Sejarah Indonesia X Penggalan 1 Menelusuri Peradaban Awal Di Kepulauan Indonesia

Manusia purba tidak mengenal goresan pena dalam kebudayaannya. Periode kehidupan ini dikenal dengan zaman praaksara.

Masa praaksara berlangsung sangat usang jauh melebihi periode kehidupan insan yang sudah mengenal tulisan.

Oleh lantaran itu, untuk sanggup memahami perkembangan kehidupan insan pada zaman praaksara kita perlu mengenali tahapan-tahapannya.

Penggunaan istilah prasejarah untuk menggambarkan perkembangan kehidupan dan budaya insan ketika belum mengenal goresan pena kurang tepat.

Pra berarti sebelum dan sejarah ialah insiden yang terjadi pada masa kemudian yang berafiliasi dengan acara dan sikap manusia, sehingga prasejarah berarti sebelum ada sejarah.

Sebelum ada sejarah berarti sebelum ada acara kehidupan manusia. Dalam kenyataannya sekalipun belum mengenal tulisan, makhluk yang dinamakan insan sudah mempunyai sejarah dan sudah menghasilkan kebudayaan.

Oleh lantaran itu, para jago mempopulerkan istilah praaksara untuk menggantikan istilah prasejarah

Praaksara berasal dari dua kata, yakni pra yang berarti sebelum dan huruf yang berarti tulisan.

Dengan demikian, zaman praaksara ialah masa kehidupan insan sebelum mengenal tulisan. Ada istilah yang mirip dengan istilah praaksara, yakni istilah nirleka.

Nir berarti tanpa dan leka berarti tulisan. Karena belum ada goresan pena maka untuk mengetahui sejarah dan hasil-hasil kebudayaan insan ialah dengan melihat beberapa sisa peninggalan yang sanggup kita temukan. Kapan waktu dimulainya zaman praaksara?

Kapan zaman praaksara itu berakhir? Zaman praaksara dimulai sudah tentu semenjak insan ada. Itulah titik dimulainya masa praaksara.

Zaman praaksara berakhir setelah insan mulai mengenal tulisan. Pertanyaan yang sulit untuk dijawab ialah kapan tepatnya insan itu mulai ada di bumi ini sebagai membuktikan dimulainya zaman praaksara?

Sampai kini para jago belum sanggup secara niscaya menunjuk waktu kapan mulai ada insan di muka bumi ini.

Untuk menjawab pertanyaan itu kau perlu memahami kronologi perjalanan kehidupan di permukaan bumi yang rentang waktunya sangat panjang.

Bumi yang kita huni kini diperkirakan mulai terbentuk sekitar 2.500 juta tahun yang lalu.

Bagaimana kalau kita ingin melaksanakan kajian ihwal kehidupan zaman praaksara? Untuk menyelidiki zaman praaksara, para sejarawan harus memakai metode penelitian ilmu arkeologi dan juga ilmu alam mirip geologi dan biologi.

Ilmu arkeologi ialah bidang ilmu yang mengkaji bukti-bukti atau jejak tinggalan fisik, mirip lempeng artefak, monumen, candi dan sebagainya.

Berikutnya memakai ilmu geologi dan percabangannya, terutama yang berkenaan dengan pengkajian usia lapisan bumi, dan biologi berkenaan dengan kajian ihwal ragam hayati (biodiversitas) makhluk hidup

Mengingat jauhnya jarak waktu masa praaksara dengan kita sekarang, maka tidak jarang orang mempersoalkan apa perlunya kita berguru ihwal zaman praaksara yang sudah usang ditinggalkan oleh insan modern.

Pandangan mirip ini sungguh menyesatkan, alasannya tentu ada hubungannya dengan kekinian kita. Beberapa di antaranya akan dikemukakan berikut ini.

Data etnografi yang menggambarkan kehidupan masyarakat praaksara ternyata masih berlangsung hingga sekarang.

Entah itu pola hunian, pola pertanian subsistensi, teknologi tradisional dan konsepsi kepercayaan ihwal kekerabatan harmoni antara insan dan alam, bahkan kebiasaan memelihara binatang mirip anjing dan kucing di lingkungan insan modern perkotaan.

Demikian pula kebiasaan bertani merambah hutan dengan motode ‘tebang kemudian bakar’ (slash and burn) untuk memenuhi kebutuhan secukupnya masih ada hingga kini.

Namun, kebiasaan merambah hutan dan hidup berpindah-pindah pada masa lampau tidak menimbulkan malapetaka asap yang mengganggu penerbangan domestik.

Selain itu, juga mengganggu bandara negara tetangga Singapura dan Malaysia mirip yang sering terjadi akhir-akhir ini.

Teknologi insan modernlah yang bisa melaksanakan perambahan hutan secara besar-besaran, entah itu untuk perkebunan atau pertambangan, dan permukiman real estate sehingga menimbulkan malapetaka kabut asap dan kerusakan lingkungan

Arti penting dari pembelajaran ihwal sejarah kehidupan zaman praaksara pertama-tama ialah kesadaran akan asal permintaan manusia.

Tumbuhan mempunyai akar. Semakin tinggi tumbuhan itu, semakin dalam pula akarnya menghunjam ke bumi hingga tidak simpel tumbang dari terpaan angin angin kencang atau musibah lainnya.

Demikian pula halnya dengan manusia. Semakin berbudaya seseorang atau kelompok masyarakat, semakin dalam pula kesadaran kolektifnya ihwal asal permintaan dan penghargaan terhadap tradisi.

Jika tidak demikian, insan yang melupakan budaya bangsanya akan simpel terombang-ambing oleh terpaan budaya absurd yang lebih kuat, sehingga dengan sendirinya kehilangan identitas diri.

Kaprikornus bangsa yang simpel meninggalkan tradisi nenek moyangnya akan simpel didikte oleh budaya lebih banyak didominasi dari luar yang bukan miliknya.

Kita bisa berguru banyak dari keberhasilan dan capaian prestasi terbaik dari pendahulu kita. Sebaliknya kita juga berguru dari kegagalan mereka yang telah menimbulkan malapetaka bagi dirinya atau bagi banyak orang.

Untuk memetik pelajaran dari uraian ini, sanggup kita katakan bahwa nilai terpenting dalam pembelajaran sejarah ihwal zaman praaksara, dan sesudahnya ada dua yaitu sebagai ide untuk pengembangan nalar kehidupan dan sebagai peringatan.

Selebihnya kecerdasan dan pikiran-pikiran kritislah yang akan menerangi kehidupan masa kini dan masa depan. Sekarang muncul pertanyaan, semenjak kapan zaman praaksara berakhir?

Sudah barang tentu zaman praaksara itu berakhir setelah kehidupan insan mulai mengenal tulisan. Terkait dengan masa berakhirnya zaman praaksara masing-masing tempat akan berbeda.

Penduduk di Kepulauan Indonesia gres memasuki masa huruf sekitar era ke-5 M. Hal ini jauh lebih terlambat bila dibandingkan di tempat lain contohnya Mesir dan Mesopotamia yang sudah mengenal goresan pena semenjak sekitar tahun 3000 SM.

Fakta-fakta masa huruf di Kepulauan Indonesia dihubungkan dengan temuan prasasti peninggalan kerajaan renta mirip Kerajaan Kutai di Muara Kaman, Kalimantan Timur

Ada banyak teori dan klarifikasi ihwal penciptaan bumi, mulai dari mitos hingga kepada klarifikasi agama dan ilmu pengetahuan.

Kali ini kau berguru sejarah sebagai cabang keilmuan, pembahasannya ialah pendekatan ilmu pengetahuan, yakni asumsi-asumsi ilmiah, yang kiranya juga tidak perlu bertentangan dengan fatwa agama.

Salah satu di antara teori ilmiah ihwal terbentuknya bumi ialah Teori “Dentuman Besar” (Big Bang), yang dikemukakan oleh sejumlah ilmuwan, contohnya ilmuwan besar Inggris, Stephen Hawking.

Teori ini menyatakan bahwa alam semesta mulanya berbentuk gumpalan gas yang mengisi seluruh ruang jagat raya.

Jika dipakai teleskop besar Mount Wilson untuk mengamatinya akan terlihat ruang jagat raya itu luasnya mencapai radius 500 juta tahun cahaya. Gumpalan gas itu suatu ketika meledak dengan satu dentuman yang amat dahsyat.

Setelah itu, materi yang terdapat di alam semesta mulai berdesakan satu sama lain dalam kondisi suhu dan kepadatan yang sangat tinggi, sehingga hanya tersisa energi berupa proton, neutron dan elektron, yang bertebaran ke seluruh arah.

Ledakan dahsyat itu menimbulkan gelembung-gelembung alam semesta yang menyebar dan menggembung ke seluruh penjuru, sehingga membentuk galaksi, bintang-bintang, matahari, planet-planet, bumi, bulan dan meteorit.

Bumi kita hanyalah salah satu titik kecil saja di antara tata surya yang mengisi jagat semesta. Di samping itu banyak planet lain termasuk bintang-bintang yang menghiasi langit yang tak terhitung jumlahnya.

Boleh jadi ukurannya jauh lebih besar dari planet bumi. Bintang-bintang berkumpul dalam suatu gugusan, meskipun antarbintang berjauhan letaknya di angkasa.

Ada juga ilmuwan astronomi yang mengibaratkan galaksi bintang-bintang itu tak ubahnya mirip sekumpulan anak ayam, yang tak mungkin dipisahkan dari induknya.

Kaprikornus di mana ada anak ayam di situ niscaya ada induknya. Seperti halnya dengan belum dewasa ayam, bintang-bintang di angkasa tak mungkin gemerlap sendirian tanpa disandingi dengan bintang lainnya.

