Sejarah Indonesia X Belahan 2 Pedagang, Penguasa Dan Pujangga Pada Kala Klasik (Hindu-Buddha)

Satu di antara bangsa yang berinteraksi dengan penduduk kepulauan di Indonesia ialah bangsa India.

Interaksi itu terjalin sejalan dengan meluasnya korelasi perdagangan antara India dan Cina. Hubungan itu yang mendorong pedagang-pedagang India dan Cina tiba ke kepulauan di Indonesia.

Menurut van Leur, barang yang diperdagangkan dalam pasar internasional dikala itu ialah barang komoditas yang bernilai tinggi.

Barang-barang itu berupa logam mulia, perhiasan, banyak sekali barang pecah belah, serta materi baku yang diharapkan untuk kerajinan.

Dua komoditas penting yang menjadi primadona pada awal masa sejarah di Kepulauan Indonesia ialah gaharu dan kapur barus.

Kedua komoditas itu merupakan materi baku pewangi yang paling digemari oleh bangsa India dan Cina. Interaksi dengan kedua bangsa itu membawa perubahan pada bentuk tata negara di beberapa daerah di Kepulauan Indonesia.

Juga perubahan dalam susunan kemasyarakatan dan sistem kepercayaan. Sejak dikala itu pula pengaruh-pengaruh Hindu-Buddha berkembang di Indonesia

Tanda-tanda tertua adanya imbas kebudayaan Hindu di Indonesia berupa prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Sungai Cisedane, dekat Kota Bogor dikala ini.

Juga di Jawa Barat dekat Kota Jakarta. Selain itu kita juga sanggup melihat peninggalan kebudayaan Hindia itu di sepanjang pantai Kalimantan Timur, yaitu di daerah Muarakaman, Kutai.

Menurut para jago sejarah kuno, kerajaankerajaan yang disebut dalam prasasti-prasasti itu ialah kerajaan Indonesia asli, yang hidup makmur bersumber dari perdagangan dengan negara-negara di India Selatan.

Interaksi dengan orangorang dari negara lain itulah yang kemudian mempengaruh cara pandang para raja-raja dikala itu untuk mengadopsi konsep-konsep Hindu dengan cara mengundang para jago dan para pendeta dari golongan Brahmana (pendeta) di India Selatan yang beragama Wisnu atau Brahma.

Beberapa bukti menunjukkan, setelah budaya India masuk, terjadi banyak perubahan dalam tatanan kehidupan.

Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, kerajaan tertua di Muarakaman, Kalimatan Timur, yaitu Kerajaan Kutai menerima imbas yang kuat dari budaya India yaitu budaya yang dikembangkan oleh Bangsa Arya di lembah Sungai Indus.

Percampuran budaya itu kemudian melahirkan kerajaan yang bersifat Hindu di Nusantara. Baik itu yang meliputi dalam sistem religi, sistem kemasyarakatan, dan bentuk pemerintahan.

Suatu hal yang sangat penting dalam imbas Hindu ialah adanya konsepsi mengenai susunan negara yang amat hirarkis dengan pembagian-pembagian dan fraksi-fraksi yang digolongkan ke dalam empat atau delapan pecahan besar yang bersifat sederajat dan tersusun secara simetris.

Semua bagianbagian itu diorientasikan ke atas, yaitu sang raja dianggap sebagai keturunan dewa. Raja dianggap keramat dan puncak dari segala hal dalam negara dan sentra alam semesta.

Kebudayaan Hindu di zaman itu mempunyai kekuatan yang besar dan serupa dengan zaman modern dikala ini, mirip kebudayaan Barat ataupun kebudayaan Korea yang hampir mempengaruhi seluruh kehidupan semua bangsa-bangsa di dunia.

Demikian halnya dengan kebudayaan intelektual agama Hindu pada masa itu yang mempunyai imbas kuat di Asia Tenggara.

Sebelum kebudayaan India masuk, pemerintahan desa dipimpin oleh seorang kepala suku yang dipilih oleh anggota masyarakat.

Seorang kepala suku merupakan orang pilihan yang mengetahui perihal adat istiadat dan upacara pemujaan roh nenek moyangnya dengan baik.

Ia juga dianggap sebagai wakil nenek moyangnya. Ia harus sanggup melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Karena itulah larangan dan perintahnya dipatuhi oleh warganya.

Setelah masuknya budaya India, terjadi perubahan. Kedudukan kepala suku digantikan oleh raja mirip halnya di India. Raja mempunyai kekuasaan yang sangat besar.

Kedudukan raja tidak lagi dipilih oleh rakyatnya, akan tetapi diturunkan secara turun temurun. Raja merupakan penjelmaan yang kuasa yang seringkali disembah oleh rakyatnya.

Para Brahmana agama Hindu tidak dibebani untuk berbagi agama Hindu di Indonesia. Pada dasarnya seseorang tidak sanggup menjadi Hindu, tetapi seseorang itu lahir sebagai Hindu.

Mengingat hal tersebut, maka menjadi menarik dengan adanya agama Hindu di Indonesia. Bagaimana sanggup terjadi bahwa orangorang Indonesia yang niscaya pada mulanya tidak dilahirkan sebagai Hindu sanggup beragama Hindu. Demikian pula dengan sistem kemasyarakatan.

Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya yang berkembang di Lembah Sungai Indus ialah sistem kasta. Sistem kasta mengatur korelasi sosial bangsa Arya dengan bangsabangsa yang ditaklukkannya.

Sistem ini membedakan masyarakat menurut fungsinya. Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama.

Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan terendah atau golongan keempat. Sistem kepercayaan dan kasta menjadi dasar terbentuknya kepercayaan terhadap Hinduisme.

Penggolongan mirip inilah yang disebut caturwarna. Awal korelasi dagang antara penduduk Kepulauan Nusantara dan India bertepatan dengan perkembangan pesat dari agama Buddha.

Pendeta-pendeta Buddha berbagi ajarannya ke seluruh penjuru dunia melalui jalur perdagangan tanpa menghitungkan kesulitan-kesulitan yang ditempuhnya.

Mereka mendaki Himalaya untuk berbagi aliran Buddha di Tibet. Dari Tibet mereka melanjutkan ke arah utara hingga hingga ke Cina.

Kedatangan mereka itu biasanya disampaikan terlebih dahulu, sehingga ketika tiba di tempat tujuan mereka sanggup bertemu dengan kalangan istana.

Mereka biasanya mengajarkan agama dengan penuh ketekunan.

Mereka juga membentuk sebuah sanggha dengan biksubiksu setempat, sehingga muncul suatu ikatan pribadi dengan India, tanah suci agama Buddha.

Kedatangan para biksu dari India ke negara-negara lain itu, memunculkan keinginan para penduduk daerah setempat untuk pergi ke India mempelajari agama Buddha lebih lanjut.

Para biksu lokal itu kemudian kembali dengan membawa kitabkitab suci, relik, dan kesan-kesan. Bosch menyebut tanda-tanda ini dengan “arus balik”.

Pengaruh Buddha di Indonesia sanggup dijumpai pada beberapa temuan arkeologis. Satu bukti ialah ditemukannya arca Buddha terbuat dari perunggu di daerah Sempaga, Sulawesi Selatan.

Menurut ciri-cirinya, arca Sempaga memperlihatkan langgam seni arca Amarawati dari India Selatan. Arca sejenis juga ditemukan di daerah Jember, Jawa Timur dan daerah Bukit Siguntang, Sumatra Selatan.

Di daerah Kota Bangun, Kutai, Kalimantan Timur, juga ditemukan arca Buddha. Arca Buddha itu memperlihatkan ciri seni area dari India Utara.

Kalau begitu kapan kebudayaan Hindu-Buddha dari India itu masuk ke Kepulauan Indonesia? Terdapat banyak sekali pendapat mengenai proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hinduisasi.

Sampai dikala ini masih ada perbedaan pendapat mengenai cara dan jalur proses masuk dan berkembangnya imbas Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut: Pertama, sering disebut dengan teori Ksatria.

Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau imbas Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India.

Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Namun, teori Ksatria yang dikemukakan oleh R.C.

Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Selama ini belum ada jago yang sanggup menemukan bukti-bukti yang memperlihatkan adanya perluasan dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada semangat petualangan para kaum ksatria.

Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang menyampaikan bahwa kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia ialah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang.

Pada dikala itu jalur perdagangan ditempuh melalui lautan yang menimbulkan mereka tergantung pada ekspresi dominan angin dan kondisi alam. Bila ekspresi dominan angin tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih usang untuk menunggu ekspresi dominan baik.

