FILSUF DAN SENI
Kant dan Hegel ialah dua filsuf raksasa yang gagasan keduanya tetap menjadi materi perdebatan yang sangat memilih perkembangan filsafat modern. Perbedaan pandangan di antara kedua filsuf ini, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para pengikut masing-masing, meliputi hampir semua bidang filsafat: epistemologi, ontologi, politik, teologi, adat dan tentu saja seni. Para komentator umumnya setuju bahwa kedua filsuf ini sangat memilih diskusi teoretis mengenai seni zaman modern. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan menyampaikan bahwa diskusi itu tetap berkisar antara penolakan atau penerimaan salah satu di antara keduanya atau pengkombinasian kedua-duanya.
Paling tidak ada tiga gagasan utama filsafat seni Hegel yang kemudian sangat mempengaruhi teori sesudahnya, terutama Marxis-Hegelian dan variannya, yakni pertama, seni mengandung perspektif historis—berbeda dari Kant yang menganggap seni otonom dari dimensi eksternal, kedua, analisa seni harus terfokus pada karya seni itu sendiri—berbeda dari Kant yang terfokus pada penikmat seni, dan ketiga, seni merupakan artikulasi Ide atau Kebenaran secara indriawi—Kant tidak bicara mengenai “isi” karya seni. Butir pertama dan ketiga terlihat terang dalam konsepsi seni para filsuf menyerupai Marx, Engels, Georg Lukacs, Lucien Goldmann, Adorno dan Benjamin yang menganggap seni sebagai artikulasi kesadaran historis tertentu, baik berupa kepentingan kelas, ideologi, keyakinan filosofis maupun pandangan dunia (Weltanschauung). Dengan konsep realisme sosialisnya, Lukacs menyampaikan bahwa seni tidak sanggup dipahami terlepas dari konteks sosio-historisnya. Sementara Benjamin, Marcuse dan Adorno berbicara mengenai karya seni yang bisa menjadi sarana kritik sosial dengan menyingkapkan ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat.
Hegel menyampaikan bahwa seni mengandung kebenaran (Wahrheitsgehalt) yang sifatnya logis dan rasional, dan oleh alasannya ialah itu seni harus dipahami secara konseptual, dengan akhir bahwa seni tidak mengandung huruf enigmatik. Kant justru kebalikannya. Menurutnya, seni tidak bisa dikonseptualisaikan dan alasannya ialah itu bersifat enigmatik, tapi ia tidak melihat isi Kebenaran dalam seni. Demikianlah teori-teori seni modern (atau juga posmodern) bisa dikatakan merupakan osilasi antara kedua filsuf ini. Adorno, misalnya, menyampaikan bahwa seni mengandung kebenaran (mengikuti Hegel dan mengkritik Kant) tapi kebenaran seni tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant dan mengkritik Hegel). Filsafat seni Adorno ialah kombinasi antara “tanpa konsep”-nya Kant dan “isi kebenaran”nya Hegel. Gadamer juga menyerupai dengan itu. Menurutnya, seni mengandung dimensi historis. Konsep sentral filsafat hermeneutika Gadamer, yakni wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (kesadaran historis yang bekerja dan membentuk serta mempengaruhi cara kita memahami dunia) terang diturunkan dari Hegel. Seni, berdasarkan filsuf ini, mengandung kebenaran (mengikuti Hegel) tapi kebenaran itu tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant) alasannya ialah seni ialah upaya permainan pencarian kebenaran yang tak habis-habisnya; seni merupakan sumber interpretasi yang inexhaustible.
Terakhir, mengenai tesis selesai hayat seni. Beberapa komentator mengkritik Hegel dengan menyampaikan bahwa ia ialah filsuf pembunuh seni. Tesis selesai hayat seni pada Hegel diasalkan dari kalimat yang dikutip pada awal goresan pena ini, yakni bahwa sekalipun seni berusaha untuk menyempurnakan diri, namun ia tidak memadai menjadi sarana untuk menyingkapkan Kebenaran, dan oleh alasannya ialah itu seni harus dinegasi oleh agama. Seorang Hegelian Italia, Benedetto Croce, misalnya, menyampaikan bahwa filsafat seni Hegel tidak lain dari sebuah pidato pemakaman seni. Hegel telah mengubur seni dan mempersilakan filsafat mengukir epitaf di atas makam itu.”
Menurut saya, kritik di atas tidak tepat. Kita harus menempatkan duduk perkara ini pada konteksnya, yakni sistem filsafat Hegel sendiri. Rangkaian negasi yang membentuk keseluruhan sistem itu tidak mengimplikasikan bahwa apa yang telah dinegasi menjadi tidak berlaku atau mati. Negasi itu bukanlah negasi dalam kerangka waktu, melainkan dalam kerangka logis. Negasi itu berlangsung berdasarkan prinsip kebebasan yang semakin besar dan rasional, sesuai dengan hakikat Rob. Dalam Filsafat Hukum, misalnya, keluarga dinegasi oleh civil society dan negara kemudian, sebagai sintesis, menegasi civil society. Ini tidak berarti bahwa keluarga atau civil society telah mati atau bubar setelah mengalami negasi. Yang mau diperlihatkan Hegel melalui negasi itu ialah bahwa kemampuan momen yang dinegasi itu sebagai sarana perealisasian Roh Negara ialah terbatas atau tidak memadai. Semua momen yang dinegasi itu tetap hadir, Roh tetap menyatakan diri melalui momen-momen tersebut, tapi hanya pada Filsafatlah Roh menyatakan diri dengan cara yang sesuai dengan hakikatnya sendiri.
