Pangeran Putu dan Putri Wajan (Dimuat di Tanjung Pinang Pos Edisi 18 Desember 2016)




Dalam sebuah nyanyian dangdut, cinta diibaratkan hidup seseorang. Di mana setiap orang pasti memiliki cinta, jika tidak pasti hidupnya itu tak berarti. Hidup tak berarti sama saja dengan taman yang tak memiliki bunga.
            Entah mengapa, aku begitu bingung jika harus mengibaratkan cinta yang bersarang dalam diri. Atau karena pujaan hati tak pantas dimiliki. Untuk menghentikan kebingunganku, aku pun memutuskan melihat tayangan di salah satu infotaiment yang menceritakan tentang kisah cinta Judika dan Duma Riris yang sangat berliku. Di mana pasangan selebritis sebelum memutuskan menikah. Hubungan mereka ditolak oleh keluarga. Bahkan untuk mengekspresikan hal tersebut, Judika membuat lagu berjudul Mama Papa Larang. Namun, kini hubungan mereka pun sebentar lagi akan diikat oleh tali suci pernikahan. Ah. Begitu indahnya.
            Dan yang paling penting, Judika pun membuat lagu untuk Duma Riris berjudul Sampai Akhir. Sungguh. Romantis parah.
            Bagaimana denganku ya?
            Ah? Bisakah romantis?
            Di tengah kondisi yang kritis?
            “Cepat jual putunya, Nak. Pelangganmu nanti nyari. Kok malah lihat tivi!” Ibu membuyarkan lamunanku.
            Sejurus kemudian. Aku langsung mematikan tayangan televisi. Dan benar. Belum sampai seratus meter berkeliling menjajakan kue putu. Tampak banyak sekali pelanggan yang menanti kedatanganku.
            “Sam ...,” sapa seorang pelanggan bertubuh gempal.
            Wajahnya yang sedikit keibuan itu sejenak mengalikan perhatianku. Ada apa? Kok tidak seperti biasa, ada pelanggan yang memerhatikanku dengan tak biasa.
            “Dicari Bapak-nya Putri tuh.” Ucapnya membuatku menahan ludah.
            “Emang ada apa ya, Bu?” tanyaku, bingung.
            “Ya.. elah, siapa sih yang nggak tahu hubungan kalian berdua. Apalagi Bapak-nya Putri.”
            “Terus?” jawabku, masih sedikit bingung.
            “Ya. Cepat. Temui, kali aja ada yang penting.” Ucap Ibu tersebut, lalu berlalu dari pandanganku.
            Ah. Ada apa? Mengapa harus Bapak Putri memanggilku? Bukankah sudah banyak pemuda yang dipanggil oleh pemilik perusahaan wajan itu dan berakhir dengan air mata tatkala pulang dari istananya.
            Tidak! Aku tak boleh takut.
            Putri juga tak hilang akal. Ia pun mengirimi sms motivasi padaku.
            “Tidak ada apa-apa, Sayang. Bapak menunggu. Ayo!”
            Terbayang dalam pikiranku jika yang mengirim SMS barusan bukan Putri melainkan seseorang yang mengatasnamakan Putri. Dengan SMS itu, membuat aku berani bertemu dengan lelaki pemimpin perusahaan wajan itu. Dan tentu, sesampainya di istana mereka. Aku akan dibuat nangis bombay.
            Bukankah itu seperti adegan klise di sinetron-sinetron di layar kaca?
            Cinta terlarang?
            Beda status? Agama? Dan lainnya?
            Belum lagi dalam novel-novel, banyak sekali cinta terlarang yang berakhir sad ending.
            Tiba-tiba, entah malaikat atau setan, kumendengar suara seperti bisikan kecil yang menyatakan kalau aku harus menemui orangtua Putri. Ya. Harus.
            Lima belas menit berlalu, rumah Putri berada di depan mata. Kaki ingin melangkah, namun hati menahan beberapa langkah. Ah. Mana bisa? Lelaki kok tak memiliki kepastian dalam derap langkah kaki? Aneh!
            “Sam.” Putri memanggilku.
            Bagaimana bisa dia mengetahui aku berada di dekat rumahnya. Atau karena aroma tubuhku yang tercium sempurna. Bukankah ini suatu kegilaan saja. Aku pun tak memiliki banyak alibi lagi, dengan rasa terpaksa bercampur takut, aku melangkah di belakang Putri.
            Bapak Putri menyambut kami dengan senyum tak biasa.
            “Silakan duduk, Sam.” Pinta Bapak Putri.
            Aku pun duduk dengan kaki gemetar tiada tara.
            “Sejauh mana hubungan kalian?” tanya bapak Putri penuh selidik.
            “Hubungan kami, ya kami bersahabat sangat dekat, Pak.” Jawabku, entah mengapa aku risih jika menyatakan kami berpacaran. Bukankah pacaran itu terdengar asing di kalangan orang tua.
            “Saya sih, tidak pernah melarang. Putri mau berhubungan dengan siapa. Tapi yang terpenting, kalian tahu batas.”
            Aku menggangguk-angguk tak mengerti.
            “Tapi, jika kamu benar-benar serius dengan Putri. Ya, saya tunggu kamu lepas wisuda ini. Dan satu lagi.” Suara Bapak Putri menggantung beberapa kata yang membuatku bertambah penasaran.
            “Buatkan novel untuk Putri sebagai aksesoris pernikahan nantinya. Bukankah selain kamu jualan putu, juga seorang penulis meski amatiran sih.”
            Aku menggangguk menyanggupi. Bukankah cerpen-cerpen tentang Putri telah banyak tertulis dan banyak butuh beberapa halaman lagi untuk menyambungnya dan menjadikan sebuah novel.
            “Sebagai saran bagaimana kalau judulnya Pangeran Putu dan Putri Wajan.” Kata Bapak Putri membuatku ingin tertawa terpingkal-pingkal.

Related : Pangeran Putu dan Putri Wajan (Dimuat di Tanjung Pinang Pos Edisi 18 Desember 2016)

0 Komentar untuk "Pangeran Putu dan Putri Wajan (Dimuat di Tanjung Pinang Pos Edisi 18 Desember 2016)"

DUKUNG KAMI

SAWER Ngopi Disini.! Merasa Terbantu Dengan artikel ini? Ayo Traktir Kopi Dengan Cara Berbagi Donasi. Agar Kami Tambah Semangat. Terimakasih :)