Para pedagang India pun melaksanakan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan kebudayaan India.

Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk tiba ke Asia Tenggara ialah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan. Ketiga, teori Brahmana.

Teori tersebut sesuai dengan pendapat J.C. van Leur bahwa Hinduisasi di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasasti yang menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa.

Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu, adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India.

Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku biar mereka menjadi golongan ksatria.

Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka. Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik.

Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Artinya, orang-orang di Kepulauan Indonesia terutama para tokohnya yang pergi ke India. Di India mereka berguru hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha.

Setelah kembali mereka mengajarkan   dan berbagi aliran agama itu kepada masyarakatnya. Pandangan ini sanggup dikaitkan dengan pandangan F.D.K.

Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri atas kaum terpelajar yang mempunyai semangat untuk berbagi agama Buddha.

Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh masyarakat. Selanjutnya lantaran tertarik dengan aliran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk memperdalam aliran itu.

Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses Indianisasi ialah suatu imbas yang kuat terhadap kebudayaan lokal.

Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas sanggup ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat di Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha.

Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat pada masa itu.


Bicara soal perkembangan Kerajaan Kutai, tidak lepas dari sosok Raja Mulawarman.

Kamu perlu memahami keberadaan Kerajaan Kutai, lantaran Kerajaan Kutai ini dipandang sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang pertama di Indonesia.

Kerajaan Kutai diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur.

Sungai Mahakam merupakan sungai yang cukup besar dan mempunyai beberapa anak sungai.

Daerah di sekitar tempat pertemuan antara Sungai Mahakam dengan anak sungainya diperkirakan merupakan letak Muarakaman dahulu.

Sungai Mahakam sanggup dilayari dari pantai hingga masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk perdagangan.

Inilah posisi yang sangat menguntungkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Sungguh Tuhan Yang Maha Esa membuat alam semesta dan tanah air Indonesia itu begitu kaya dan strategis.

Hal ini perlu kita syukuri.

Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan sumber sejarah yang sanggup menjelaskannya.

Sumber sejarah Kutai yang utama ialah prasasti yang disebut yupa, yaitu berupa kerikil bertulis.

Yupa juga sebagai tugu peringatan dari upacara kurban. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.

Prasasti Yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para jago beropini bahwa yupa dibuat sekitar kala ke-5 M.

Hal menarik dalam prasasti itu ialah disebutkannya nama kakek Mulawarman yang berjulukan Kudungga.

Kudungga berarti penguasa lokal yang setelah terkena imbas Hindu-Buddha daerahnya berubah menjadi kerajaan.

Walaupun sudah menerima imbas Hindu-Buddha namanya tetap Kudungga berbeda dengan puteranya yang berjulukan Aswawarman dan cucunya yang berjulukan Mulawarman.

Oleh lantaran itu yang populer sebagai wangsakerta ialah Aswawarman. Coba pelajaran apa yang sanggup kau peroleh dengan masalah nama di dalam satu keluarga Kudungga itu?

Satu di antara yupa itu memberi informasi penting perihal silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa Kudungga mempunyai putra berjulukan Aswawarman.

Raja Aswawarman dikatakan mirip Dewa Ansuman (Dewa Matahari).

Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang populer ialah Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang terbesar di Kutai.

Ia pemeluk agama HinduSiwa yang setia.

Tempat sucinya dinamakan Waprakeswara. Ia juga dikenal sebagai raja yang sangat dekat dengan kaum Brahmana dan rakyat.

Raja Mulawarman sangat dermawan. Ia mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk para Brahmana.

Oleh lantaran itu, sebagai rasa terima kasih dan peringatan mengenai upacara kurban, para Brahmana mendirikan sebuah yupa.

Pada masa pemerintahan Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan.

Kutai terletak di tepi sungai, sehingga masyarakatnya melaksanakan pertanian. Selain itu, mereka banyak yang melaksanakan perdagangan.

Bahkan diperkirakan sudah terjadi korelasi dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan hingga di Cina.

Dalam pelayarannya dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai.

Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur. Satu di antara yupa di Kerajaan Kutai berisi keterangan yang artinya:

“Sang Mulawarman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para brahmana yang mirip api, (bertempat) di dalam tanah yang sangat suci (bernama) Waprakeswara”.


Sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan ialah pada masa Kerajaan Tarumanegara.

Untuk mengendalikan banjir dan usaha pertanian yang diduga di wilayah Jakarta dikala ini, maka Raja Purnawarman menggali Sungai Candrabaga.

Setelah selesai melaksanakan penggalian sungai maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu kepada brahmana. Berkat sungai itulah penduduk Tarumanegara menjadi makmur.

Siapakah Raja Purnawarman itu? Purnawarman ialah raja populer dari Tarumanegara.

Perlu kau pahami bahwa setelah Kerajaan Kutai berkembang di Kalimantan Timur, di Jawa pecahan barat muncul Kerajaan Tarumanegara.

Kerajaan ini terletak tidak jauh dari pantai utara Jawa pecahan barat.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan letak sentra Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berada di antara Sungai Citarum dan Cisadane.

Kalau mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan dengan kata tarum yang artinya nila. Kata tarum digunakan sebagai nama sebuah sungai di Jawa Barat, yakni Sungai Citarum.

Mungkin juga letak Tarumanegara dekat dengan aliran Sungai Citarum.

Kemudian menurut prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan sentra Kerajaan Tarumanegara ada di daerah Bekasi.

Sumber sejarah Tarumanegara yang utama ialah beberapa prasasti yang telah ditemukan.

Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti itu adalah:

1. Prasasti Tugu 
Inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman ini ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjung Priok, Jakarta.

Dituliskan dalam lima baris goresan pena beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Inskripsi tersebut isinya sebagai berikut:

“Dulu (kali yang bernama) Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan mempunyai lengan kencang dan kuat, (yakni Raja Purnawarman), untuk mengalirkannya ke laut, setelah (kali ini) hingga di istana kerajaan yang termashur.

Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnawarman yang berkilauan-kilauan lantaran kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, (maka sekarang) dia memerintahkan pula menggali kali yang permai dan lembap jernih, Gomati namanya, seteleh kali itu mengalir di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pandeta Nenekda (Sang Purnawarman).

Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, tanggal delapan paroh gelap bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paroh terang bulan Caitra, jadi hanya dalam 21 hari saja, sedang galian itu panjangnya 6.122 busur (± 11 km). Selamatan baginya dilakukan oleh brahmana disertai persembahan 1.000 ekor sapi”.

2. Prasasti Ciaruteun 
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasasti terdiri atas dua bagian, yaitu Inskripsi A yang dipahatkan dalam empat baris goresan pena berakasara Pallawa dan bahasa Sanskerta, dan Inskripsi B yang terdiri atas satu baris goresan pena yang belum sanggup dibaca dengan jelas.

Inskripsi ini disertai pula gambar sepasang telapak kaki. Inskripsi A isinya sebagai berikut: “ini (bekas) dua kaki, yang mirip kaki Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja yang gagah berani di dunia”.

Beberapa sarjana telah berusaha membaca inskripsi B, namun hasilnya belum memuaskan. Inskrispi B ini dibaca oleh J.L.A. Brandes sebagai Cri Tji aroe? Eun waca (Cri Ciaru?eun wasa), sedangkan H. Kern membacanya Purnavarmma-padam yang berarti “telapak kaki Purnawarman”

3. Prasasti Kebon Kopi 
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Ciaruetun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah. Isinya sebagai berikut: “Di sini tampak sepasang telapak kaki…… yang mirip (telapak kaki) Airawata, gajah penguasa Taruma (yang) agung dalam…… dan (?) kejayaan”.

4. Prasasti Muara Cianten 
Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum sanggup dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para jago disebut huruf ikal.

5. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak) 
Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleangkak, Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris goresan pena dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isinya sebagai berikut:

“Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya, ialah pemimpin insan yang tiada taranya, yang termashur Sri Purnawarman, yang sekali waktu (memerintah) di Tarumanegara dan yang baju zirahnya yang populer tiada sanggup ditembus senjata musuh. Ini ialah sepasang telapak kakinya, yang senantiasa berhasil menggempur musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging musuhmusuhnya”.

6. Prasasti Cidanghiang (Lebak) 
Terletak di tepi kali Cidanghiang, Desa Lebak, Munjul, Banten Selatan. Dituliskan dalam dua baris goresan pena beraksara Pallawa dan bahasa Sanskerta.

Isinya sebagai berikut: “Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia, Yang Mulia Purnwarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja.