Pustaka
Kant dan Hegel ialah dua filsuf raksasa yang gagasan keduanya tetap menjadi materi perdebatan yang sangat memilih perkembangan filsafat modern. Perbedaan pandangan di antara kedua filsuf ini, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh para pengikut masing-masing, meliputi hampir semua bidang filsafat: epistemologi, ontologi, politik, teologi, adat dan tentu saja seni. Para komentator umumnya setuju bahwa kedua filsuf ini sangat memilih diskusi teoretis mengenai seni zaman modern. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan menyampaikan bahwa diskusi itu tetap berkisar antara penolakan atau penerimaan salah satu di antara keduanya atau pengkombinasian kedua-duanya.
Paling tidak ada tiga gagasan utama filsafat seni Hegel yang kemudian sangat mempengaruhi teori sesudahnya, terutama Marxis-Hegelian dan variannya, yakni pertama, seni mengandung perspektif historis—berbeda dari Kant yang menganggap seni otonom dari dimensi eksternal, kedua, analisa seni harus terfokus pada karya seni itu sendiri—berbeda dari Kant yang terfokus pada penikmat seni, dan ketiga, seni merupakan artikulasi Ide atau Kebenaran secara indriawi—Kant tidak bicara mengenai “isi” karya seni. Butir pertama dan ketiga terlihat terang dalam konsepsi seni para filsuf menyerupai Marx, Engels, Georg Lukacs, Lucien Goldmann, Adorno dan Benjamin yang menganggap seni sebagai artikulasi kesadaran historis tertentu, baik berupa kepentingan kelas, ideologi, keyakinan filosofis maupun pandangan dunia (Weltanschauung). Dengan konsep realisme sosialisnya, Lukacs menyampaikan bahwa seni tidak sanggup dipahami terlepas dari konteks sosio-historisnya. Sementara Benjamin, Marcuse dan Adorno berbicara mengenai karya seni yang bisa menjadi sarana kritik sosial dengan menyingkapkan ketimpangan-ketimpangan dalam masyarakat.
Hegel menyampaikan bahwa seni mengandung kebenaran (Wahrheitsgehalt) yang sifatnya logis dan rasional, dan oleh alasannya ialah itu seni harus dipahami secara konseptual, dengan akhir bahwa seni tidak mengandung huruf enigmatik. Kant justru kebalikannya. Menurutnya, seni tidak bisa dikonseptualisaikan dan alasannya ialah itu bersifat enigmatik, tapi ia tidak melihat isi Kebenaran dalam seni. Demikianlah teori-teori seni modern (atau juga posmodern) bisa dikatakan merupakan osilasi antara kedua filsuf ini. Adorno, misalnya, menyampaikan bahwa seni mengandung kebenaran (mengikuti Hegel dan mengkritik Kant) tapi kebenaran seni tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant dan mengkritik Hegel). Filsafat seni Adorno ialah kombinasi antara “tanpa konsep”-nya Kant dan “isi kebenaran”nya Hegel. Gadamer juga menyerupai dengan itu. Menurutnya, seni mengandung dimensi historis. Konsep sentral filsafat hermeneutika Gadamer, yakni wirkungsgeschichtliches Bewusstsein (kesadaran historis yang bekerja dan membentuk serta mempengaruhi cara kita memahami dunia) terang diturunkan dari Hegel. Seni, berdasarkan filsuf ini, mengandung kebenaran (mengikuti Hegel) tapi kebenaran itu tak bisa dikonseptualisasikan (mengikuti Kant) alasannya ialah seni ialah upaya permainan pencarian kebenaran yang tak habis-habisnya; seni merupakan sumber interpretasi yang inexhaustible.
Terakhir, mengenai tesis selesai hayat seni. Beberapa komentator mengkritik Hegel dengan menyampaikan bahwa ia ialah filsuf pembunuh seni. Tesis selesai hayat seni pada Hegel diasalkan dari kalimat yang dikutip pada awal goresan pena ini, yakni bahwa sekalipun seni berusaha untuk menyempurnakan diri, namun ia tidak memadai menjadi sarana untuk menyingkapkan Kebenaran, dan oleh alasannya ialah itu seni harus dinegasi oleh agama. Seorang Hegelian Italia, Benedetto Croce, misalnya, menyampaikan bahwa filsafat seni Hegel tidak lain dari sebuah pidato pemakaman seni. Hegel telah mengubur seni dan mempersilakan filsafat mengukir epitaf di atas makam itu.”
Menurut saya, kritik di atas tidak tepat. Kita harus menempatkan duduk perkara ini pada konteksnya, yakni sistem filsafat Hegel sendiri. Rangkaian negasi yang membentuk keseluruhan sistem itu tidak mengimplikasikan bahwa apa yang telah dinegasi menjadi tidak berlaku atau mati. Negasi itu bukanlah negasi dalam kerangka waktu, melainkan dalam kerangka logis. Negasi itu berlangsung berdasarkan prinsip kebebasan yang semakin besar dan rasional, sesuai dengan hakikat Rob. Dalam Filsafat Hukum, misalnya, keluarga dinegasi oleh civil society dan negara kemudian, sebagai sintesis, menegasi civil society. Ini tidak berarti bahwa keluarga atau civil society telah mati atau bubar setelah mengalami negasi. Yang mau diperlihatkan Hegel melalui negasi itu ialah bahwa kemampuan momen yang dinegasi itu sebagai sarana perealisasian Roh Negara ialah terbatas atau tidak memadai. Semua momen yang dinegasi itu tetap hadir, Roh tetap menyatakan diri melalui momen-momen tersebut, tapi hanya pada Filsafatlah Roh menyatakan diri dengan cara yang sesuai dengan hakikatnya sendiri.
Pustaka
Teks-teks kunci estetika: filsafat seni Oleh Mudji Sutrisno.
0 Komentar untuk "Perdebatan Dua Filsuf Raksasa"