Sistem alam semesta dengan semua benda langit sudah tersusun secara menakjubkan dan masing-masing beredar secara teratur dan rapi pada sumbunya masing-masing

Selanjutnya proses evolusi alam semesta itu memakan waktu kosmologis yang sangat usang hingga berjuta tahun.

Terjadinya evolusi bumi hingga adanya kehidupan memakan waktu yang sangat panjang. Ilmu paleontologi membaginya dalam enam tahap waktu geologis.

Masing-masing ditandai oleh insiden alam yang menonjol, mirip munculnya gunung-gunung, benua, dan makhluk hidup yang paling sederhana. Sedangkan proses evolusi bumi dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut.

1. Azoikum (Yunani: a = tidak; zoon = hewan), yaitu zaman sebelum adanya kehidupan. Pada ketika ini bumi gres terbentuk dengan suhu yang relatif tinggi. Waktunya lebih dari satu miliar tahun lalu.

2. Palaezoikum, yaitu zaman purba tertua. Pada masa ini sudah meninggalkan fosil tumbuhan dan fauna. Berlangsung kira-kira 350 juta tahun.

3. Mesozoikum, yaitu zaman purba tengah. Pada masa ini binatang mamalia (menyusui), binatang amfibi, burung dan tumbuhan berbunga mulai ada. Lamanya kira-kira 140 juta tahun.

4. Neozoikum, yaitu zaman purba baru, yang dimulai semenjak 60 juta tahun yang lalu. Zaman ini sanggup dibagi lagi menjadi dua tahap (Tersier dan Kuarter). Zaman es mulai menyusut dan makhluk-makhluk tingkat tinggi dan insan mulai hidup

Merujuk pada tarikh bumi di atas, sejarah Kepulauan Indonesia terbentuk melalui proses yang panjang dan rumit.

Sebelum bumi didiami manusia, kepulauan ini hanya diisi tumbuhan dan fauna yang masih sangat kecil dan sederhana.

Alam juga harus menjalani evolusi terus-menerus untuk menemukan keseimbangan biar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi alam dan iklim, sehingga makhluk hidup sanggup bertahan dan berkembang biak mengikuti seleksi alam.

Gugusan kepulauan ataupun wilayah maritim mirip yang kita temukan kini ini terletak di antara dua benua dan dua samudra, antara Benua Asia di utara dan Australia di selatan, antara Samudra Hindia di barat dan Samudra Pasifik di belahan timur.

Faktor letak ini memainkan tugas strategis semenjak zaman kuno hingga sekarang.

Namun sebelum itu marilah kita sebentar berkenalan dengan kondisi alamnya, terutama unsur-unsur geologi atau unsurunsur geodinamika yang sangat berperan dalam pembentukan Kepulauan Indonesia.

Menurut para jago bumi, posisi pulau-pulau di Kepulauan Indonesia terletak di atas tungku api yang bersumber dari magma dalam perut bumi.

Inti perut bumi tersebut berupa lava cair bersuhu sangat tinggi. Makin ke dalam tekanan dan suhunya semakin tinggi.

Pada suhu yang tinggi itu material-material akan meleleh sehingga material di pecahan dalam bumi selalu berbentuk cairan panas.

Suhu tinggi ini terus-menerus bergejolak mempertahankan cairan sejak jutaan tahun lalu. Ketika ada celah lubang keluar, cairan tersebut keluar berbentuk lava cair.

Ketika lava mencapai permukaan bumi, suhu menjadi lebih cuek dari ribuan derajat menjadi hanya bersuhu normal sekitar 30 derajat.

Pada suhu ini cairan lava akan membeku membentuk batuan beku atau kerak. Keberadaan kerak benua (daratan) dan kerak samudra selalu bergerak secara dinamis tanggapan tekanan magma dari perut bumi.

Pergerakan unsur-unsur geodinamika ini dikenal sebagai kegiatan tektonis.

Sebagian wilayah Kepulauan Indonesia merupakan titik temu di antara tiga lempeng, yaitu Lempeng Indo-Australia di selatan, Lempeng Eurasia di utara dan Lempeng Pasifik di timur.

Pergerakan lempenglempeng tersebut sanggup berupa subduksi (pergerakan lempeng ke atas), obduksi (pergerakan lempeng ke bawah) dan kolisi (tumbukan lempeng).

Pergerakan lain sanggup berupa pemisahan atau divergensi (tabrakan) lempeng-lempeng.

Pergerakan mendatar berupa pergeseran lempeng-lempeng tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang. Perbenturan lempeng-lempeng tersebut menimbulkan dampak yang berbedabeda.

Namun semuanya telah menimbulkan wilayah Kepulauan Indonesia secara tektonis merupakan wilayah yang sangat aktif dan labil hingga rawan gempa sepanjang waktu.

Pada masa Paleozoikum (masa kehidupan tertua) keadaan geografis Kepulauan Indonesia belum terbentuk mirip kini ini.

Di kala itu wilayah ini masih merupakan pecahan dari samudra yang sangat luas, mencakup hampir seluruh bumi.

Pada fase berikutnya, yaitu pada selesai masa Mesozoikum, sekitar 65 juta tahun lalu, kegiatan tektonis itu menjadi sangat aktif menggerakkan lempenglempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Kegiatan ini dikenal sebagai fase tektonis (orogenesa larami), sehingga menimbulkan daratan terpecah-pecah.

Benua Eurasia menjadi pulau-pulau yang terpisah satu dengan lainnya. Sebagian di antaranya bergerak ke selatan membentuk pulau-pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat dan Kepulauan Banda.

Hal yang sama juga terjadi pada Benua Australia. Sebagian pecahannya bergerak ke utara membentuk pulau-pulau Timor, Kepulauan Nusa Tenggara Timur dan sebagian Maluku Tenggara.

Pergerakan pulau-pulau hasil pemisahan dari kedua benua tersebut telah menimbulkan wilayah pertemuan keduanya sangat labil.

Kegiatan tektonis yang sangat aktif dan berpengaruh telah membentuk rangkaian Kepulauan Indonesia pada masa Tersier sekitar 65 juta tahun lalu.

Sebagian besar daratan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa telah karam menjadi maritim dangkal sebagai tanggapan terjadinya proses kenaikan permukaan maritim atau transgresi.

Sulawesi pada masa itu sudah mulai terbentuk, sementara Papua sudah mulai bergeser ke utara, meski masih didominasi oleh cekungan sedimentasi maritim dangkal berupa paparan dengan terbentuknya endapan kerikil gamping.

Pada kala Pliosen sekitar lima juta tahun lalu, terjadi pergerakan tektonis yang sangat kuat, yang menimbulkan terjadinya proses pengangkatan permukaan bumi dan kegiatan vulkanis.

Ini pada gilirannya menimbulkan tumbuhnya (atau mungkin lebih tepat terbentuk) rangkaian perbukitan struktural mirip perbukitan besar (gunung), dan perbukitan lipatan serta rangkaian gunung api aktif sepanjang formasi perbukitan itu.

Kegiatan tektonis dan vulkanis terus aktif hingga awal masa Pleistosen, yang dikenal sebagai kegiatan tektonis Plio-Pleistosen.

Kegiatan tektonis ini berlangsung di seluruh Kepulauan Indonesia. Gunung api aktif dan rangkaian perbukitan struktural tersebar di sepanjang pecahan barat Pulau Sumatra, berlanjut ke sepanjang Pulau Jawa ke arah timur hingga Kepulauan Nusa Tenggara serta Kepulauan Banda. Kemudian terus membentang sepanjang Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.

Pembentukan daratan yang semakin luas itu telah membentuk Kepulauan Indonesia pada kedudukan pulau-pulau mirip kini ini.

Hal itu telah berlangsung semenjak kala Pliosen hingga awal Pleistosen (1,8 juta tahun lalu). Kaprikornus pulau-pulau di tempat Kepulauan Indonesia ini masih terus bergerak secara dinamis, sehingga tidak heran bila masih sering terjadi gempa, baik vulkanis maupun tektonis.

Letak Kepulauan Indonesia yang berada pada deretan gunung api membuatnya menjadi daerah dengan tingkat keanekaragaman tumbuhan dan fauna yang sangat tinggi.

Kekayaan alam dan kondisi geografis ini telah mendorong lahirnya penelitian dari bangsabangsa lain.

Dari sekian banyak penelitian terhadap tumbuhan dan fauna tersebut yang paling terkenal di antaranya ialah penelitian Alfred Russel Wallace yang membagi Indonesia dalam dua wilayah yang berbeda berdasarkan ciri khusus baik fauna maupun floranya.

Pembagian itu ialah Paparan Sahul di sebelah timur, Paparan Sunda di sebelah barat.

Zona di antara paparan tersebut kemudian dikenal sebagai wilayah Wallacea yang merupakan pembatas fauna yang membentang dari Selat Lombok hingga Selat Makassar ke arah utara.

Fauna-fauna yang berada di sebelah barat garis pembatas itu disebut dengan Indo-Malayan region.

Di sebelah timur disebut dengan Australia Malayan region. Garis itulah yang kemudian kita kenal dengan Garis Wallacea.

Merujuk pada tarikh bumi di atas, keberadaan insan di muka bumi dimulai pada zaman Kuarter sekitar 600.000 tahun kemudian atau disebut juga zaman es.

Dinamakan zaman es lantaran selama itu es dari kutub berkali-kali meluas hingga menutupi sebagian besar permukaan bumi dari Eropa Utara, Asia Utara dan Amerika Utara Peristiwa itu terjadi lantaran geothermal tidak tetap, adakalanya naik dan adakalanya turun.

Jika ukuran geothermal turun dratis maka es akan mencapai luas yang sebesar-besarnya dan air maritim akan turun atau disebut zaman Glasial.