7. Prasasti Pasir Awi 
Inskripsi ini terdapat di sebuah bukit berjulukan Pasir Awi, di daerah perbukitan Desa Sukamakmur, Jonggol, Bogor, Inskripsi prasasti ini tidak sanggup dibaca lantaran inskripsi ini lebih berupa gambar (piktograf) dari pada tulisan. Di pecahan atas inskripsi terdapat sepasang telapak kaki.

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat 
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada kala ke-5 M. Raja yang sangat populer ialah Purnawarman.

Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas. Ia juga dekat dengan para brahmana, pangeran, dan rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan arif dalam memerintah. Daerahnya cukup luas hingga ke daerah Banten.

Kerajaan Tarumanegara telah menjalin korelasi dengan kerajaan lain, contohnya dengan Cina. Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu.

Sedikit yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan agama nenek moyang (animisme). Berdasarkan informasi dari Fa-Hien, di To-lo-mo (Tarumanegara) terdapat tiga agama, yakni agama Hindu, agama Buddha dan kepercayaan animisme.

Raja memeluk agama Hindu. Sebagai bukti, pada prasasti Ciaruteun ada tapak kaki raja yang diibaratkan tapak kaki Dewa Wisnu.

Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T’ang terjadi korelasi perdagangan dengan Jawa. Barang-barang yang diperdagangkan ialah kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah.

Dituliskan pula bahwa penduduk daerah itu pintar membuat minuman keras yang terbuat dari bunga kelapa.

Rakyat Tarumanegara hidup kondusif dan tenteram. Pertanian merupakan mata pencaharian pokok.

Di samping itu, perdagangan juga berkembang. Kerajaan Tarumanegara mengadakan korelasi dagang dengan Cina dan India.

Untuk memajukan bidang pertanian, raja memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah susukan sepanjang 6112 tumbak (±11 km).

Saluran itu disebut dengan Sungai Gomati. Saluran itu selain berfungsi sebagai irigasi juga untuk mencegah ancaman banjir

Ratu Sima ialah penguasa di Kerajaan Kalingga.

Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin perempuan yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu.

Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa pecahan tengah.

Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut informasi Cina, di sebelah timur Kalingga ada Poli (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra).

Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chenla (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra.

Oleh lantaran itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga ialah informasi Cina, contohnya informasi dari Dinasti T’ang.

Sumber lain ialah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui informasi Cina, banyak hal yang kita ketahui perihal perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira kala ke-7 hingga ke-9 M

Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat 
Raja yang paling populer pada masa Kerajaan Kalingga ialah seorang raja perempuan yang berjulukan Ratu Sima.

Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya.

Rakyat patuh terhadap semua peraturan yang berlaku. Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya, dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata hingga waktu yang usang tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu.

Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi dengan kakinya.

Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai salah dan harus diberi eksekusi mati.

Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, eksekusi itu diperingan dengan eksekusi potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu Sima.

Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya sendiri. Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya ialah Buddha.

Agama Buddha berkembang pesat.

Bahkan pendeta Cina yang berjulukan Hwi-ning tiba di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina.

Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta berjulukan Janabadra. Kepemimpinan raja yang adil, menjadikan rakyat hidup teratur, aman,dan tenteram.

Mata pencaharian penduduk pada umumnya ialah bertani, lantaran wilayah Kalingga subur untuk pertanian.

Di samping itu, penduduk juga melaksanakan perdagangan. Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akhir serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan.

Serangan tersebut menimbulkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa pecahan timur atau mundur ke pedalaman Jawa pecahan tengah antara tahun 742 -755 M


Sejak permulaan tarikh Masehi, korelasi dagang antara India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai.

Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang. Kemudian, muncul pusat-pusat perdagangan yang berkembang menjadi sentra kerajaan.

Kerajaan-kerajaan kecil di pantai Sumatra pecahan timur sekitar kala ke7, antara lain Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya.

Dari ketiga kerajaan itu, yang kemudian berhasil berkembang dan mencapai kejayaannya ialah Sriwijaya. Kerajaan Melayu juga sempat berkembang, dengan pusatnya di Jambi

Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan perluasan ke daerah sekitar Melayu. Melayu sanggup ditaklukkan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Letak sentra Kerajaan Sriwijaya ada banyak sekali pendapat. Ada yang beropini bahwa sentra Kerajaan Sriwijaya di Palembang, ada yang beropini di Jambi, bahkan ada yang beropini di luar Indonesia.

Akan tetapi, pendapat yang banyak didukung oleh para ahli, sentra Kerajaan Sriwijaya berlokasi di Palembang, di dekat pantai dan di tepi Sungai Musi.

Ketika sentra Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai memperlihatkan kemunduran, Sriwijaya berpindah ke Jambi.

Sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting ialah prasasti.

Prasasti-prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang digunakan Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu antara lain sebagai berikut.

1. Prasasti Kedukan Bukit 
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti ini berangka tahun 605 Saka (683 M). Isinya antara lain menerangkan bahwa seorang berjulukan Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.000 personel.

2. Prasasti Talang Tuo 
Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya menyebutkan perihal pembangunan sebuah taman yang disebut Sriksetra. Taman ini dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.

3. Prasasti Telaga Batu 
Prasasti Telaga Batu ditemukan di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya terutama perihal kutukankutukan yang menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.

4. Prasasti Kota Kapur 
 Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M). Isinya terutama permintaan kepada para yang kuasa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat.

5. Prasasti Karang Berahi 
Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi, berangka tahun 608 saka (686 M). Isinya sama dengan isi Prasasti Kota Kapur. Beberapa prasasti yang lain, yakni Prasasti Ligor berangka tahun 775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung Melayu, dan Prasasti Nalanda di India Timur. Di samping prasasti-prasasti tersebut, informasi Cina juga merupakan sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya informasi dari I-tsing, yang pernah tinggal di Sriwijaya.

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya 
Ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya antara lain:

a. Letak geografis dari Kota Palembang.
Palembang sebagai sentra pemerintahan terletak di tepi Sungai Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi.

Keadaan mirip ini sangat sempurna untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan.

Kondisi itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina, atau sebaliknya.

Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan maritim yang cukup tenang, serta penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.

b. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akhir serangan Kamboja. Hal ini telah memberi kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.

Perkembangan Politik dan Pemerintahan 
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada kala ke-7 M. Pada awal perkembangannya, raja disebut dengan Dapunta Hyang.

Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada kala ke-7, Dapunta Hyang banyak melaksanakan usaha perluasan daerah.

Daerah-daerah yang berhasil dikuasai antara lain sebagai berikut.

a. Tulang-Bawang yang terletak di daerah Lampung.

b. Daerah Kedah yang terletak di pantai barat Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat penting artinya bagi usaha pengembangan perdagangan dengan India. Menurut I-tsing, penaklukan Sriwijaya atas Kedah berlangsung antara tahun 682-685 M.

c. Pulau Bangka yang terletak di pertemuan jalan perdagangan internasional, merupakan daerah yang sangat penting. Daerah ini sanggup dikuasai Sriwijaya pada tahun 686 M menurut prasasti Kota Kapur. Sriwijaya juga diceritakan berusaha menaklukkan Bhumi Java yang tidak setia kepada Sriwijaya. Bhumi Java yang dimaksud ialah Jawa, khususnya Jawa pecahan barat.

d. Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini mempunyai kedudukan yang penting, terutama untuk memperlancar perdagangan di pantai timur Sumatra. Penaklukan ini dilaksanakan kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).

e. Tanah Genting Kra merupakan tanah genting pecahan utara Semenanjung Melayu. Kedudukan Tanah Genting Kra sangat penting. Jarak antara pantai barat dan pantai timur di tanah genting sangat dekat, sehingga para pedagang dari Cina berlabuh dahulu di pantai timur dan membongkar barang dagangannya untuk diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar ke India. Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting Kra sanggup diketahui dari Prasasti Ligor yang berangka tahun 775 M.

f. Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno. Menurut informasi Cina, diterangkan adanya serangan dari barat, sehingga mendesak Kerajaan Kalingga pindah ke sebelah timur.

Diduga yang melaksanakan serangan ialah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa pecahan tengah lantaran pantai utara Jawa pecahan tengah juga merupakan jalur perdagangan yang penting. Sriwijaya terus melaksanakan perluasan daerah, sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar.

Untuk lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775 M dibangunlah sebuah pangkalan di daerah Ligor.

Waktu itu yang menjadi raja ialah Darmasetra. Raja yang populer dari Kerajaan Sriwijaya ialah Balaputradewa.

