari zaman Hindu ke zaman Islam bukanlah suatu lompatan mendadak bagi kehidupan orang Jawa. Setidak-tidaknya secara spiritual terdapat kesinambungan yang menjamin tidak terjadi kegoncangan. Memang secara lahir kedua agama tersebut menawarkan perbedaan besar, tetapi seorang arif harus tembus pandang dan bisa melihat hakikat sehingga penglihatan kalbunya tercerahkan dan jiwanya terbebaskan dari kungkungan dunia benda dan bentuk-bentuk. Itulah inti
fatwa Sunan Bonang dalam Suluk Wujil.

Related : Suluk Sunan Bonang Jilid 8, Falsafah Perang Bala Kurawa Dan Pandawa

0 Komentar untuk "Suluk Sunan Bonang Jilid 8, Falsafah Perang Bala Kurawa Dan Pandawa"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)