Sebaliknya bila ukuran panas naik, maka es akan mencair, dan permukaan air maritim akan naik yang disebut zaman Interglasial. Zaman Glasial dan zaman Interglasial ini berlangsung silih berganti selama zaman Diluvium (Pleistosen).

Hal ini menimbulkan banyak sekali perubahan iklim di seluruh dunia, yang kemudian mensugesti keadaan bumi serta kehidupan yang ada diatasnya termasuk manusia, sedangkan zaman Aluvium (Holosen) berlangsung kira-kira 20.000 tahun yang kemudian hingga kini ini.

Sejak zaman ini mulai terlihat secara konkret adanya perkembangan kehidupan manusia, meskipun dalam taraf yang sangat sederhana baik fisik maupun kemampuan berpikirnya.

Namun demikian dalam rangka untuk mempertahankan diri dan keberlangsungan kehidupannya, secara lambat laun insan mulai berbagi kebudayaan.

Beruntung kita bangsa Indonesia mempunyai temuan bermacam-macam jenis insan purba beserta hasil-hasil kebudayaannya, sehingga semenjak selesai era ke-19 para ilmuwan tertarik untuk melaksanakan kajian di negeri kita.

Pernahkah kau mendengar ihwal Situs Manusia Purba Sangiran?

Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia.

Pengakuan tersebut didasari banyak sekali pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya lantaran di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan insan purba yang memperlihatkan proses kehidupan insan dari masa lalu.

Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan insan purba. Berbagai penelitian dari para jago juga dilakukan di sekitar Sangiran.

Beberapa temuan fosil di Sangiran telah mendorong para jago untuk terus melaksanakan penelitian termasuk di luar Sangiran.

Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis insan purba di Indonesia.

Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat wisata.

Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di sekitarnya, lantaran pariwisata di daerah tersebut.

Untuk memahami jenis dan ciri-ciri insan purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.

Peninggalan insan purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa.

Meskipun di daerah lain juga ada, para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, contohnya di Flores.

Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan penting fosil insan di beberapa tempat.

1. Sangiran 
Perjalanan cerita perkembangan insan di Kepulauan Indonesia tidak sanggup kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran.

Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs insan purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia.

Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan insan dunia, yang memperlihatkan petunjuk ihwal keberadaan insan semenjak 150.000 tahun yang lalu.

Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah tanggapan adanya pengikisan di pecahan puncaknya.

Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menimbulkan tersingkapnya banyak sekali lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil insan purba dan binatang, termasuk artefak.

Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada ekspresi dominan kemarau.

Sangiran pertama kali ditemukan dan diteliti oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, pecahan dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seperti terlupakan dalam waktu yang lama.

Eugene Dubois juga pernah tiba ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koenigswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua kilometer di barat maritim kubah Sangiran.

Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koenigswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuanpenemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan.

Homo erectus ialah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan insan Homo sapiens, insan modern.

Situs Sangiran tidak hanya memperlihatkan gambaran ihwal evolusi fisik insan saja, akan tetapi juga memperlihatkan gambaran konkret ihwal evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan.

Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologisstratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, memperlihatkan ihwal hal itu.

Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi insan di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.

2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur.

Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada ketika Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.

Prageraham itu memperlihatkan ciri gigi insan bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A

Trinil ialah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah manajemen Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koenigswald menemukan Sangiran pada 1934.

Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa insan purba  yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo.

Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang memperlihatkan pemiliknya telah berjalan tegak.

Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak monyet (600 cc) dan otak insan modern (1.200-1.400 cc).

Tulang kening sangat menonjol dan di pecahan belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada pecahan belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan.

Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.

Selain tempat-tempat di atas, peninggalan insan purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak belum dewasa berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koenigswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan.

Temuan itu menjadi materi diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang dipakai oleh Teuku Jakob dan Curtis terhadap kerikil apung yang terdapat di sekitar fosil tengkorak itu memperlihatkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun.

Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan kerikil apung dari dalam tengkorak dan memperlihatkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para jago dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.

Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia.

Adakah di antara kau yang tertarik untuk melaksanakan pengujian ini? Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini memperlihatkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran.

Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis insan purba yang pernah hidup di zaman praaksara

1. Jenis Meganthropus 
Jenis insan purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koenigswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang insan berukuran besar.

Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para jago menamakan jenis insan ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya insan raksasa dari Jawa.

Jenis insan purba ini mempunyai ciri rahang yang berpengaruh dan badannya tegap. Diperkirakan masakan jenis insan ini ialah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.

2. Jenis Pithecanthropus 
Jenis insan ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di bersahabat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat gejala kera.

Oleh lantaran itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya insan monyet yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis.

Jenis insan purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis insan purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.

3. Jenis Homo 
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis insan Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol.

Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan insan sekarang.

Hidup dan perkembangan jenis insan ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia, tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.

Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan insan modern.

Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ dikarenakan telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam.

Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke banyak sekali penjuru dunia hingga ketika ini?

Para jago paleoanthropologi sanggup melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus.

Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya lantaran tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.

Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang pendahulu tersebut.

Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens memperlihatkan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus. Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan ialah bertambahnya kapasitas otak.

Homo sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih bulat dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.

Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya memperlihatkan ada perbedaan yang sangat konkret antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut.

Homo sapiens balasannya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni banyak sekali permukaan dunia ini. Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini insan modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah hadir semenjak 45.000 tahun yang lalu.

Dalam perkembangannya, kehidupan insan modern ini sanggup dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu

(i) kehidupan insan modern awal yang kehadirannya hingga kiamat es (sekitar 12.000 tahun lalu), kemudian dilanjutkan oleh

(ii) kehidupan insan modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelanesoid.

(iii) mulai di sekitar 4000 tahun kemudian muncul penghuni gres di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk insan ini tergolong dalam ras Mongolid. Beberapa spesimen (penggolongan) insan Homo sapiens sanggup dikelompokkan sebagai berikut,

Beberapa spesimen (penggolongan) insan Homo sapiens sanggup dikelompokkan sebagai berikut,

a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara sanggup disejajarkan perkembangannya dengan insan modern awal dari selesai Kala Pleistosen.

Pada tahun 1889, insan Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat maritim Campurdarat, bersahabat Tulungagung, Jawa Timur.

Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan tentang  temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher.

Temuan Wajak itu ialah Homo sapiens. Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan pecahan mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata.

Tengkorak ini diperkirakan milik seorang wanita berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama.

Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata. Pada tengkorak pria perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam.

Rahang bawah besar dengan gigigigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah.

Dari tulang pahanya sanggup diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm. Dengan demikian sanggup dikatakan bahwa insan wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid.

Diperkirakan dari insan Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang.

Hal itu sanggup dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh lantaran sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping.

Beberapa ciri lain juga memperlihatkan ciri-ciri kedua ras di atas. Temuan Wajak memperlihatkan pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang kemudian Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga insan Wajak sanggup dianggap sebagai suatu ras tersendiri.

Manusia Wajak tidak eksklusif berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.

Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami Kepulauan Indonesia pecahan Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia pecahan Timur.

Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih bersahabat dengan sub-ras Melayu-Indonesia.

Hubungannya dengan ras Australoid dan Melanesoid kini lebih jauh, oleh lantaran kedua sub-ras ini gres mencapai bentuknya yang kini di tempatnya yang baru. Mungkin juga ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.

b. Manusia Liang Bua 
Pengumuman ihwal penemuan insan Homo floresiensis pada tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan.

Sisasisa insan ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang dingin.

Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi insan pada masa praaksara.

Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya.

Liang Bua merupakan sebuah temuan insan modern awal dari selesai masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan sanggup menyibak asal permintaan insan di Kepulauan Indonesia. Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama-sama dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu.

Temuan itu dianggap sebagai penemuan spesies gres yang kemudian diberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.

 Pada tahun 1950-an, tolong-menolong Manusia Liang Bua telah memperlihatkan data-data ihwal adanya kehidupan praaksara. Saat Th. Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang insan di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan banyak sekali alat serpih dan gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka insan beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah.

Diperkirakan Liang Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), insan modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).

Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka insan yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuantemuan rangka insan sebelumnya.

Hasil temuan itu memperlihatkan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis memperlihatkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.

Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang.

Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, kolaborasi antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia.

Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa insan tidak kurang dari enam individu yang memperlihatkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat kerikil dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon.

Temuan itu sempat menjadi materi perdebatan mengenai status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?

Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap insan Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens.

Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) memperlihatkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo sapiens juga sangat terlihat jelas.

Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.

3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus 
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi insan yang dituliskan oleh Charles Darwin.

Harry Widianto menuliskan perdebatan itu mirip berikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam banyak sekali majalah ilmiah melahirkan perdebatan.

Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, berdasarkan teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus ialah peralihan monyet ke manusia.

Kera merupakan moyang manusia. Pernyataan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu?

Sementara orang menerka bahwa tengkorak tersebut merupakan tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya milik insan modern?

Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang berpengaruh dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occlusal yang sangat berkerut-kerut.

Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam ekspo publik British Zoology Society di London.

Setelah seminar dan ekspo itu banyak jago yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich.

Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia. Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia.

Teori itu terus menjadi perdebatan, para jago paleontologi berbicara ihwal ontogenesis dan heterokroni.

Seorang teman Dubois, Bolk melaksanakan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melaksanakan penemuan fosil missing-link.

Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari monyet ke insan terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus.

Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesis sama sekali tidak sanggup dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar semenjak tahun 1927.

Penemuan situs Zhoukoudian di bersahabat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang diberi nama Sinanthropus pekinensis.

Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut memperlihatkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.

Seorang jago biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan insan modern.

Pithecanthropus ialah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil.

Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakkan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus.

Maka berakhirlah debat panjang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan insan yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, pecahan dari Homo erectus.

Coba kau cermati bahwa banyaknya suku bangsa di Indonesia terang memunculkan keberagaman bahasa daerah, dan kebudayaan yang berlaku dalam praktik-praktik kehidupan seharihari. Bayangkan saja ada lebih dari 500 suku bangsa Indonesia.

Sungguh merupakan kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh negara lain. Namun demikian kekayaan ini akan menjadi duduk perkara bila kita tidak bakir mengelola perbedaan yang ada.

Tentu ini berkaitan pula dengan asal mula kedatangan suku bangsa dan waktu kedatangan mereka. Oleh lantaran itu, penting untuk mengetahui bagaimana proses dan dinamika nenek moyang Indonesia sehingga terbentuk keragaman budayanya.

Untuk itu kau harus mempelajarinya, biar kita bisa saling menghargai dan menghormati setiap perbedaan yang ada

Menurut Sarasin bersaudara, penduduk orisinil Kepulauan Indonesia ialah ras berkulit gelap dan bertubuh kecil.

Mereka mulanya tinggal di Asia pecahan tenggara. Ketika zaman es mencair dan air maritim naik hingga terbentuk Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sehingga memisahkan pegunungan vulkanik Kepulauan Indonesia dari daratan utama.

Beberapa penduduk orisinil Kepulauan Indonesia tersisa dan menetap di daerah-daerah pedalaman, sedangkan daerah pantai dihuni oleh penduduk pendatang.

Penduduk orisinil itu disebut sebagai suku bangsa Vedda oleh Sarasin. Ras yang masuk dalam kelompok ini ialah suku bangsa Hieng di Kamboja, Miaotse, Yao-Jen di Cina, dan Senoi di Semenanjung Malaya.

Beberapa suku bangsa mirip Kubu, Lubu, Talang Mamak yang tinggal di Sumatra dan Toala di Sulawesi merupakan penduduk tertua di Kepulauan Indonesia.

Mereka mempunyai kekerabatan erat dengan nenek moyang Melanesia masa kini dan orang Vedda yang ketika ini masih terdapat di Afrika, Asia Selatan, dan Oceania.

Vedda itulah insan pertama yang tiba ke pulau-pulau yang sudah berpenghuni. Mereka membawa budaya perkakas batu.

Kedua ras Melanesia dan Vedda hidup dalam budaya mesolitik. Pendatang berikutnya membawa budaya gres yaitu budaya neolitik.

Para pendatang gres itu jumlahnya jauh lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka tiba dalam dua tahap.

Mereka itu oleh Sarasin disebut sebagai Proto Melayu dan Deutro Melayu. Kedatangan mereka terpisah diperkirakan lebih dari 2.000 tahun yang lalu.

Proto Melayu diyakini sebagai nenek moyang orang Melayu Polinesia yang tersebar dari Madagaskar hingga pulau-pulau paling timur di Pasifik.

Mereka diperkirakan tiba dari Cina pecahan selatan. Ras Melayu ini mempunyai ciri-ciri rambut lurus, kulit kuning kecoklatan-coklatan, dan bermata sipit.

Dari Cina pecahan selatan (Yunan) mereka bermigrasi ke Indocina dan Siam, kemudian ke Kepulauan Indonesia.

Mereka itu mula-mula menempati pantaipantai Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Barat. Ras Proto Melayu membawa peradaban kerikil di Kepulauan Indonesia.

Ketika tiba para imigran baru, yaitu Deutero Melayu (Ras Melayu Muda) mereka berpindah masuk ke pedalaman dan mencari tempat gres ke hutan-hutan sebagai tempat huniannya.

Ras Proto Melayu itu pun kemudian mendesak keberadaan penduduk asli.

Kehidupan di dalam hutan-hutan menjadikan mereka terisolasi dari dunia luar, sehingga memudarkan peradaban mereka.

Penduduk orisinil dan ras proto melayu itu pun kemudian melebur. Mereka itu kemudian menjadi suku bangsa Batak, Dayak, Toraja, Alas, dan Gayo.

Kehidupan mereka yang terisolasi itu menimbulkan ras Proto Melayu sedikit mendapat imbas dari kebudayaan Hindu maupun Islam dikemudian hari.

Para ras Proto Melayu itu kelak mendapat imbas Katolik semenjak mereka mengenal para penginjil yang masuk ke wilayah mereka untuk memperkenalkan agama Katolik dan peradaban gres dalam kehidupan mereka.

Persebaran suku bangsa Dayak hingga ke Filipina Selatan, Serawak, dan Malaka memperlihatkan rute perpindahan mereka dari Kepulauan Indonesia.

Sementara suku bangsa Batak yang mengambil rute ke barat menyusuri pantai-pantai Burma dan Malaka Barat.

Beberapa kesamaan bahasa yang dipakai oleh suku bangsa Karen di Burma banyak mengandung kemiripan dengan bahasa Batak.


Deutero Melayu merupakan ras yang tiba dari Indocina pecahan utara. Mereka membawa budaya gres berupa perkakas dan senjata besi di Kepulauan Indonesia, atau Kebudayaan Dongson. Mereka seringkali disebut juga orang-orang Dongson.

Peradaban mereka lebih tinggi daripada ras Proto Melayu. Mereka sanggup menciptakan perkakas dari perunggu.

Peradaban mereka ditandai dengan keahlian mengerjakan logam dengan sempurna. Perpindahan mereka ke Kepulauan Indonesia sanggup dilihat dari rute persebaran alat-alat yang mereka tinggalkan di beberapa kepulauan di Indonesia, yaitu berupa kapak persegi panjang.

Peradaban ini sanggup dijumpai di Malaka, Sumatera, Kalimantan, Filipina, Sulawesi, Jawa, dan Nusa Tenggara Timur.

Dalam bidang pengolahan tanah mereka mempunyai kemampuan untuk menciptakan irigasi pada tanah-tanah pertanian yang berhasil mereka ciptakan, dengan membabat hutan terlebih dahulu.

Ras Deutero Melayu juga mempunyai peradaban pelayaran lebih maju dari pendahulunya lantaran petualangan mereka sebagai pelaut dibantu dengan penguasaan mereka terhadap ilmu perbintangan. Perpindahan ras Deutero Melayu juga memakai jalur pelayaran laut.

Sebagian dari ras Deutero Melayu ada yang mencapai Kepulauan Jepang, bahkan kelak ada yang hingga hingga Madagaskar.

Kedatangan ras Deutero Melayu di Kepulauan Indonesia makin usang semakin banyak. Mereka pun kemudian berpindah mencari tempat gres ke hutan-hutan sebagai tempat hunian baru.

Pada balasannya Proto dan Deutero Melayu membaur dan selanjutnya menjadi penduduk di Kepulauan Indonesia. Pada masa selanjutnya mereka sulit untuk dibedakan.

Proto Melayu mencakup penduduk di Gayo dan Alas di Sumatra pecahan utara, serta Toraja di Sulawesi.

Sementara itu, semua penduduk di Kepulauan Indonesia, kecuali penduduk Papua dan yang tinggal di sekitar pulau-pulau Papua, ialah ras Deutero Melayu.


Ras lain yang terdapat di Kepulauan Indonesia ialah ras Melanesoid. Mereka tersebar di lautan Pasifik di pulau-pulau yang letaknya sebelah Timur Irian dan Benua Australia.

Di Kepulauan Indonesia mereka tinggal di Papua Barat, Ambon, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan Papua-Nugini dan Bismarck, Solomon, New Caledonia dan Fiji, Vanuatu, mereka tergolong rumpun Melanesoid.

Pada mulanya kedatangan Bangsa Melanesoid di Kepulauan Indonesia berawal ketika zaman es terakhir, yaitu tahun 70.000 SM.

Pada ketika itu Kepulauan Indonesia belum berpenghuni. Ketika suhu turun hingga mencapai kedinginan maksimal, air maritim menjadi beku.

Permukaan maritim menjadi lebih rendah 100 m dibandingkan permukaan ketika ini.

Pada ketika itulah muncul pulau-pulau baru. Adanya pulau-pulau itu memudahkan makhluk hidup berpindah dari Asia menuju tempat Oseania.

Bangsa Melanesoid melaksanakan perpindahan ke timur hingga ke Papua, selanjutnya ke Benua Australia, yang sebelumnya merupakan satu kepulauan yang terhubung dengan Papua.

Bangsa Melanesoid ketika itu hingga mencapai 100 ribu jiwa mencakup wilayah Papua dan Australia. Peradaban bangsa Melanesoid dikenal dengan paleolitikum.

Pada ketika masa es berakhir dan air maritim mulai naik lagi pada tahun 5000 S.M. Kepulauan Papua dan Benua Australia terpisah mirip yang sanggup kita lihat ketika ini.

Pada ketika itu jumlah penduduk mencapai 0,25 juta dan pada tahun 500 S.M. mencapai 0,5 juta jiwa. Asal mula bangsa Melanesia, yaitu Proto Melanesia merupakan penduduk pribumi di Jawa.

Mereka ialah insan Wajak yang tersebar ke timur dan menduduki Papua, sebelum zaman es berakhir dan sebelum kenaikan permukaan maritim yang terjadi pada ketika itu.

Di Papua insan Wajak hidup berkelompok-kelompok kecil di sepanjang muara-muara sungai. Mereka hidup dengan menangkap ikan di sungai dan meramu tumbuh-tumbuhan serta akar-akaran, serta berburu di hutan belukar.