Ia memerintah sekitar kala ke-9 M.

Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan.

Balaputradewa ialah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda.

Balaputradewa ialah seorang raja yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin korelasi erat dengan Kerajaan Benggala yang dikala itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa.

Raja ini menghadiahkan sebidang tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian sebuah asrama bagi para pelajar dan siswa yang sedang berguru di Nalanda, yang didanai oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”.

Hal itu tercatat dengan baik dalam prasasti Nalanda, yang dikala ini berada di Universitas Nawa Nalanda, India.

Bahkan bentuk asrama itu mempunyai kesamaan arsitektur dengan candi Muara Jambi, yang berada di Provinsi Jambi dikala ini.

Hal tersebut mengambarkan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha dan bahasa Sanskerta bagi generasi mudanya.

Pada tahun 990 M yang menjadi Raja Sriwijaya ialah Sri Sudamaniwarmadewa.

Pada masa pemerintahan raja itu terjadi serangan Raja Darmawangsa dari Jawa pecahan Timur. Akan tetapi, serangan itu berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya.

Sri Sudamaniwarmadewa kemudian digantikan oleh putranya yang berjulukan Marawijayottunggawarman.

Pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman, Sriwijaya membina korelasi dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala. Pada masa itu, Sriwijaya terus mempertahankan kebesarannya.

Untuk mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang Rakryan (wakil raja di daerah). Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur pemerintahan

Perkembangan Ekonomi 
Pada mulanya penduduk Sriwijaya hidup dengan bertani. Akan tetapi lantaran Sriwijaya terletak di tepi Sungai Musi dekat pantai, maka perdagangan menjadi cepat berkembang.

Perdagangan kemudian menjadi mata pencaharian pokok. Perkembangan perdagangan didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis.

Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional. Para pedagang Cina yang akan ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga para pedagang dan India yang akan ke Cina.

Di Sriwijaya para pedagang melaksanakan bongkar muat barang dagangan.

Dengan demikian, Sriwijaya semakin ramai dan berkembang menjadi sentra perdagangan. Sriwijaya mulai menguasai perdagangan nasional maupun internasional di daerah perairan Asia Tenggara.

Perairan di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.

Tampilnya Sriwijaya sebagai sentra perdagangan, memperlihatkan kemakmuran bagi rakyat dan negara Sriwijaya.

Kapal-kapal yang singgah dan melaksanakan bongkar muat, harus membayar pajak.

Dalam kegiatan perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis hewan liar, sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.

Perkembangan perdagangan tersebut telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim.

Kerajaan maritim ialah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan dan hasil-hasil laut.

Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan maritim yang kuat. Melalui armada angkatan maritim yang kuat Sriwijaya bisa mengawasi perairan di Nusantara.

Hal ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para pedagang yang ingin berdagang dan berlayar di wilayah perairan Sriwijaya.

Kehidupan beragama di Sriwijaya sangat semarak. Bahkan Sriwijaya menjadi sentra agama Buddha Mahayana di seluruh wilayah Asia Tenggara.

Diceritakan oleh I-tsing, bahwa di Sriwijaya tinggal ribuan pendeta dan pelajar agama Buddha. Salah seorang pendeta Buddha yang populer ialah Sakyakirti.

Banyak pelajar absurd yang tiba ke Sriwijaya untuk berguru bahasa Sanskerta. Kemudian mereka berguru agama Buddha di Nalanda, India.

Antara tahun 1011 - 1023 tiba seorang pendeta agama Buddha dari Tibet berjulukan Atisa untuk lebih memperdalam pengetahuan agama Buddha.

Dalam kaitannya dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha, di Sriwijaya ditemukan beberapa peninggalan.

Misalnya, candi Muara Takus, yang ditemukan dekat Sungai Kampar di daerah Riau. Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan arca Buddha.

Pada tahun 1006 Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat suci agama Buddha di Nagipattana, India Selatan. Hubungan Sriwijaya dengan India Selatan waktu itu sangat erat.

Bangunan lain yang sangat penting ialah Biaro Bahal yang ada di Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Di tempat ini pula terdapat bangunan wihara.

Kerajaan Sriwijaya kesudahannya mengalami kemunduran lantaran beberapa hal antara lain :

a. Keadaan sekitar Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai. Hal ini disebabkan aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak membawa lumpur. Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.

b. Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri. Hal ini disebabkan terutama lantaran melemahnya angkatan maritim Sriwijaya, sehingga pengawasan semakin sulit.

c. Dari segi politik, beberapa kali Sriwijaya menerima serangan dari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1017 M Sriwijaya menerima serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala, namun Sriwijaya masih sanggup bertahan.

Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya, Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala. Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melaksanakan Ekspedisi Pamalayu.

Hal itu menimbulkan daerah Melayu lepas. Tahun 1377 armada angkatan maritim Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.


Pada pertengahan kala ke-8 di Jawa pecahan tengah berdiri sebuah kerajaan baru. Kerajaan itu kita kenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno.

Mengenai letak dan sentra Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum sanggup dipastikan. Ada yang menyebutkan sentra kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu.

Sementara itu letak Poh Pitu hingga kini belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu sanggup diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungaisungai.

Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, contohnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo.

Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu hingga sekitar Prambanan. Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno sanggup digunakan sumber yang berupa prasasti.

Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung.

Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari informasi Cina.

Perkembangan Pemerintahan 
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja berjulukan Sanna.

Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya ialah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu).

Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa pecahan tengah.

Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.

Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna.

Sanjaya kemudian melaksanakan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri.

Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga).

Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain. Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan mempunyai pengetahuan luas.

Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya.

Oleh lantaran itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi kondusif dan tenteram. Rakyat hidup makmur.

Mata pencaharian penting ialah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci.

Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya berjulukan Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha.

Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memperlihatkan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha.

Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan sentra pemerintahannya ke arah timur.

Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas.

Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra

Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul masalah dalam keluarga Syailendra, lantaran adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa).

Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.

Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa pecahan utara.

Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa pecahan selatan.

Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa pecahan utara.

Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo.

Kompleks Candi Dieng menggunakan namanama tokoh wayang mirip Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar. Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi mirip Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur.

Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama.

Keluarga itu kesudahannya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga.

Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang berjulukan Balaputradewa memperlihatkan perilaku menentang terhadap Pikatan.

Kemudian terjadi perang kudeta antara Pikatan dengan Balaputradewa.

Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan.

Benteng ini kini kira kenal dengan Candi Boko.

Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas.

Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung.

Raja Balitung merupakan raja yang terbesar.

Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu.

Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan  mengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang manis dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung ialah Daksa, Tulodong, dan Wawa.

Beberapa faktor yang menimbulkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya musibah dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Kekuasaan Dinasti Isyana 
Pertentangan di antara keluarga Mataram, sepertinya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M.

Pertikaian yang tidak pernah berhenti menimbulkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti gres yaitu Dinasti Isyanawangsa.

Di samping kontradiksi keluarga, pemindahan sentra kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akhir letusan Gunung Merapi.

Berdasarkan prasasti, sentra pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, lantaran di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang.

Daerah kekuasaannya meliputi Jawa pecahan timur, Jawa pecahan tengah, dan Bali.

Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya berjulukan Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala.

Dari perkawinan ini lahirlah putra yang berjulukan Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya.

Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya.

Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno.

Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang dikala itu usianya masih 16 tahun.

Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menimbulkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama.

Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno.

Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan korelasi baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan.

Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur.

Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, kemudian hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra).

Menjelang selesai pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi.

Namun, putrinya itu menolak dan menentukan untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri. Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan.

Kerajaan itu ialah Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang berjulukan Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana).

Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya hingga Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri).

Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang berjulukan Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.

Kerajaan Kediri ialah kerajaan pertama yang mmpunyai sistem manajemen kewilayahan negara berjenjang.

Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa).

Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa.

Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.


Kehidupan politik pada pecahan awal di Kerajaan Kediri ditandai dengan perang saudara antara Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu dan Panji Garasakan yang berkuasa di Jenggala.

Mereka tidak sanggup hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi peperangan kudeta di antara kedua belah pihak.

Pada tahap pertama Panji Garasakan sanggup mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji Garasakan berkuasa.

Di Jenggala kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah ialah Samarotsaha.

Akan tetapi setelah itu tidak terdengar informasi mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104 M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa.

Kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha. Tahun 1117 M Bameswara tampil sebagai Raja Kediri.

Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti Padlegan (1117 M) dan Panumbangan (1120 M).

Isinya yang penting perihal pemberian status perdikan untuk beberapa desa. Pada tahun 1135 M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya.

Ia meninggalkan tiga prasasti penting, yakni Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti Desa Jepun (1144 M).

Prasasti Hantang memuat goresan pena panjalu jayati, artinya panjalu menang.

Hal itu untuk mengenang kemenangan Panjalu atas Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi banyak sekali kekacauan di kerajaan.

Di kalangan masyarakat Jawa, nama Jayabaya sangat dikenal lantaran adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya.

Pada masa pemerintahan Jayabaya telah digubah Kitab Baratayuda oleh Mpu Sedah dan kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh.

Perkembangan Politik, Sosial, dan Ekonomi 
Sampai masa awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan akhir kontradiksi dengan Janggala terus berlangsung.

Baru pada tahun 1135 M Jayabaya berhasil memadamkan kekacauan itu.

Sebagai bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada Prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan mengembangkan kerajaannya.

Kehidupan Kerajaan Kediri menjadi teratur.

Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang penting ialah pertanian dengan hasil utamanya padi.

Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada maritim Kediri bisa menjamin keamanan perairan Nusantara.

Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut).

Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah bisa mengembangkan pelayaran dan perdagangan.

Barang perdagangan di Kediri antara lain emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat perihal pajak sudah tinggi.

Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil buminya kepada pemerintah.

Menurut informasi Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang-orang menggunakan kain hingga di bawah lutut.

Rambutnya diurai. Rumah-rumah mereka higienis dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau.

Dalam perkawinan, keluarga pengantin perempuan mendapatkan mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, menggunakan sepatu, dan pelengkap emas.

Rambutnya disanggul ke atas. Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi oleh 500 hingga 700 prajurit.

Di bidang kebudayaan, yang menonjol ialah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya wayang panji.

Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut.

1. Kitab Baratayuda 
Kitab Baratayudha ditulis pada zaman Jayabaya, untuk memperlihatkan citra terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan Barata.

2. Kitab Kresnayana 
Kitab Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna pada zaman Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.

3. Kitab Smaradahana 
Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Mpu Darmaja. Isinya menceritakan perihal sepasang suami istri Smara dan Rati yang menarik hati Dewa Syiwa yang sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk dan mati terbakar oleh api (dahana) lantaran kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri itu dihidupkan lagi dan bermetamorfosis sebagai Kameswara dan permaisurinya.

4. Kitab Lubdaka 
Kitab Lubdaka ditulis oleh Mpu Tanakung pada zaman Raja Kameswara. Isinya perihal seorang pemburu berjulukan Lubdaka.

Ia sudah banyak membunuh. Pada suatu ketika ia mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang semestinya masuk neraka, menjadi masuk surga

Raja yang terakhir di Kerajaan Kediri ialah Kertajaya atau Dandang Gendis.

Pada masa pemerintahannya, terjadi kontradiksi antara raja dan para pendeta atau kaum brahmana, lantaran Kertajaya berlaku sombong dan berani melanggar adat.

Hal ini memperlemah pemerintahan di Kediri. Para brahmana kemudian mencari proteksi kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel.

Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan kaum brahmana menyerang Kediri. Kediri sanggup dikalahkan oleh Ken Arok.


Raja-Raja yang Memerintah Singhasari

a. Ken Arok (1222 – 1227 M) 
Setelah berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat Kota Malang, Jawa Timur.

Kerajaan ini didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat biasa.

Menurut kitab Pararaton, Ken Arok ialah anak seorang petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung Kawi, daerah Malang. Ibunya berjulukan Ken Endok.

Diceritakan, bahwa pada waktu masih bayi, Ken Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam. Bayi ini kemudian ditemukan oleh seorang pencuri, berjulukan Lembong.

Akibat dari didikan dan lingkungan keluarga pencuri, maka Ken Arok tumbuh menjadi seorang penjahat yang sering menjadi buronan pemerintah Kerajaan Kediri.

Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan pendeta Lohgawe. Ken Arok menyampaikan ingin menjadi orang baik-baik.

Kemudian dengan perantaraan Lohgawe, Ken Arok diabdikan kepada seorang Akuwu (bupati) Tumapel, berjulukan Tunggul Ametung.

Setelah beberapa usang mengabdi di Tumapel, Ken Arok mmpunyai keinginan untuk memperistri Ken Dedes, yang sudah menjadi istri Tunggul Ametung.

Kemudian timbul niat jelek dari Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung biar Ken Dedes sanggup diperistri olehnya.

Ternyata benar, Tunggul Ametung sanggup dibunuh oleh Ken Arok dengan keris Mpu Gandring.

Setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arok menggantikan sebagai penguasa di Tumapel dan memperistri Ken Dedes.

Pada waktu diperistri Ken Arok, Ken Dedes sudah mengandung tiga bulan, hasil perkawinan dengan Tunggul Ametung.

Pada waktu itu Tumapel hanya daerah bawahan Raja Kertajaya dari Kediri.

Ken Arok ingin menjadi raja, maka ia merencanakan menyerang Kediri. Pada tahun 1222 M Ken Arok atas dukungan para pendeta melaksanakan serangan ke Kediri.

Raja Kertajaya sanggup ditaklukkan oleh Ken Arok dalam pertmpurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang.

Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan Singhasari.

Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi.

Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang pengalasan atau pesuruh dan Batil, atas perintah Anusapati.

Anusapati ialah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha.

Ken Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi.

Bersama Ken Dedes, Ken Arok mmpunyai putra berjulukan Mahesa Wongateleng.

b. Anusapati 
Tahun 1227 M Anusapati naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan.

Lambat laun informasi perihal pembunuhan Ken Arok hingga pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok).

Oleh lantaran ia mengetahui pembunuh ayahnya ialah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas dendam, yaitu membunuh Anusapati.

Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati mempunyai kesukaan menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati untuk menyabung ayam.

Pada dikala menyabung ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati.

Anusapati dicandikan di Candi Kidal dekat Kota Malang sekarang. Anusapati meninggalkan seorang putra berjulukan Ronggowuni.

c. Tohjoyo (1248 M)
Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik takhta.

Masa pemerintahannya sangat singkat, Ronggowuni yang merasa berhak atas takhta kerajaan, menuntut takhta kepada Tohjoyo.

Ronggowuni dalam hal ini dibantu oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng.

Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu Ampal untuk melawan Ronggowuni.

Kemudian terjadi pertmpuran antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni.

Dalam pertmpuran tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan pengikut Ronggowuni semakin kuat dan berhasil menduduki istana Singhasari.

Tohjoyo berhasil meloloskan diri dan kesudahannya meninggal di daerah Katang Lumbang akhir luka-luka yang dideritanya

d. Ronggowuni (1248 - 1268 M)
Ronggowuni naik takhta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni bergelar Sri Jaya Wisnuwardana.

Dalam memerintah ia didampingi oleh Mahesa Cempaka yang berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa Cempaka bergelar Narasimhamurti.

Di samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang berjulukan Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada dikala itu Kertanegara masih sangat muda.

Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup dalam keadaan kondusif dan tenteram.

Rakyat hidup dengan bertani dan berdagang. Kehidupan rakyat juga mulai terjamin. Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu Lor.

Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa di Waleri dan sebagai Buddha Amogapasa di Jajagu.

Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago. Bentuk Candi Jago sangat menarik, yaitu kaki candi bertingkat tiga dan tersusun berundak-undak.

Reliefnya datar dan gambar orangnya menyerupai wayang kulit di Bali. Tokoh satria selalu diikuti dengan punakawan.

Tidak usang kemudian Mahesa Cempaka pun meninggal dunia. Ia dicandikan di Kumeper dan Wudi Kucir.

e. Kertanegara (1268 - 1292 M)
Tahun 1268 M Kertanegara naik takhta menggantikan Ronggowuni. Ia bergelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara.

Kertanegara merupakan raja yang paling populer di Singhasari. Ia bercita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya, maka Kertanegara melaksanakan banyak sekali usaha.

Perluasan Daerah Singhasari
Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari hingga meliputi seluruh Nusantara.

Beberapa daerah berhasil ditaklukkan, contohnya Bali, Kalimantan Barat Daya, Maluku, Sunda, dan Pahang.

Penguasaan daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan untuk mengimbangi imbas Kubilai Khan dari Cina.

Pada tahun 1275 M Raja Kertanegara mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang (Kebo Anabrang).