Tempat tinggal mereka berupa perkampungan-perkampungan yang terbuat dari bahanbahan yang ringan. Rumah-rumah itu tolong-menolong hanya berupa kemah atau tadah angin, yang sering didirikan melekat pada dinding gua yang besar.

Kemah-kemah dan tadah angin itu hanya dipakai sebagai tempat untuk tidur dan berlindung, sedangkan acara lainnya dilakukan di luar rumah. Bangsa Proto Melanesoid terus terdesak oleh bangsa Melayu.

Mereka yang belum sempat mencapai Kepulauan Papua melaksanakan percampuran dengan ras gres itu.

Percampuran bangsa Melayu dengan Melanesoid menghasilkan keturunan Melanesoid-Melayu, ketika ini mereka merupakan penduduk Nusa Tenggara Timur dan Maluku


Sebelum kedatangan kelompok-kelompok Melayu renta dan muda, negeri kita sudah terlebih dulu kemasukan orang-orang Negrito dan Weddid.

Sebutan Negrito diberikan oleh orang-orang Spanyol lantaran yang mereka jumpai itu berkulit hitam mirip dengan jenis-jenis Negro.

Sejauh mana kelompok Negrito itu bertalian darah dengan jenis-jenis Negro yang terdapat di Afrika serta Kepulauan Melanesia (Pasifik), demikian pula bagaimana sejarah perpindahan mereka, belum banyak diketahui dengan pasti.

Kelompok Weddid terdiri atas orang-orang dengan kepala mesocephal dan letak mata yang dalam sehingga nampak mirip berang; kulit mereka coklat renta dan tinggi rata-rata lelakinya 155 cm.

Weddid artinya jenis Wedda yaitu bangsa yang terdapat di Pulau Ceylon (Srilanka).

Persebaran orang-orang Weddid di Nusantara cukup luas, contohnya di Palembang dan Jambi (Kubu), di Siak (Sakai) dan di Sulawesi pojok tenggara (Toala, Tokea dan Tomuna).

Periode migrasi itu berlangsung berabad-abad, kemungkinan mereka berasal dalam satu kelompok ras yang sama dan dengan budaya yang sama pula.

Mereka itulah nenek moyang orang Indonesia ketika ini. Sekitar 170 bahasa yang dipakai di Kepulauan Indonesia ialah bahasa Austronesia (Melayu-Polinesia).

Bahasa itu kemudian dikelompokkan menjadi dua oleh Sarasin, yaitu Bahasa Aceh dan bahasa-bahasa di pedalaman Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kelompok kedua ialah bahasa Batak, Melayu, Jawa, dan Bali. Kelompok bahasa kedua itu mempunyai kekerabatan dengan bahasa Malagi di Madagaskar dan Tagalog di Luzon.

Persebaran geografis kedua bahasa itu memperlihatkan bahwa penggunanya ialah pelautpelaut pada masa dahulu yang sudah mempunyai peradaban lebih maju.

Di samping bahasa-bahasa itu, juga terdapat bahasa Halmahera Utara dan Papua yang dipakai di pedalaman Papua dan pecahan utara Pulau Halmahera

Dalam bahasan di atas kita telah membahas ihwal teori asal permintaan nenek moyang Indonesia. Selama ini kita ketahui bahwa Proto Melayu, Deutero Melayu, dan Melanesoid tidak memperlihatkan kekerabatan geneologis, bahkan ada yang beropini keberadaan mereka ada lantaran pergantian populasi.

Namun berdasarkan penelitian gres yang melibatkan jago arkeologi, genetika, dan bahasa, ternyata asal-usul nenek moyang Indonesia berasal dari persamaan budaya, bahasa, dan dua atau lebih populasi keturunan sehingga menghasilkan teori gres yaitu Teori Out of Africa dan Out of Taiwan.


Dalam tinjauan akademis yang komprehensif ihwal asalusul nenek moyang Indonesia, maka terlihatlah bahwa betapa eratnya keterkaitan dinamika sejarah Melanesia dengan bumi Nusantara.

Mungkin kita akan bertanya, siapakah yang dimaksud dengan Melanesia itu? Kata Melanesia diperkenalkan pertama kali oleh Dumont d’Urville seorang penjelajah berkebangsaan

Prancis untuk menyebut wilayah etnik penduduk yang berkulit hitam dan berambut keriting di tempat Pasifik, dalam pertemuan Geography Society of Paris pada tanggal 27 Desember 1831.

Menurut Harry Truman, pada sekitar 60.000 tahun yang kemudian ada sekelompok orang yang dengan semangat keberaniannya melintasi selat-selat dan maritim hingga mencapai Kepulauan Nusantara.

Mereka ialah Homo sapiens yang dalam buku literatur disebut sebagai Manusia Modern Awal. Ketika berangkat dari tanah asalnya yaitu Afrika, mereka tidak mempunyai tempat tujuan. Teori ini oleh para jago disebut sebagai Teori Out of Africa.

Dalam pikiran mereka yang ada hanyalah, bagaimana mereka sanggup menemukan ladang kehidupan gres yang lebih menjanjikan.

Mereka beruntung dalam pengembaraannya segala rintangan alam sanggup diatasi, dari generasi ke genarasi mereka mencapai wilayah-wilayah penghidupan yang baru.

Di tempat gres itu mereka mengeksplorasi sumberdaya lingkungan yang tersedia untuk mempertahankan hidup.

Mereka meramu dari banyak sekali umbi-umbian dan buah-buahan yang ada di wilayah itu. Hewan-hewan juga diburu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk keperluan itu maka dibuatlah peralatan dari kerikil dan materi organik, mirip kayu dan bambu.

Waktu terus berlalu, perubahan alam lantaran iklim dan geografi juga populasi yang terus bertambah, mendorong mereka untuk mencari wilayah hunian baru. Perlahan tetapi niscaya mereka mengembara mencari tempat hunian baru.

Mereka kemudian menyebar hingga ke wilayah timur Kepulauan Indonesia, bahkan meluas hingga mencapai Melanesia Barat dan Australia, wilayah geografi hunian mereka pun semakin meluas.

Pengalaman yang diperoleh selama mereka mengembara itu menjadi pengetahuan, yang selanjutnya pengetahuan itu diturunkan dari generasi ke generasi.

Kemampuan berlayar dan menciptakan rakit, serta teknik-teknik menciptakan alat transportasi laut yang lebih berpengaruh dan nyaman.

Begitu pula dengan pengetahuan perbintangan untuk memperlihatkan arah ketika berlayar. Pengalaman untuk menaklukkan ekosistem daratan, sehingga mereka bisa untuk menyesuaikan diri dengan kondisi ekologi yang berbedabeda.

Pengalaman itu menjadi pengetahuan-pengetahuan gres untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan yang baru.

Pada ketika berakhirnya zaman es sekitar 12.000 tahun yang lalu, menimbulkan perubahan besar dalam banyak sekali hal.

Kenaikan muka maritim yang dratis mendorong penduduk di Kepulauan Indonesia melaksanakan persebaran ke banyak sekali arah.

Persebaran mereka ini juga telah merubah peta hunian mereka. Kondisi alam yang ketika itu mendukung, semakin meyakinkan mereka untuk menetap di tempat hunian yang gres itu.

Alam tropis dengan biodiversitasnya menyediakan kebutuhan hidup sehingga populasi terus meningkat. Para jago menggolongkan mereka sebagai Ras Australomelanesid. Mereka kemudian hidup menyebar ke guagua.

Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan nenek moyang kita ini juga semakin meningkat.

Teknologi untuk mempermudah kehidupan mereka juga semakin berkembang. Peralatan dari kerikil semakin beragam, peralatan dari materi organik pun semakin berkembang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Keanekaragaman dalam peralatan insan pada ketika itu semakin mendorong produktivitas hingga semakin membawa kemajuan dalam banyak sekali bidang.

Kemajuan dalam bidang seni pada ketika itu ditandai dengan lukisan-lukisan cadas yang terdapat di dinding gua-gua yang memanifestasikan kekayaan alam pikiran.

Kepercayaan pada kehidupan sehabis mati juga terkonsepsi dalam sikap kubur terhadap orang yang meninggal.

Kemudian pada sekitar 4000 – 3000 tahun yang lalu, Kepulauan Indonesia kedatangan orang-orang baru.

Mereka ini membawa budaya gres yang seringkali disebut dengan budaya Neolitik. Budaya ini sering dicirikan dengan kehidupan yang menetap dan domestikasi binatang dan tanaman.

Pendatang yang berbicara dengan tutur Austronesia ini diperkirakan tiba dari Taiwan dengan kedatangan awal Sulawesi juga kemungkinan Kalimantan.

Dari sinilah mereka kemudian menyebar ke banyak sekali pelosok Kepulauan Nusantara. Pendatang yang lain sepertinya berasal dari Asia Tenggara Daratan. Mereka memakai bahasa Austroasiatik.

Mereka ini sanggup mencapai Kepulauan Nusantara pecahan barat melalui Malaysia. Teori inilah yang seringkali oleh para jago disebut sebagai teori Out of Taiwan.

Pertemuan para pendatang ini dengan populasi Australomelanesia pun tak sanggup dielakkan, sehingga terjadi kohabitasi.

Adaptasi dan interaksi diantara sesama pun terjadi hingga mereka melaksanakan perkawinan campuran. Interaksi budaya dan dalam beberapa hal silang genetika pun tak sanggup dihindari.

Proses interaksi yang berlanjut memperlihatkan keturunan Ras Australomelanesid yang kini lebih dikenal sebagai populasi Melanesia.

Pendapat Harry Truman tersebut dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati Sudoyo.

Dalam studi genetika terbaru memperlihatkan bahwa, genetika insan Indonesia ketika ini kebanyakan ialah campuran, berasal dari dua atau lebih populasi moyang. Secara gradual, presentasi genetikan Austronesia lebih lebih banyak didominasi di pecahan timur Indonesia.