Sasaran dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan tetapi, untuk menguasainya harus melalui daerah sekitarnya termasuk akrab dan menanamkan imbas Singhasari di Melayu. Sebagai tanda persahabatan,

Kertanegara menghadiahkan patung Amogapasa kepada penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diharapkan akan menggoyahkan Sriwijaya.

Dalam rangka memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin korelasi dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Kepulauan Indonesia.

Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan Kerajaan Campa.

Bahkan Raja Jayasingawarman III memperistri salah seorang saudara permpuan dari Kertanegara. Kertanegara memandang Cina sebagai saingan.

Berkali-kali utusan Kaisar Cina memaksa Kertanegara biar mengakui kekuasaan Cina, tetapi ditolak oleh Kertanegara.

Terakhir pada tahun 1289 M tiba utusan Cina yang dipimpin oleh Mengki. Kertanegara marah, Mengki disakiti dan disuruh kembali ke Cina.

Hal inilah yang membuat murka Kaisar Cina yang berjulukan Kubilai Khan. Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara

Perkembangan Politik dan Pemerintahan 
Untuk membuat pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara telah membentuk badan-badan pelaksana. Raja sebagai penguasa tertinggi.

Kemudian raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan.

Selain itu, ada pegawaipegawai rendahan. Untuk membuat stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melaksanakan penataan di lingkungan para pejabat.

Orang-orang yang tidak oke dengan harapan Kertanegara diganti. Sebagai contoh, Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh Aragani dan Banyak Wide dipindahkan ke Madura, menjadi Bupati Sumenep dengan nama Arya Wiraraja.

Kehidupan Agama 
Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu maupun Buddha berkembang dengan baik.

Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh, berkembangnya aliran Tantrayana.

Kertanegara sendiri penganut aliran Tantrayana. Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan dari banyak sekali daerah terus dilakukan oleh Kertanegara.

Banyak pasukan Singhasari yang dikirim ke banyak sekali daerah antara lain ke tanah Melayu. Oleh lantaran itu, kekuatan ibu kota kerajaan berkurang.

Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak senang itu antara lain Jayakatwang, penguasa Kediri.

Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan Kertanegara. Saat yang ditunggu oleh Jayakatwang ternyata telah tiba.

Istana Kerajaan Singhasari dalam keadaan lemah.

Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada dikala itu, Kertanegara sedang melaksanakan upacara keagamaan dengan pesta pora, sehingga Kertanegara benar-benar lengah. Tibatiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan Jayakatwang dibagi menjadi dua arah.

Sebagian kecil pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan Singhasari keluar dari sentra kerajaan.

Sementara itu induk pasukan Kediri bergerak dan menyerang dari arah selatan.

Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan pasukan yang ada di bawah pimpinan Raden Wijaya dan Pangeran Ardaraja.

Ardaraja ialah anak Jayakatwang dan menantu dari Kertanegara.

Pasukan Kediri yang tiba dari arah utara sanggup dikalahkan oleh pasukan Raden Wijaya Akan tetapi, pasukan inti dengan leluasa masuk dan menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan Kertanegara. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1292 M.

Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri setelah mengetahui istana kerajaan dihancurkan oleh pasukan Kediri.

Sedangkan Ardaraja membalik dan bergabung dengan pasukan Kediri.

Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di Candi Singosari, di daerah Singosari, Malang. Sebagai raja yang besar, nama Kertanegara diabadikan di banyak sekali tempat.

Bahkan di Surabaya ada sebuah arca Kertanegara yang menyerupai bentuk arca Buddha. Arca Kertanegara itu dinamakan arca Joko Dolok.

Dengan terbunuhnya Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan Singhasari.


Setelah Singhasari jatuh, berdirilah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara kala ke-14 - ke-15 M.

Berdirinya kerajaan ini sebetulnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya).

Ia me mpunyai kiprah untuk melanjutkan kemegahan Singhasari yang dikala itu sudah hampir runtuh.

Saat itu dengan dibantu oleh Arya Wiraraja seorang penguasa Madura, Raden Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton sebagai “hutannya orang Trik”.

Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut.

Ketika pasukan Mongol tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertmpur melawan Jayakatwang.

Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik menyerang pasukan Mongol sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya.

Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mengalami pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung usaha dalam mendirikan Majapahit.

Setelah Raden Wijaya wafat, ia digantikan oleh putranya Jayanegara.

Jayanegara dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih suka bersenang-senang. Kondisi itulah yang menimbulkan pembantupembantunya melaksanakan pemberontakan.

Di antara pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalahpemberontakan Kuti.

Pada dikala itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara. Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa  Badander di bawah proteksi pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada.

Gajah Mada kemudian menyusun taktik dan berhasil menghancurkan pasukan Kuti. Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan (1319-1321 M) dan Patih Kediri (1322-1330 M).

Kerajaan Majapahit penuh dengan intrik politik dari dalam kerajaan itu sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi menjelang keruntuhan Majapahit.

Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani ialah pembentuk kemegahan kerajaan.

Tribhuwana berkuasa di Majapahit hingga kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Pada masa Hayam Wuruk itulah Majapahit berada di puncak kejayaannya. Hayam Wuruk disebut juga Rajasanagara.

Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389 M. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mencapai zaman keemasan.

Wilayah kekuasaan Majapahit sangat luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang.

Oleh lantaran itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit. Hal ini memang tidak sanggup dilepaskan dari kegigihan Gajah Mada.

Sumpah Palapa, ternyata benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, contohnya Adityawarman dan Laksamana Nala.

Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk angkatan maritim yang sangat kuat. Tugas utamanya ialah mengawasi seluruh perairan yang ada di Nusantara.

Di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemajuan di banyak sekali bidang.

Menurut Kakawin Nagarakertagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura) dan sebagian Kepulauan Filipina.

Majapahit juga mempunyai korelasi dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma pecahan selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok

SUMPAH PALAPA 
Pada dikala diangkat sebagai Mahapatih Gajah Mada bersumpah bahwa ia tidak akan beristirahat (amukti palapa) bila belum sanggup menyatukan seluruh Nusantara. Sumpah itu kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa sebagai berikut :

“Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo,ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, saman isun amukti palapa”.

Artinya: “Setelah tunduk Nusantara, saya akan beristirahat; Sesudah kalah Gurun seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya akan beristirahat”

Politik dan Pemerintahan 
Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur. Raja memegang kekuasaan tertinggi.

Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh banyak sekali tubuh atau pejabat berikut.

1. Rakryan Mahamantri Katrini, dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.

2. Dewan Pelaksana terdiri atas Rakryan Mapatih atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang Panca ring Wilwatika.

Di antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau Patih Mangkubumi merupakan pejabat yang paling penting.

Ia menduduki tempat sebagai perdana menteri. Bersama sama raja, ia menjalankan kebijakan pemerintahan.

Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.

Struktur tersebut ada di pemerintah pusat. Di setiap daerah yang berada di bawah raja-raja, dibuatkan pula struktur yang mirip.

Untuk membuat pemerintahan yang higienis dan berwibawa, dibentuklah tubuh peradilan yang disebut dengan Saptopapati.

Selain itu disusun pula kitab aturan oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni.

Ia memahami pemerintahan taktik perang dan hukum.

Untuk mengatur kehidupan beragama dibuat tubuh atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa.

Dharmadyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani masalah keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.

1. Dharmadyaksa ring Kasaiwan, mengurusi agama Syiwa (Hindu), 2. Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.

Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu oleh pejabat keagamaan yang diberi sebutan Sang Pamegat.

Kehidupan beragama di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun Buddha saling bersatu.

Pada masa itu pun sudah dikenal semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya, sekalipun berbeda-beda baik Hindu maupun Buddha pada hakikatnya ialah satu jua.

Kemudian secara umum kita artikan berbeda-beda kesudahannya satu jua Berkat kepemimpinan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional Majapahit terjamin.

Hal ini disebabkan pula lantaran kekuatan tentara Majapahit dan angkatan lautnya sehingga semua perairan nasional sanggup diawasi.

Majapahit juga menjalin korelasi dengan kerajaan lain.

Hubungan dengan Siam, Birma, Kamboja, Anam, India, dan Cina berlangsung dengan baik. Dalam membina korelasi dengan luar negeri, Majapahit mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.

Kehidupan Sosial Ekonomi 
Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup kondusif dan tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan.

Untuk itu dibangun jalan-jalan dan jembatan-jembatan. Dengan demikian kemudian lintas menjadi lancar.

Hal ini mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai.

Misalnya, Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa di tepi sungai dan yang berada di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan.

Hal itu menimbulkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang menjajakan barang dagangannya dari daerah pantai atau muara ke pedalaman atau sebaliknya.

Bahkan di daerah pantai berkembang perdagangan antar daerah, antar pulau, bahkan dengan pedagang dari luar.

Kemudian timbullah kota-kota pelabuhan sebagai sentra pelayaran dan perdagangan. Beberapa kota pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban.

Pada waktu itu banyak pedagang dari luar mirip dari Cina India, dan Siam. Adanya pelabuhan-pelabuhan tersebut mendorong munculnya kelompok aristokrat kaya.

Mereka menguasai pemasaran bahan-bahan dagangan pokok dari dan ke daerah-daerah Indonesia Timur dan Malaka.

Kegiatan pertanian juga dikembangkan. Sawah dan ladang dikerjakan secukupnya dan dikerjakan secara bergiliran.

Hal ini maksudnya biar tanah tetap subur dan tidak kehabisan lahan pertanian. Tanggultanggul di sepanjang sungai diperbaiki untuk mencegah ancaman banjir.

Perkembangan Sastra dan Budaya 
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang sastra mengalami kemajuan. Karya sastra yang paling populer pada zaman Majapahit ialah Kitab Negarakertagama.

Kitab ini ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M.

Di samping memperlihatkan kemajuan di bidang sastra, Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit. Kitab lain yang penting ialah Sutasoma

Kitab ini disusun oleh Mpu Tantular. Kitab Sutasoma memuat katakata yang kini menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, Mpu Tantular juga menulis kitab Arjunawiwaha.

Sutasoma 139,4d-5d 
Hyan Buddha tan pabi lawan siwarajadewa rwanekadhatu winuwus wara Buddhawisma bhineki rakwa rinapankenapanarwanosen manka n jiwatwa kalawan siwatatwa tunggal bhineka ika tan hanna dharma mangruwa

Artinya :
 “Dewa Buddha tidak berbeda dengan Siwa. Maheswara di antara dewa-dewa. Keduanya dikatakan mengandung banyak unsur Buddha yang boleh dikatakan tidak terpisahkan sanggup begitu saja dipisahkan menjadi dua?

Jiwa Jina dan Jiwa Siwa ialah satu dalam aturan tidak terdapat dualisme. Bidang seni bangunan juga berkembang.

Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan Surawana di dekat Pare, Kediri, serta Candi Tikus di Trowulan.

Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan sebagian besar keluarga raja, setelah turunnya Hayam Wuruk.

Perang Paregreg telah melemahkan unsur-unsur kejayaan Majapahit. Meskipun peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan lantaran raja yang berkuasa tidak bisa lagi mengembalikan kejayaannya.

Unsur lain yang menimbulkan runtuhnya Majapahit ialah semakin meluasnya imbas Islam pada dikala itu.

Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang dengan runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa.

Peninggalan peradaban Majapahit juga sanggup kita saksikan pada perkembangan lingkup kebudayaan Bali pada dikala ini.

Kebudayaan yang masih dikembangkan hingga masa Islam ialah dongeng wayang yang berasal dari epos India yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah asmara Raden Panji dengan Sekar Taji (Galuh Candrakirana).

Selain itu sanggup kita saksikan juga pada unsur arsitekturnya bentuk atap tumpang, seni ukir sulur-suluran dan tumbuhan melata, senjata keris, lokasi keramat, dan masih banyak lagi


Menurut informasi Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang sanggup disamakan dengan Bali.

Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar.

Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum.

Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu mengambarkan Bali telah berkembang. Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai populer setelah periode kekuasaan Majapahit.

Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan.

Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain.

Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali.

Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda. Pada zaman kuno, sebetulnya Buleleng sudah berkembang.

Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa.

Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi sentra perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng.

Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian mirip kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang).

Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu.

Hal ini sanggup dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.

Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...” Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang tiba dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”

 Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang).

Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), contohnya ma, su dan piling.

Dengan perkembangan perdagangan maritim antarpulau di zaman kuno secara hemat Buleleng mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali contohnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.


Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung ialah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang.

Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari kala ke-5, yaitu dari kitab Liu-sungShu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479).

Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara pecahan barat berjulukan P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina.

Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina.

Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus semenjak pertengahan kala ke-5 hingga kala ke-6, mirip halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan berjulukan T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi).

L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai mirip dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”.

Namun, di samping itu Damais kemudian memperlihatkan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat berjulukan Bawang (Umbul Bawang) yang kini terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah.

Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, semenjak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah kerikil tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi kerikil yang lainnya


Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk perihal kemungkinan adanya sebuah sentra kekuasaan di daerah itu semenjak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya.

Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari kerikil bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar kala ke-5 dan ke-7 Masehi.

Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi kerikil dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini.

Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, mirip halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini ialah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter.

Penanggalan dari tanggul benteng ini memperlihatkan masa antara tahun 530 M hingga 870 M.

Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan kala ke-6 M tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi perluasan Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang selesai kala ke-7 M.

Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya.

Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu.

Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.

Pusat-pusat integrasi Nusantara berlangsung melalui penguasaan laut.

Pusat-pusat integrasi itu selanjutnya ditentukan oleh keahlian dan kepedulian terhadap laut, sehingga terjadi perkembangan baru, setidaknya dalam dua hal, yaitu

(i) pertumbuhan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pinggir pantai, dan

(ii) kemampuan mengendalikan (kontrol) politik dan militer para penguasa tradisional (raja-raja) dalam menguasai jalur utama dan pusat-pusat perdagangan di Nusantara.

Jadi, prasyarat untuk sanggup menguasai jalur dan sentra perdagangan ditentukan oleh dua hal penting yaitu perhatian atau cara pandang, dan kemampuan menguasai lautan.

Jalur-jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi pada dikala itu dan perkembangan rute perdagangan dalam setiap masa yang berbedabeda.

Jika pada masa praaksara hegemoni budaya mayoritas tiba dari pendukung budaya Austronesia di Asia Tenggara Daratan, maka pada masa perkembangan Hindu-Buddha di Nusantara terdapat dua kekuatan peradaban besar, yaitu Cina di utara dan India di bagian barat daya.

Keduanya merupakan dua kekuatan super power pada masanya dan mempunyai imbas amat besar terhadap penduduk di Kepulauan Indonesia.

Bagaimanapun, peralihan rute perdagangan dunia ini telah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat dan suku bangsa di Nusantara.

Mereka secara pribadi terintegrasi ke dalam jaringan perdagangan dunia pada masa itu.

Selat Malaka menjadi penting sebagai pintu gerbang yang menghubungkan antara pedagang-pedagang Cina dan pedagang-pedagang India.

Pada masa itu, Selat Malaka merupakan jalur penting dalam pelayaran dan perdagangan bagi pedagang yang melintasi bandarbandar penting di sekitar Samudra Indonesia dan Teluk Persia.

Selat itu merupakan jalan maritim yang menghubungkan Arab dan India di sebelah barat maritim Nusantara, dan dengan Cina di sebelah timur maritim Nusantara.

Jalur ini merupakan pintu gerbang pelayaran yang dikenal dengan nama “jalur sutra”.

Penamaan ini digunakan semenjak kala ke-1 M hingga kala ke-16 M, dengan komoditas kain sutera yang dibawa dari Cina untuk diperdagangkan di wilayah lain.

Ramainya rute pelayaran ini mendorong timbulnya bandar-bandar penting di sekitar jalur, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (Sumatra Utara sekarang)

Kehidupan penduduk di sepanjang Selat Malaka menjadi lebih sejahtera oleh proses integrasi perdagangan dunia yang melalui jalur maritim tersebut.

Mereka menjadi lebih terbuka secara sosial ekonomi untuk menjalin korelasi niaga dengan pedagangpedagang absurd yang melewati jalur itu.

Di samping itu, masyarakat setempat juga semakin terbuka oleh pengaruhpengaruh budaya luar.

Kebudayaan India dan Cina ketika itu terperinci sangat besar lengan berkuasa terhadap masyarakat di sekitar Selat Malaka.

Bahkan hingga dikala ini imbas budaya terutama India masih sanggup kita jumpai pada masyarakat sekitar Selat Malaka.

Selama masa Hindu-Buddha di samping kian terbukanya jalur niaga Selat Malaka dengan perdagangan dunia internasional, jaringan perdagangan dan budaya antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia juga berkembang pesat terutama lantaran terhubung oleh jaringan Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku.

Mereka secara tidak pribadi juga terintegrasikan dengan jaringan ekonomi dunia yang berpusat di sekitar Selat Malaka, dan sebagian di pantai barat Sumatra mirip Barus.