Sekalipun kecil porsinya, genetika Papua ada hampir di seluruh wilayah pecahan barat Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa di masa kemudian terjadi percampuran genetika dibandingkan penggantian populasi.

Demikian pula dari sudut penggunaan bahasa, Kepulauan Indonesia yang mempunyai lebih dari 700 etnis, dengan 706 bahasa daerah sanggup digolongkan dalam dua bagian, yaitu penutur Austronesia dan non-Austronesia atau lebih sering disebut sebagai Papua.

Multamia RMT Lauder menjelaskan bahwa telah terjadi pinjam-meminjam leksikal antara bahasa-bahasa non-Austronesia dengan Austronesia. Diperkirakan lebih dari 30 % dari semua bahasa yang hidup ketika ini ialah bahasa Non-Austronesia.

Rumpun bahasa Austronesia cenderung ditemukan di daerah pesisir, tetapi ini tidak selalu. Bahasa Austronesia juga sanggup ditemukan di daerah pedalaman Papua Nugini.

Gambaran itu memperlihatkan adanya pola migrasi yang kompleks tetapi jelas, yaitu dari barat ke timur.

Berdasarkan data itu nyatalah bahwa kekerabatan Austronesia dan Non-Austronesia bagaikan sebuah kain tenun yang benang-benangnya saling terjalin indah.

Dalam buku Indonesia Dalam Arus Sejarah, Jilid I diterangkan ihwal pola hunian insan purba yang memperlihatkan dua karakter khas hunian purba yaitu, (1) kedekatan dengan sumber air dan (2) kehidupan di alam terbuka.

Pola hunian itu sanggup dilihat dari letak geografis situs-situs serta kondisi lingkungannya.

Beberapa rujukan yang memperlihatkan pola hunian mirip itu ialah situs-situs purba di sepanjang aliran Bengawan Solo (Sangiran, Sambungmacan, Trinil, Ngawi, dan Ngandong) merupakan contoh
-contoh dari adanya kecenderungan insan purba menghuni lingkungan di pinggir sungai.

Kondisi itu sanggup dipahami mengingat keberadaan air memperlihatkan bermacam-macam manfaat. Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Air juga diharapkan oleh tumbuhan maupun binatang. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya banyak sekali binatang untuk hidup di sekitarnya.

Begitu pula dengan tumbuh-tumbuhan, air memperlihatkan kesuburan bagi tanaman.

Keberadaan air juga dimanfaatkan insan sebagai sarana penghubung dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui sungai, insan sanggup melaksanakan mobilitas dari satu tempat ke tempat yang lainnya.

2. Dari Berburu-Meramu hingga Bercocok Tanam 
Mencermati hasil penelitian baik yang berwujud fosil maupun artefak lainnya, diperkirakan insan zaman praaksara mula-mula hidup dengan cara berburu dan meramu.

Hidup mereka umumnya masih tergantung pada alam.

Untuk mempertahankan hidupnya mereka menerapkan pola hidup nomaden atau berpindah-pindah tergantung dari materi masakan yang tersedia. Alat-alat yang dipakai terbuat dari kerikil yang masih sederhana.

Hal ini terutama berkembang pada insan Meganthropus dan Pithecanthropus. Tempat-tempat yang dituju oleh komunitas itu umumnya lingkungan bersahabat sungai, danau, atau sumber air lainnya termasuk di daerah pantai.

Mereka beristirahat contohnya di bawah pohon besar. Mereka juga menciptakan atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daunan.

Masa insan purba berburu dan meramu itu sering disebut dengan masa food gathering. Mereka hanya mengumpulkan dan menyeleksi masakan lantaran belum sanggup mengusahakan jenis tumbuhan untuk dijadikan materi makanan.

Dalam perkembangannya mulai ada sekelompok insan purba yang bertempat tinggal sementara, contohnya di gua-gua, atau di tepi pantai.

Peralihan Zaman Mesolitikum ke Neolitikum menandakan adanya revolusi kebudayaan dari food gathering menuju food producing dengan Homo sapien sebagai pendukungnya.

Mereka tidak hanya mengumpulkan masakan tetapi mencoba memproduksi masakan dengan menanam.

Kegiatan bercocok tanam dilakukan ketika mereka sudah mulai bertempat tinggal, walaupun masih bersifat sementara. Mereka melihat biji-bijian sisa masakan yang tumbuh di tanah setelah tersiram air hujan.

Pelajaran inilah yang kemudian mendorong insan purba untuk melaksanakan cocok tanam. Apa yang mereka lakukan di sekitar tempat tinggalnya, usang kelamaan tanah di sekelilingnya habis, dan mengharuskan pindah. mencari tempat yang sanggup ditanami.

Ada yang membuka hutan dengan menebang pohon-pohon untuk membuka lahan bercocok tanam. Waktu itu juga sudah ada pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Bagaimana pendapat kau ihwal hal ini dan kira-kira apa bedanya dengan pembakaran hutan yang dilakukan oleh insan modern kini ini?

Kegiatan insan bercocok tanam terus mengalami perkembangan. Peralatan pokoknya ialah jenis kapak persegi dan kapak lonjong.

Kemudian berkembang ke alat lain yang lebih baik. Dengan dibukanya lahan dan tersedianya air yang cukup maka terjadilah persawahan untuk bertani.

Hal ini berkembang lantaran ketika itu, yakni sekitar tahun 2000 – 1500 S.M ketika mulai terjadi perpindahan orang-orang dari rumpun bangsa Austronesia dari Yunnan ke Kepulauan Indonesia.

Begitu juga kegiatan beternak juga mengalami perkembangan. Seiring kedatangan orangorang dari Yunan yang kemudian dikenal sebagai nenek moyang kita itu, maka kegiatan pelayaran dan perdagangan mulai dikenal.

Dalam waktu singkat kegiatan perdagangan dengan sistem tukar barang mulai berkembang. Kegiatan bertani juga semakin berkembang lantaran mereka sudah mulai bertempat tinggal menetap.

3. Sistem Kepercayaan
Sebagai insan yang beragama tentu kau sering mendengarkan ceramah dari guru maupun tokoh agama.

Dalam ceramah-ceramah tersebut sering dikatakan bahwa hidup hanya sebentar sehingga dilarang berbuat menentang fatwa agama, contohnya dilarang menyakiti orang lain, dilarang rakus, bahkan melaksanakan tindak korupsi yang merugikan negara dan orang lain.

Karena itu dalam hidup ini insan harus bekerja keras dan berbuat sebaik mungkin, saling menolong.

Kita semua mestinya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa bila berbuat dosa lantaran melanggar perintah agama, atau menyakiti orang lain.

Nenek moyang kita mengenal kepercayaan kehidupan setelah mati. Mereka percaya pada kekuatan lain yang maha berpengaruh di luar dirinya.

Mereka selalu menjaga diri biar setelah mati tetap dihormati. Berikut ini kita akan menelaah sistem kepercayaan insan zaman praaksara, yang menjadi nenek moyang kita.

Perwujudan kepercayaannya dituangkan dalam banyak sekali bentuk diantaranya karya seni. Satu di antaranya berfungsi sebagai bekal untuk orang yang meninggal.

Tentu kau masih ingat ihwal embel-embel yang dipakai sebagai bekal kubur. Seiring dengan bekal kubur ini, pada zaman purba insan mengenal penguburan mayat.

Pada ketika inilah insan mengenal sistem kepercayaan. Sebelum meninggal insan menyiapkan dirinya dengan menciptakan banyak sekali bekal kubur, dan juga tempat penguburan yang menghasilkan karya seni cukup cantik pada masa sekarang.

Untuk itulah kita mengenal dolmen, sarkofagus, menhir dan lain sebagainya.

Masyarakat zaman praaksara terutama periode zaman Neolitikum sudah mengenal sistem kepercayaan. Mereka sudah memahami adanya kehidupan setelah mati.

Mereka meyakini bahwa roh seseorang yang telah meninggal akan hidup di alam lain.

Oleh lantaran itu, roh orang yang sudah meninggal akan senantiasa dihormati oleh sanak kerabatnya.

Terkait dengan itu maka kegiatan ritual yang paling menonjol ialah upacara penguburan orang meninggal.

Dalam tradisi penguburan ini, mayat orang yang telah meninggal dibekali banyak sekali benda dan peralatan kebutuhan sehari-hari, contohnya barang-barang perhiasan, periuk dan lain-lain yang dikubur bersama mayatnya.

Hal ini dimaksudkan biar perjalanan arwah orang yang meninggal selamat dan terjamin dengan baik.

Dalam upacara penguburan ini semakin kaya orang yang meninggal maka upacaranya juga semakin mewah. Barangbarang berharga yang ikut dikubur juga semakin banyak.

Selain upacara-upacara penguburan, juga ada upacaraupacara pesta untuk mendirikan bangunan suci.

Mereka percaya insan yang meninggal akan mendapat kebahagiaan bila mayatnya ditempatkan pada susunan batu-batu besar, contohnya pada peti kerikil atau sarkofagus.

Batu-batu besar ini menjadi lambang pemberian bagi insan yang berbudi luhur juga memberi peringatan bahwa kebaikan kehidupan di alam abadi hanya akan sanggup dicapai sesuai dengan perbuatan baik selama hidup di dunia.

Hal ini sangat tergantung pada kegiatan upacara kematian yang pernah dilakukan untuk menghormati leluhurnya.

Oleh lantaran itu, upacara kematian merupakan manifestasi dari rasa bakti dan hormat seseorang terhadap leluhurnya yang telah meninggal. Sistem kepercayaan masyarakat praaksara yang demikian itu telah melahirkan tradisi megalitik (zaman megalitikum = zaman kerikil besar).