Komoditas penting yang menjadi barang perdagangan pada dikala itu ialah rempah-rempah, mirip kayu manis, cengkih, dan pala.

Pertumbuhan jaringan dagang internasional dan antarpulau telah melahirkan kekuatan politik gres di Nusantara. Peta politik di Jawa dan Sumatra kala ke-7, mirip ditunjukkan oleh D.G.E. Hall, bersumber dari catatan pengunjung Cina yang tiba ke Sumatra.

Dua negara di Sumatra disebutkan, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi kini di muara Sungai Batanghari.

Agak ke selatan dari itu terdapat Che-li-fo-che, pengucapan cara Cina untuk kata bahasa Sanskerta, Sriwijaya.

Di Jawa terdapat tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa, terdapat Tarumanegara, dengan rajanya yang terkemuka Purnawarman, di Jawa pecahan tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di Jawa pecahan timur ada Singhasari dan Majapahit.

Selama periode Hindhu-Buddha, kekuatan besar Nusantara yang mempunyai kekuatan integrasi secara politik, sejauh ini dihubungkan dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan Majapahit.

Kekuatan integrasi secara politik di sini maksudnya ialah kemampuan kerajaankerajaan tradisional tersebut dalam menguasai wilayah-wilayah yang luas di Nusantara di bawah kontrol politik secara longgar dan menempatkan wilayah kekuasaannya itu sebagai kesatuankesatuan politik di bawah pengawasan dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Dengan demikian pengintegrasian antarpulau secara lambat laun mulai terbentuk.

Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang dalam periode yang berbeda-beda. Kekuasaan mereka bisa mengontrol sejumlah wilayah Nusantara melalui banyak sekali bentuk media.

Selain dengan kekuatan dagang, politik, juga kekuatan budayanya, termasuk bahasa.

Interelasi antara aspek-aspek kekuatan tersebut yang membuat mereka berhasil mengintegrasikan Nusantara dalam pelukan kekuasaannya.

Kerajaan-kerajaan tersebut berkembang menjadi kerajaan besar yang menjadi representasi pusatpusat kekuasaan yang kuat dan mengontrol kerajaan-kerajaan yang lebih kecil di Nusantara.

Hubungan sentra dan daerah hanya sanggup berlangsung dalam bentuk korelasi hak dan kewajiban yang saling menguntungkan (mutual benefit).

Keuntungan yang diperoleh dari sentra kekuasaan antara lain, berupa ratifikasi simbolik mirip kesetiaan dan pembayaran upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan kerajaan, serta barang-barang yang sanggup diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional.

Sebaliknya kerajaankerajaan kecil memperoleh proteksi dan rasa aman, sekaligus pujian atas korelasi tersebut.

Jika sentra kekuasaan sudah tidak mempunyai kemampuan dalam mengontrol dan melindungi daerah bawahannya, maka sering terjadi pembangkangan dan semenjak itu kerajaan besar terancam disintegrasi.

Kerajaan-kerajaan kecil kemudian melepaskan diri dari ikatan politik dengan kerajaankerajaan besar usang dan beralih loyalitasnya dengan kerajaan lain yang mempunyai kemampuan mengontrol dan lebih bisa melindungi kepentingan mereka.

Sejarah Indonesia masa Hindu-Buddha ditandai oleh proses integrasi dan disintegrasi semacam itu.

Namun secara keseluruhan proses integrasi yang lambat laun itu kian mantap dan kuat, sehingga kian mengukuhkan Nusantara sebagai negeri kepulauan yang dipersatukan oleh kekuatan politik dan perdagangan.

Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru.

Kebudayaan gres yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya.

Oleh lantaran itu, untuk sanggup berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia orisinil sebagai berikut.

Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli.

Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan yang kuasa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa ialah unsur-unsur dari India.

Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya ialah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu teladan dari bentuk akulturasi tersebut


Masuknya imbas India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir.

Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada pecahan dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha.

Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia mirip rumah panggung dan burung merpati.

Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya ialah motif hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Hal semacam ini sudah dikenal semenjak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.


Menurut J.L.A Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan orisinil yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India.

Selama waktu berabadabad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya gres baik dalam bentuk maupun kualitasnya.

Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit sanggup dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan.

Macam-macam gamelan sanggup dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones


Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi).

Berdasarkan isinya, kesusastraan sanggup dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan).

Bentuk wiracarita ternyata sangat populer di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia.

Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.

Juga munculnya ceritacerita Carangan. Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa).

Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan dongeng pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan).

Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya orisinil dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang diubahsuaikan dengan seni di Indonesia.

Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan mirip Semar, Gareng, dan Petruk.

Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, contohnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno.

Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).


Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis.

Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda.

Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini memperlihatkan makna bahwa orang yang sudah meninggal tersebut rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka.

Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan setelah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh lantaran itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme).

Setelah masuknya imbas India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya sanggup dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India ialah sebagai tempat pemujaan.

Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan debu mayat raja yang telah meninggal.

Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan debu mayat raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip yang kuasa yang dipujanya. Ini terperinci merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga ialah lambang Dewa Syiwa.

Secara filosofis lingga dan yoni ialah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang pria dan yoni lambang perempuan.


Setelah datangnya imbas India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana.

Pemerintahan yang dimaksud ialah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku.

Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah renta (senior), arif, sanggup membimbing, mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta mempunyai semacam kekuatan mistik (kesaktian).

Setelah imbas India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan daerahnya disebut kerajaan. Hal ini secara terperinci terjadi di Kutai.

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, contohnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang mempunyai kekuatan mistik mirip pada pemimpin masa sebelum HinduBuddha.

Karena raja mempunyai kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.


Bentuk alkulturasi budaya lain yang sanggup dilihat hingga dikala ini ialah arsitektur pada bangunan-bangunan keagamanan.

Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sangat dikenal pada masa Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu mirip Candi Sewu, Candi Gedungsongo, dan masih banyak lagi.

Juga bangunan pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini sanggup dilihat pada beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, dan masih banyak lagi.

Bentuk lain berupa stupa berundak yang sanggup dilihat pada

bangunan Borobudur. Di samping itu juga terdapat bangunan Gua, mirip Gua Selomangkleng Kediri, dan Gua Gajah.

Bangunan lainnya sanggup berupa gapura paduraksa mirip Candi Bajangratu, Candi Jedong, dan Candi Plumbangan.

Untuk memahami lebih lanjut baca buku Agus A. Munandar, Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Bangunan suci berundak itu sebetulnya sudah berkembang subur dalam zaman praaksara, sebagai penggambaran dari alam semesta yang bertingkat-tingkat. Tingkat paling atas ialah tempat persemayaman roh nenek moyang.

Punden berundak itu menjadi sarana khusus untuk persembahyangan dalam rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang. Pemikiran dasar dan filsafat yang melandasi kepercayaan ini terus hidup di dalam alam kehidupan, meskipun tidak begitu tampil di permukaan.

Sebagai lokal genius yang menentukan arah perkembangan kebudayaan Indonesia dalam mengolah imbas Hindu-Buddha maka unsur-unsur praaksara itu makin nampak pengaruhnya.

Ungkapan-ungkapan mirip candi, contohnya dipahami maknanya hanya sebagai pemujaan roh nenek moyang.

Alas atau kaki candi berbentuk persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga yang pribadi sanggup menuju bilik candi.

Di tengah kaki candi terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam aliran Hindu atau Kamaloka dalam aliran Buddha.

Denah pecahan tubuh candi pada umumnya berdimensi lebih kecil dari alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian tubuh ini sanggup berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik.

Pada candi Hindu lubang perigi yang ditutup yoni terdapat di tengah bilik utama, dinding luar terdapat relung-relung yang isi arca.

Pada pecahan atas setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yang dikenal sebagai banaspati, yaitu lambang penjaga.

Bagian atap candi selalu terdiri atas susunan tingkatan yang mengecil ke atas, dan diakhiri dengan mahkota.

Mahkota ini sanggup berupa stupa, lingga, ratna, atau berbentuk kubus. Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman dewa.

Khusus untuk candi-candi Buddha menggunakan stupa sebagai elemennya.

Secara keseluruhan candi menggambarkan korelasi makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat insan yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat insan telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempatdewa-dewa.

Related : Sejarah Indonesia X Belahan 2 Pedagang, Penguasa Dan Pujangga Pada Kala Klasik (Hindu-Buddha)

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia X Belahan 2 Pedagang, Penguasa Dan Pujangga Pada Kala Klasik (Hindu-Buddha)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)