Mereka mendirikan bangunan batu-batu besar mirip menhir, dolmen, punden berundak, dan sarkofagus.

Pada zaman praaksara, seorang sanggup dilihat kedudukan sosialnya dari cara penguburannya. Bentuk dan materi wadah kubur sanggup dipakai sebagai petunjuk status sosial seseorang.

Penguburan dengan sarkofagus misalnya, memerlukan jumlah tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan penguburan tanpa wadah.

Dengan kata lain, pengelolaan tenaga kerja juga sering dipakai sebagai indikator stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat.

 Sistem kepercayaan dan tradisi kerikil besar mirip dijelaskan di atas, telah mendorong berkembangnya kepercayaan animisme.

Kepercayaan animisme merupakan sebuah sistem kepercayaan yang memuja roh nenek moyang. Di samping animisme, muncul juga kepercayaan dinamisme.

Menurut kepercayaan dinamisme ada benda-benda tertentu yang diyakini mempunyai kekuatan gaib, sehingga benda itu sangat dihormati dan dikeramatkan.

Seiring dengan perkembangan pelayaran, masyarakat zaman praaksara selesai juga mulai mengenal sedekah laut. Sudah barang tentu kegiatan upacara ini lebih banyak dikembangkan di kalangan para nelayan.

Bentuknya mungkin semacam selamatan apabila ingin berlayar jauh, atau mungkin ketika memulai pembuatan perahu. Sistem kepercayaan nenek moyang kita ini hingga kini masih sanggup kita temui dibeberapa daerah

Perlu kau ketahui bahwa sekalipun belum mengenal goresan pena insan purba sudah berbagi kebudayaan dan teknologi.

Teknologi waktu itu bermula dari teknologi bebatuan yang dipakai sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan.

Dalam praktiknya peralatan atau teknologi bebatuan tersebut sanggup berfungsi serba guna. Pada tahap paling awal alat yang dipakai masih bersifat kebetulan dan seadanya serta bersifat trial and error.

Mula-mula mereka hanya memakai benda-benda dari alam terutama batu. Teknologi bebatuan pada zaman ini berkembang dalam kurun waktu yang begitu panjang.

Oleh lantaran itu, para jago kemudian membagi kebudayaan zaman kerikil di era praaksara ini menjadi beberapa zaman atau tahap perkembangan.

Dalam buku R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I, dijelaskan bahwa kebudayaan zaman kerikil ini dibagi menjadi tiga yaitu, Paleolitikum, Mesolitikum dan Neolitikum

Peralatan pertama yang dipakai oleh insan purba ialah alat-alat dari kerikil yang seadanya dan juga dari tulang. Peralatan ini berkembang pada zaman Paleolitikum atau zaman kerikil tua.

Zaman kerikil renta ini bertepatan dengan zaman Neozoikum terutama pada kiamat Tersier dan awal zaman Kuarter. Zaman ini berlangsung sekitar 600.000 tahun yang lalu.

Zaman ini merupakan zaman yang sangat penting lantaran terkait dengan munculnya kehidupan baru, yakni munculnya jenis insan purba.

Zaman ini dikatakan zaman kerikil renta lantaran hasil kebudayaan terbuat dari kerikil yang relatif masih sederhana dan kasar.

Kebudayaan zaman Paleolitikum ini secara umum ini terbagi menjadi Kebudayaan Pacitan dan Kebudayaan Ngandong.

a. Kebudayaan Pacitan 
Kebudayaan ini berkembang di daerah Pacitan, Jawa Timur. Beberapa alat dari kerikil ditemukan di daerah ini.

Seorang ahli, von Koeningwald dalam penelitiannya pada tahun 1935 telah menemukan beberapa hasil teknologi bebatuan atau alat-alat dari kerikil di Sungai Baksoka bersahabat Punung.

Alat kerikil itu masih kasar, dan bentuk ujungnya agak runcing, tergantung kegunaannya. Alat kerikil ini sering disebut dengan kapak genggam atau kapak perimbas.

Kapak ini dipakai untuk menusuk binatang atau menggali tanah ketika mencari umbi-umbian. Di samping kapak perimbas, di Pacitan juga ditemukan alat kerikil yang disebut dengan chopper sebagai alat penetak.

Di Pacitan juga ditemukan alat-alat serpih. Alat-alat itu oleh Koenigswald digolongkan sebagai alatalat “paleolitik”, yang bercorak “Chellean”, yakni suatu tradisi yang berkembang pada tingkat awal paleolitik di Eropa. Pendapat Koenigswald ini kemudian dianggap kurang tepat.

setelah Movius berhasil menyatakan temuan di Punung itu sebagai salah satu corak perkembangan kapak perimbas di Asia Timur.

Tradisi kapak perimbas yang ditemukan di Punung itu kemudian dikenal dengan nama “Budaya Pacitan”.

Budaya itu dikenal sebagai tingkat perkembangan budaya kerikil awal di Indonesia. Kapak perimbas itu tersebar di wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, dan Timor.

Daerah Punung merupakan daerah yang terkaya akan kapak perimbas dan hingga ketika ini merupakan tempat penemuan terpenting di Indonesia.

Pendapat para jago condong kepada jenis insan Pithecanthropus atau keturunan-keturunannya sebagai pencipta budaya Pacitan.

Pendapat ini sesuai dengan pendapat ihwal umur budaya Pacitan yang diduga dari tingkat selesai Plestosin Tengah atau awal permulaan Plestosin Akhir.

b. Kebudayaan Ngandong 
Kebudayaan Ngandong berkembang di daerah Ngandong dan juga Sidorejo, bersahabat Ngawi. Di daerah ini banyak ditemukan alat-alat dari kerikil dan juga alat-alat dari tulang.

Alat-alat dari tulang ini berasal dari tulang binatang dan tanduk rusa yang diperkirakan dipakai sebagai penusuk atau belati. Selain itu, ditemukan juga alat-alat mirip tombak yang bergerigi.

Di Sangiran juga ditemukan alat-alat dari batu, bentuknya indah mirip kalsedon. Alatalat ini sering disebut dengan flakes.

Sebaran artefak dan peralatan paleolitik cukup luas semenjak dari daerah-daerah di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Halmahera.


Zaman kerikil terus berkembang memasuki zaman kerikil madya atau kerikil tengah yang dikenal zaman Mesolitikum. Hasil kebudayaan kerikil madya ini sudah lebih maju apabila dibandingkan hasil kebudayaan zaman Paleolitikum (batu tua).

Sekalipun demikian, bentuk dan hasil-hasil kebudayaan zaman Paleolitikum tidak serta merta punah tetapi mengalami penyempurnaan.

Bentuk flakes dan alat-alat dari tulang terus mengalami perkembangan. Secara garis besar kebudayaan Mesolitikum ini terbagi menjadi dua kelompok besar yang ditandai lingkungan tempat tinggal, yakni di pantai dan di gua.

a. Kebudayaan Kjokkenmoddinger. 
Kjokkenmoddinger istilah dari bahasa Denmark, kjokken berarti dapur dan modding sanggup diartikan sampah (kjokkenmoddinger = sampah dapur).

Dalam kaitannya dengan budaya manusia, kjokkenmoddinger merupakan tumpukan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh hingga Medan.

Dengan kjokkenmoddinger ini sanggup memberi isu bahwa insan purba zaman Mesolitikum umumnya bertempat tinggal di tepi pantai.

Pada tahun 1925 Von Stein Callenfels melaksanakan penelitian di bukit kerang itu dan menemukan jenis kapak genggam (chopper) yang berbeda dari chopper yang ada di zaman Paleolitikum.

Kapak genggam yang ditemukan di bukit kerang di pantai Sumatra Timur ini diberi nama pebble atau lebih dikenal dengan Kapak Sumatra. Kapak jenis pebble ini terbuat dari kerikil kali yang pecah, sisi luarnya dibiarkan begitu saja dan sisi pecahan dalam dikerjakan sesuai dengan keperluannya.

Di samping kapak jenis pebble juga ditemukan jenis kapak pendek dan jenis kerikil pipisan (batu-batu alat penggiling). Di Jawa kerikil pipisan ini umumnya untuk menumbuk dan menghaluskan jamu.

b. Kebudayaan Abris Sous Roche 
Kebudayaan abris sous roche merupakan hasil kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Hal ini mengindikasikan bahwa insan purba pendukung kebudayaan ini tinggal di gua-gua.

Kebudayaan ini pertama kali dilakukan penelitian oleh Von Stein Callenfels di Gua Lawa bersahabat Sampung, Ponorogo. Penelitian dilakukan tahun 1928 hingga 1931.

Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan contohnya ujung panah, flakes, kerikil penggilingan. Juga ditemukan alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.

Kebudayaan abris sous roche ini banyak ditemukan contohnya di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan mirip di Lamoncong.


Bagi insan purba, proses penemuan api merupakan bentuk penemuan yang sangat penting. Berdasarkan data arkeologi, penemuan api kira-kira terjadi pada 400.000 tahun yang lalu. Penemuan pada periode insan Homo erectus.

Api dipakai untuk menghangatkan diri dari cuaca dingin. Dengan api kehidupan menjadi lebih bervariasi dan banyak sekali kemajuan akan dicapai. Teknologi api sanggup dimanfaatkan insan untuk banyak sekali hal.

Di samping itu penemuan api juga memperkenalkan insan pada teknologi memasak makanan, yaitu memasak dengan cara membakar dan memakai bumbu dengan ramuan tertentu. Manusia juga memakai api sebagai senjata.
Api pada ketika itu dipakai insan untuk menghalau binatang buas yang menyerangnya. Api sanggup juga dijadikan sumber penerangan.

Melalui pembakaran pula insan sanggup menaklukkan alam, mirip membuka lahan untuk garapan dengan cara membakar hutan. Kebiasaan bertani dengan menebang kemudian bakar (slash and burn) ialah kebiasaan kuno yang tetap berkembang hingga sekarang.

Pada awalnya pembuatan api dilakukan dengan cara membenturkan dan menggosokkan benda halus yang simpel terbakar dengan benda padat lain.

Sebuah kerikil yang keras, contohnya kerikil api, bila dibenturkan ke batuan keras lainnya akan menghasilkan percikan api.

Percikan tersebut kemudian ditangkap dengan dedaunan kering, lumut atau material lain yang kering hingga menimbulkan api.

Pembuatan api juga sanggup dilakukan dengan menggosok suatu benda terhadap benda lainnya, baik secara berputar, berulang, atau bolak-balik.

Sepotong kayu keras misalnya, bila digosokkan pada kayu lainnya akan menghasilkan panas lantaran tabrakan itu kemudian menimbulkan api. Penelitian-penelitian arkeologi di Indonesia sejauh ini belum menemukan sisa pembakaran dari periode ini.

Namun bukan berarti insan purba di kala itu belum mengenal api. Sisa api yang tertua ditemukan di Chesowanja, Tanzania, dari sekitar 1,4 juta tahun lalu, yaitu berupa tanah liat kemerahan bersama dengan sisa tulang binatang.

Akan tetapi belum sanggup dipastikan apakah insan purba menciptakan api atau mengambilnya dari sumber api alam (kilat, acara vulkanik, dll).

Hal yang sama juga ditemukan di China (Yuanmao, Xihoudu, Lantian), di mana sisa api berusia sekitar 1 juta tahun lalu. Namun belum sanggup dipastikan apakah itu api alam atau buatan manusia.

Teka-teki ini masih belum sanggup terpecahkan, sehingga belum dipastikan apakah bekas tungku api di Tanzania dan Cina itu merupakan hasil buatan insan atau pengambilan dari sumber api alam.


Perkembangan zaman kerikil yang sanggup dikatakan paling penting dalam kehidupan insan ialah zaman kerikil gres atau neolitikum.

Pada zaman neolitikum yang juga sanggup dikatakan sebagai zaman kerikil muda. Pada zaman ini telah terjadi “revolusi kebudayaan”, yaitu terjadinya perubahan pola hidup manusia.

Pola hidup food gathering digantikan dengan pola food producing. Hal ini seiring dengan terjadinya perubahan jenis pendukung kebudayannya. Pada zaman ini telah hidup jenis Homo sapiens sebagai pendukung kebudayaan zaman kerikil baru.

Mereka mulai mengenal bercocok tanam dan beternak sebagai proses untuk menghasilkan atau memproduksi materi makanan.

Hidup bermasyarakat dengan bergotong royong mulai dikembangkan. Hasil kebudayaan yang terkenal di zaman neolitikum ini secara garis besar dibagi menjadi dua tahap perkembangan.

a. Kebudayaan Kapak Persegi 
Nama kapak persegi berasal dari penyebutan oleh von Heine Geldern. Penamaan ini dikaitkan dengan bentuk alat tersebut. Kapak persegi ini berbentuk persegi panjang dan ada juga yang berbentuk trapesium.

Ukuran alat ini juga bermacam-macam. Kapak persegi yang besar sering disebut dengan beliung atau pacul (cangkul), bahkan sudah ada yang diberi tangkai sehingga persis mirip cangkul zaman sekarang. Sementara yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah.

Penyebaran alat-alat ini terutama di Kepulauan Indonesia pecahan barat, mirip Sumatra, Jawa dan Bali.

Diperkirakan sentra-sentra teknologi kapak persegi ini ada di Lahat (Palembang), Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya (Jawa Barat), kemudian Pacitan-Madiun, dan di Lereng Gunung Ijen (Jawa Timur). Yang menarik, di Desa Pasirkuda bersahabat Bogor juga ditemukan kerikil asahan. Kapak persegi ini cocok sebagai alat pertanian.

b. Kebudayaan Kapak Lonjong 
Nama kapak lonjong ini diubahsuaikan dengan bentuk penampang alat ini yang berbentuk lonjong. Bentuk keseluruhan alat ini lonjong mirip bulat telur.

Pada ujung yang lancip ditempatkan tangkai dan pada pecahan ujung yang lain diasah sehingga tajam.

Kapak yang ukuran besar sering disebut walzenbeil dan yang kecil dinamakan kleinbeil. Penyebaran jenis kapak lonjong ini terutama di Kepulauan Indonesia pecahan timur, contohnya di daerah Papua, Seram, dan Minahasa.

Pada zaman Neolitikum, di samping berkembangnya jenis kapak kerikil juga ditemukan barang-barang perhiasan, mirip gelang dari batu, juga alat-alat gerabah atau tembikar.

Perlu kau ketahui bahwa insan purba waktu itu sudah mempunyai pengetahuan ihwal kualitas bebatuan untuk peralatan.

Penemuan dari banyak sekali situs memperlihatkan materi yang paling sering dipergunakan ialah jenis batuan kersikan (silicified stones), mirip gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper.

Gerabah Jenis-jenis batuan ini di samping keras, sifatnya yang retas dengan pecahan yang cenderung tajam dan tipis, sehingga memudahkan pengerjaan.

Di beberapa situs yang mengandung fosil-fosil kayu, mirip di Kali Baksoka (Jawa Timur) dan Kali Ogan (Sumatra Selatan) tampak ada upaya pemanfaatan fosil untuk materi peralatan.

Pada ketika lingkungan tidak menyediakan materi yang baik, ada kecenderungan untuk memanfaatkan batuan yang tersedia di sekitar hunian, walaupun kualitasnya kurang baik.

Contoh semacam ini sanggup diamati pada situs Kedunggamping di sebelah timur Pacitan, Cibaganjing di Cilacap, dan Kali Kering di Sumba yang pada umumnya memakai materi andesit untuk peralatan.

c. Perkembangan Zaman Logam 
Mengakhiri zaman kerikil masa Neolitikum maka dimulailah zaman logam. Sebagai bentuk masa perundagian.

Zaman logam di Kepulauan Indonesia ini agak berbeda bila dibandingkan dengan yang ada di Eropa.

Di Eropa zaman logam ini mengalami tiga fase, zaman tembaga, perunggu dan besi. Di Kepulauan Indonesia hanya mengalami zaman perunggu dan besi. Zaman perunggu merupakan fase yang sangat penting dalam sejarah.

Beberapa rujukan bendabenda kebudayaan perunggu itu antara lain: kapak corong, nekara, moko, banyak sekali barang perhiasan. Beberapa benda hasil kebudayaan zaman logam ini juga terkait dengan praktik keagamaan contohnya nekara.


Menurut Kostof, arsitektur telah mulai ada pada ketika insan bisa mengolah lingkungan hidupnya.

Pembuatan gejala di alam yang membentang tak terhingga itu untuk membedakan dengan wilayah lainnya.

Tindakan untuk menciptakan tanda pada suatu tempat itu sanggup dikatakan sebagai bentuk awal dari arsitektur.

Pada ketika itu insan sudah mulai merancang sebuat tempat. Bentuk arsitektur pada masa praaksara sanggup dilihat dari tempat hunian insan pada ketika itu. Mungkin kita sulit membayangkan atau menyimpulkan bentuk rumah dan bangunan yang berkembang pada masa praaksara ketika itu.

Dari pola mata pencaharian insan yang sudah mengenal berburu dan melaksanakan pertanian sederhana dengan ladang berpindah memungkinkan adanya pola pemukiman yang telah menetap.

Gambar-gambar dinding goa tidak hanya mencerminkan kehidupan seharihari, tetapi juga kehidupan spiritual. Cap-cap tangan dan lukisan di goa yang banyak ditemukan di Papua, Maluku, dan Sulawesi Selatan dikaitkan dengan ritual penghormatan atau pemujaan nenek moyang, kesuburan, dan inisiasi.

Gambar dinding yang tertera pada goa-goa mengambarkan pada jenis binatang yang diburu atau binatang yang dipakai untuk membantu dalam perburuan.

Anjing ialah binatang yang dipakai oleh insan praaksara untuk berburu binatang.

Bentuk pola hunian dengan memakai penadah angin, menghasilkan pola menetap pada insan masa itu.

Pola hunian itu hingga ketika ini masih dipakai oleh Suku Bangsa Punan yang tersebar di Kalimantan. Bentuk hunian itu merupakan pecahan bentuk awal arsitektur di luar tempat hunian di goa.

Secara sederhana penadah angin merupakan suatu konsep tata ruangan yang memperlihatkan secara implisit memperlihatkan batas ruang.

Pada kehidupan dengan masyarakat berburu yang masih sangat tergantung pada alam, mereka lebih mengikut ritme dan bentuk geografis alam.

Dengan demikian konsep ruang mereka masih kurang bersifat geometris teratur.

Pola garis lengkung tak teratur mirip aliran sungai, dan pola spiral mirip route yang ditempuh mungkin ialah gambaran pola ruang utama mereka. Ruang demikian belum mengutamakan arah utama.

Secara sederhana dapatlah kita lihat bahwa, pada masa praaksara konsep tata ruang, atau yang ketika ini kita kenal dengan arsitektur itu sudah mereka kenal

Related : Sejarah Indonesia X Penggalan 1 Menelusuri Peradaban Awal Di Kepulauan Indonesia

0 Komentar untuk "Sejarah Indonesia X Penggalan 1 Menelusuri Peradaban Awal Di Kepulauan Indonesia"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)